Kumpulan Cerita Pendek

cover cerita
Judul Cerita Kumpulan Cerita Pendek
Penulis -
Ilustrator -
Penerbit -
Tahun Terbit -
Bahasa -
Umur Pembaca -

Kumpulan Cerita Pendek

1. Asal Mula Cara Bercocok tanam Padi Ketika manusia hidup dalam suasana yang masih dipengaruhi oleh alam gaib, dan tradisi mengayau masih mewarnai perilaku masyarakat (Kanayatn). Hiduplah keluarga dengan anak tujuh bersaudara. Masing-masing bernama Ne' Jack, Ne' Si Umang- Umang, Ne Si Uit-Uit, Ne' Ruamnikng. Ne' Rumaga, Ne' Sebe', Ne' Sarihayu. Dari ke tujuh bersaudara itu Ne' Jaek sebagai anak sulung telah ditunangkan dengan seorang dengan seoranag gadis yang bernama Ne' Gulinatn. Sesuai dengan tradisi yang berlaku ketika itu, salah satu syarat perkawinan adalah pemilikan kepala kayau yang harus dicari sendiri oleh calon pengantin pria karena pemilikan kepala kayau melambangkan kesiapan atau kedewasaan sehingga dapat berumah tangga. Sebab dengan keperkasaan tersebut, seorang perjaka dapat melindungi keluarganya terhadap serangan musuh atau ancaman lain yang membahayakan. "Cerita rakyat ini dikutip atas ijin penulisnya, dengan beberapa perubahan dan ditafsirkan kembali dari teks aslinya yang ditulis oleh Hendraswati, 1999, Laporan Penelitian No. 01/1/1999. Pontianak: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, hlm 1-35. Untuk memenuhi kewajiban itu, maka pada suatu hari ke tujuh bersaudara pergi ngayau. Setelah seluruh perlengkapan dipersiapkan, Ne' Jack bersama saudaranya berangkat ke tempat tujuan yang jauh dari kampung halamannya. Di tengah perjalanan menuju sasaran. Ne' Jaek melihat seekor burung pipit terbang membawa setangkai buah (pada saatnya nanti dikenal dengan nama padi). Hatinya sangat tergoyah untuk memiliki buah yang berjuntai pada paruh burung itu, sehingga diputuskan untuk mengejarnya sampai dapat. Keputusan ini akhirnya memisahkan dirinya dari kelompok saudaranya. Karena terus menerus dikejar oleh Ne' Jaek, pipit akhirnya merasa lelah, sehingga tangkai yang ada diparuhnya terjatuh. Namun demikian Ne Jaek kurang beruntung, tangkai tersebut jatuh ke dalam goa batu badangkop yang tidak mungkin dijangkau. Harapan Ne Jaek semakin tipis, ketika mengetahui bahwa di dalam lubang goa batu badangkop itu terdapat seekor tikus yang sedang mencari makan. Ia menyaksikan bagaimana upaya tikus yang akhirnya menemukan dan dapat mengambil tangkai idamannya dengan menggunakan moncongnya. la sadar bahwa dirinya tidak dapat berbuat apa-apa. Melihat kenyataan itu Ne Jaek terduduk sambil meratapi nasibnya yang sial. Dalam kesedihan itu, muncullah seekor ular yang menawarkan bantuannya. Ular bersedia mengambil tangkai buah yang telah dikuasai tikus di dalam goa. Tawaran diterima, namun setelah ular mmerayap memasuki lubang goa datanglah seekor limpango (walang sangit) dengan tujuan yang sama, yakni menawarkan jasa baiknya. Setelah mendapat persetujuan Ne Jaek, limpango langsung bertindak. Dengan kecepatan maksimal limpango menukik dengan gesit, menuju sasaran sambil mengeluarkan kentutnya persis di depan moncong tikus. Sang tikus menjadi kaget dan panik atas serangan yang sangat tiba-tiba itu, sehingga tangkai yang digigitnya langsung terjatuh. Dengan serta merta pula limpango menyambarnya serta langsung memberikannya kepada Ne' Jaek. Demikian cepatnya