Asal Mula Burung Tinggang
| Judul Cerita | Asal Mula Burung Tinggang |
| Penulis | - |
| Ilustrator | - |
| Penerbit | - |
| Tahun Terbit | - |
| Bahasa | - |
| Umur Pembaca | - |
Asal Mula Burung Tinggang
Thang hang Raya merupakan salah satu negeri diwilayah Tampun Roban atau Tampun Juah. Terdapat air yang berasal dari ketinggian pegunungan yang mengalir dan membentuk empat anak sungai seperti sebuah pohon silsilah keluarga. Anak pertama ke arah barat yang disebut Kapuas, anak kedua ke arah timur yang disebut Mahakam, anak ketiga dan keempat ke arah tengah dan selatan yang disebut Barito. Keempat anak sungai tersebut mengemban misi untuk menghidupi alam yang dilalui dan kepungnya. Sebab itulah, maka daratan yang dilalui oleh keempat sungai tersebut disebut KALIMANTAN, yang bermakna "Kali" berarti sungai dan "Monton" berarti besar.
Selanjutnya, diturunkanlah manusia dari langit yang ketujuh oleh Ranying Mahatalla Langit atau Tuhan Yang Maha Esa. Manusia ini diturunkan ke dunia dengan wadah emas atau Palangka Bulau yang dihiasi dengan Kalingkang atau kain bersulamkan emas di empat tempat berturut- turut, yaitu:
1. Di Tantan Puruk Pamatuan di hulu Kahayan dan Barito, yaitu di puncak Bukit Pamatuan, yang merupakan suatu dataran tinggi antara hulu sungai Kahayan dan sungai Barito. Atas kehendak Ranying Mahatalla Langit maka diturunkanlah seorang lelaki bernama Antang Bajela Bulau atau Tunggul Garing Janjahunan Laut.
2. Di Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting, Ranying Mahatalla Langit menurunkan lagi Palangka Bulau dan Kalingkang sehingga terciptalah manusia yang bernama Karangkang Ambam Penyang.
3. Di Datah Takasiang Rákaui Sungai Malahui, yaitu di atas sebuah batu granit hitam di hulu sungai Rakaui yang bermuara di sungai Malahui atau yang sekarang disebut sebagai Sungai Melawi di daerah Kalimantan Barat. Ranying Mahatalla Langit menurunkan dua butir telur burung yaitu telur burung Tinggang dan burung Elang.
4. Di Puruk Kambang Tanah Siang Hulu Barito, terciptalah seorang putri bernama Nyai Sikan.
Burung Tatu Hyang kemudian terlogatkan menjadi Burung Tinggang atau Burung Enggang. Burung Tinggang, ketika menetas dari telurnya, terbang kesana kemari untuk mencari air kehidupan. Pencarian air kehidupan itu merupakan perintah dari Ranying Mahatalla Langit agar Burung Tinggang dapat menjelma menjadi seorang manusia yang akan mengabdi dan menjaga alam dan kehidupan di bumi. Burung Tinggang terbang menyusuri Sungai Malahui atau Sungai Melawi mengikuti petunjuk dari Ranying Mahatalla Langit.
Hingga disuatu wilayah yang tertutupi oleh kabut hitam, Burung Tinggang mendapat petunjuk untuk turun ke wilayah tersebut. Namun Burung Tinggang tidak mampu untuk turun ke wilayah tersebut akibat kabut yang terlalu hitam. Burung Tinggang merasakan sesak dan kesakitan ketika berusaha menembus kabut hitam tersebut.
Meski dalam kondisi kesakitan, Burung Tinggang terus berusaha untuk menembus kabut hitam tersebut guna menunaikan perintah Ranying Mahatalla Langit mencari air kehidupan. Hingga akhirnya Burung Tinggang menjadi tidak berdaya, ia kehabisan tenaga dan kepakan sayapnya mulai melemah. Perlahan-lahan tubuh lemahnya mulai terbawa angin dan ia menjadi semakin tidak berdaya.
Ketika situasi semakin sulit, dengan kondisi Burung Tinggang semakin lemah dan tidak berdaya, maka Burung Tinggang mendapat petunjuk dari Ranying Mahatalla Langit untuk mengucapkan kata-kata dalam bahasa Sangen atau bahasa Sangiang yaitu "Mukel Hyang". Maka atas kehendak dari Ranying Mahatalla Langit, kabut hitam yang menghalangi, perlahan-lahan memudar tertiup angin dan menghilang. Dan terlihatlah oleh Burung Tinggang sebuah daratan dengan aliran sungai yang airnya berwarna hitam namun dihiasi kelipan cahaya.
Kelipan cahaya dari air sungai yang berwarna hitam itu adalah kelipan Intan yang membentang didasar sungai. Pada daratan itu, terlihat pula pancaran cahaya disebuah tempat. Dengan sisa-sisa tenaganya, Burung Tinggang segera turun ke daratan itu dan langsung menuju ke tempat dimana pancaran cahaya tersebut terlihat.
Sesampainya ditempat pancaran cahaya itu, terlihatlah oleh Burung Tinggang bahwa pancaran cahaya tersebut adalah sebuah mata air yang bening dan indah. Burung Tinggang segera meminum dan mandi di mata air tersebut. Selepas Burung Tinggang meminum dan mandi di mata air itu, ia merasakan tubuhnya semakin pulih dan kuat. Sakit dan sesak yang dirasakannya menghilang dan tubuhnya yang lemah telah sehat sedia kala. Selanjutnya, Burung Tinggang perlahan-lahan mulai menjelma menjadi seorang laki-laki yang kemudian bernama Litih atau Tiung Layang.
Didaratan tersebut, Litih atau Tiung Layang merasakan sangat nyaman dan tentram. Kondisi alamnya yang dingin dan indah dengan pancaran cahaya dari mata air kehidupan membuatnya sangat betah dan tidak ingin meninggalkan tempat tersebut. Litih kemudian melakukan Balampah dan mengabdikan dirinya kepada Ranying Mahatalla Langit untuk menjaga alarg dan kehidupan atau menjadi Jata yang menjaga dunia atas dan alam bawah.
Daratan tempat sumber mata air kehidupan tersebut kemudian disebut Mukei Hyang yang kemudian terlogatkan menjadi Moncank atau Mengklang. Dan pada riwayat yang lainnya ada yang mengatakan bahwa Moncank artinya dingin karena kondisi alamnya yang dingin dengan sumber mata air yang tidak pernah kering.
Adapun Burung Elang, ketika masih berbentuk sebutir telur, dan ketika diturunkan oleh Ranying Mahatalla Langit di Datah Takasiang Rakaui Sungai Malahui, yaitu disebuah batu granit hitam, maka telur itu menetas. Dari telur yang menetas itu terciptalah seekor burung yang disebut sebagai Sang Hyang yang berarti Penjaga Nenek Moyang. Burung Sang Hyang kemudian terlogatkan menjadi Burung Antang atau Burung Elang.
Adapun Burung Tinggang ketika terbang kesana kemari mencari sumber air kehidupan, sempat singgah di Negeri khayangan Atas dan Negeri Khayangan Bawah. Kedua Negeri Khayangan itu tertutupi awan. Di Negeri Khayangan Atas, Burung Tinggang melihat wujud dirinya yang sedang bertahtah diatas sebuah batu granit hitam berhiaskan intan. Burung Tinggang kemudian turun untuk bertemu dengan dirinya sendiri. Negeri Khayangan Atas dalam bahasa Sangen atau Sangiang disebut Mengkah Hyang, yang artinya Singgasana Nenek Moyang atau Negeri Khayangan Atas. Nama Mengkah Hyang kemudian terlogatkan menjadi Mengkayang, atau yang sekarang disebut Bengkayang.
Sedangkan di Negeri Khayangan Bawah, Burung Tinggang melihat cermin dirinya yang sedang bertahtah diatas sebuah batu granit hitam berhiaskan intan. Negeri Khayangan Bawah disebut Kenyah Hyang, yang artinya Cermin Nenek Moyang atau Negeri Khayangan Bawah. Kenyah Hyang kemudian terlogatkan menjadi Kenyalang, atau yang sekarang disebut Serawak.
Selanjutnya, setelah bertahun lamanya Tiung Layang melakukan Balampah dan mengabdikan diri kepada Ranying Mahatalla Langit di Tanah Mengkiang, maka terbitlah rasa kerinduan yang amat sangat dalam diri Tiung Layang untuk berjumpa langsung kepada Ranying Mahatalla Langit. Rasa rindu itu sangat bergejolak, sehingga Tiung Layang selalu mengucapkan kata-kata pujian dan sanjungan dengan ucapan, "Diing' D'oo' Hyaa Kaiinangaxaii zaa'oona' rhiinayith", yang artinya "Langit dan Bumi Keduanya, Tuhan Yang Maha Permulaan dan Maha Berkuasa Menciptakan Kehidupan".
Setelah sekian lama selalu memuji dan menyanjung Ranying Mahatalla Langit, akhirnya terbitlah petunjuk bahwa Ranying Mahatalla Langit mengetahui rasa rindu Tiung Layang yang ingin bertemu langsung dengan-Nya. Maka Ranying Mahatalla Langit memberi petunjuk kepada Tiung Layang untuk meminum dan merendam tubuhnya ke dalam sumber air kehidupan.
Setelah mendapatkan petunjuk dari Ranying Mahatalla Langit, Tiung Layang segera meminum dan merendam tubuhnya dalam sumber air kehidupan di Tanah Mengkiang. Atas kuasa dari Ranying Mahatalla Langit, maka tubuh Tiung Layang menjelma menjadi pencampuran antara tubuh manusia dengan Tatu Hyang atau Burung Tinggang yang memiliki sayap-sayap emas dengan berbagai intan dan permata yang menghiasi tubuhnya.
Selanjutnya Tiung Layang mendapatkan lagi petunjuk dari Ranying Mahatalla Langit untuk melakukan ritual ibadah yang dalam bahasa Sangen atau Sangiang disebut Malah Hyang yang artinya jalan menuju kedamaian. Dalam ritual ibadah Malah Hyang tersebut, Tiung Layang harus melalui tahapan yang disebut "Sandukui Malahui Rakui Ka' Sampai, Rakui Malahui Sandukui Ka' Sampai", yaitu Tiung Layang harus pergi ke puncak paling atas di Sandukui, kemudian Malahui atau berkeliling kemudian turun di Rakui atau tempat permulaan Tiung Layang diturunkan ke muka bumi, kemudian singgah di Mengkah Hyang atau tempat wujud dirinya, singgah di Kenyah Hyang atau tempat cermin dirinya, turun ke Meki Hyang atau tempat sumber air kehidupan di Mengkiang untuk minum dan mandi, kemudian berhenti di tempat perenungan.
Setelah mendapatkan lagi petunjuk demikian, Tiung Layang langsung mengepakkan sayapnya untuk melakukan ritual ibadah Malah Hyang. Tiung Layang melakukan ritual ibadah Malah Hyang tersebut sebanyak tujuh kali secara berturut-turut. Sepanjang Tiung Layang melakukan ritual Ibadah Malah Hyang tersebut, Tiung Layang terus menerus mengucapkan kata-kata pujian dan sanjungan kepada Ranying Mahatalla Langit dengan ucapan "Diing' D'oo' Hyaa Kalinangaxaii zaaʼoona' rhiinayith" tanpa henti-hentinya.
Setelah tujuh kali Tiung Layang melakukan ritual ibadah Malah Hyang, maka Tiung Layang duduk merenung di Ka' Sampal. Kata-kata pujian dan sanjungan masih terus diucapkannya hingga bertahun-tahun lamanya. Hingga akhirnya terbitlah lagi petunjuk kepada Tiung Layang bahwa ia harus naik ke Puruk Sandukui karena Ranying Mahatalla Langit akan menemuinya ditempat tersebut. Selanjutnya Tiung layang segera naik ke puncak Puruk Sandukui, yaitu sebuah gunung batu yang besar dan tinggi.
Sesampainya Tiung Layang di puncak Puruk Sandukui, maka bertemulah Tiung Layang dengan Ranying Mahatalla Langit. Pertemuan itu melepaskan kerinduan yang selama ini telah dipendamnya. Dalam pertemuan itu, Tiung Layang menyampaikan keinginannya untuk naik ke langit ke tujuh, namun Ranying Mahatalla Langit tidak mengijinkannya.
Ranying Mahatalla Langit tidak mengijinkannya naik ke langit ketujuh karena Tiung Layang harus menjaga alam atas dan alam bawah di bumi hingga ada yang menggantikannya bertahtah di puncak Puruk Sandukui. Adapun manusia yang dapat menggantikannya untuk bertahtah di puncak Puruk Sandukui adalah manusia yang terlahir dari rahim seorang wanita yang telah meminum dan mandi air kehidupan dari Tanah Mengkiang. Maka menunggulah Tiung Layang selama bertahun-tahun yang tidak terhitung lagi lamanya hingga ada anak manusia yang ditakdirkan Ranying Mahatalla Langit lahir dari rahim seorang wanita yang telah meminum dan mandi sumber air kehidupan dari Tanah Mengkiang.
Adapun anak-anak manusia yang tertakdirkan minum dan mandi sumber air kehidupan di Tanah Mengkiang yang kemudian menjadi pewaris Tiung Layang sejak terciptanya bumi hingga sekarang ini untuk menggantikannya bertahtah di puncak Puruk Sandukui yang kemudian dikenal sebagai Panglima Burung adalah Rantanan Pinang, Darahan Tatun Antang, Langit Lumbah, Tambun Baputi, Sangiang Garing Malatar Langit, Antang Patih Pelang, Antang Riak Mihing, Antang Tampurahei, Nyagun Tinggang, Lilang Panjang Kasau Langit, Lilang Nyahu Entai, Lilang Rintih Langit, Tangkurajan Sanglang, Nyumping Tapang, Hatingang Sawang, Hatingang Dohong, Hatingang Riwut, Sambung Maut, Sababaling. Langit, Miharaja Rahadyan Bunu, Miharaja Rahadyan Aban, Miharaja Rahadyan Anum, Miharaja Rahadyan Abal, Miharaja Rahadyan Ma'Anyan dan Miharaja Rahadyan Aju.

Tinggalkan Komentar
⚠️ Anda harus login terlebih dahulu untuk dapat menambahkan komentar
Komentar Terbaru