peristitwa itu berlangsung, sang ular yang lebih dahulu memasuki mulut goa hanya dapat keluar dengan tangan hampa. Namun jatuhnya tangkai buah (padi) itu ke tangan Ne' Jaek tidak berarti masalahnya selesai. Sebab semua pihak merasa mempunyai hak. Untuk itu dilakukanlah perundingan antara Ne' Jaek dengan pipit, limpango dan tikus. Setelah melalui diskusi, akhirnya disepakati bersama bahwa padi tersebut diserahkan kepada Ne' Jaek untuk ditanam dan disebarluaskan kepada manusia. Hanya saja sekedar imbalan atas hak/bantuan mereka, masing-masing mengajukan syarat kepada Ne' Jack. Burung pipit yang merasa memiliki, menganjurkan kepada Ne' Jack, agar padi ditanam secara serentak. Jangan ada yang ditanam lebih dahulu atau kemudian (lambat). Jika anjuran ini tidak ditaati, maka yang ditanam terdahulu menjadi bagianku, demikian ancaman burung pipit. Sedangkan yang ditanam kemudian (terakhir) akan menjadi bagian kami pula, sambung limpango: Selanjutnya setelah sampai pada gilirannya tikus pun berkata: "Bilamana ladangnya tidak terumput, berarti padi yang ada di dalamnya menjadi bagian kami". Dalam perundingan itu. ular mengalami kekecewaan karena tidak dapat mengajukan syarat (usul hak) apapun sehubungan dengan kegagalan tugas yang diembannya. Dalam hatinya timbul rasa dongkol kepada limpango yang telah menyaingi tugasnya. Ingin ia membunuh lawannya. namun karena limpango dapat terbang. maka amarahnya dilampiaskannya kepada tikus. Untuk mewujudkan tekadnya, ular meluncur mengejar tikus. Namun karena kecepatannya ia dapat selamat dari sergapan. Akibatnya amarahnya semakin membara dan terus berlangsung sampai kini. Setelah perundingan selesai mereka bubar dan pulang ke tempatnya masing-masing. Dengan rasa senang dan bangga (karena dengan temuannya itu ia dapat membantu manusia mendapatkan makanan) Ne' Jaek pulang ke rumahnya walaupun tanpa membawa kepala kayau. Namun kebahagiaannya sirna setelah ia sampai di rumah. la sangat kecewa, sebab akibat perbuatannya yang menyimpang dari tugas semula ia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Orang tua dan keenam saudaranya marah kepada Ne' Jaek yang pulang tanpa membawa kepala kayau seperti yang direncanakan. Ne' Jaek semakin sedih karena dengan penjelasannya (tentang keuntungan yang mereka peroleh dari barang temuannya itu), ia tidak dapat mengurangi kemarahan keluarganya. Kesedihan dan kekecewaan menjadi sempurna setelah menerima keputusan Ne' Gulinatn mengakhiri pertunangan dengan dirinya. Karena tidak dapat menahan dirinya, maka ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya dengan tujuan yang tidak menentu. Cerita rakyat itu mengandung ajaran tentang tata cara bercocoktanam padi yang baik yakni padi harus ditanam secara serentak dalam waktu yang bersamaan agar tidak habis dimangsa burung pipit. Pengaturan waktu penanaman padi secara bersamaan ini bersifat sangat rasional dengan cara demikian konsentrasi penyerangan gerombolan burung pipit dapat diatasi. Seandainya padi tidak ditanam secara bersamaan maka serangan gerombolan burung pipit akan terkonsentrasi di ladang padi yang berbuah masak atau menguning sehingga mengakibatkan petani yang bersangkutan mengalami kerugian besar dan bahkan beresiko dengan kegagalan panen. Prinsip periodesasi masa tanam ini sudah sesuai dengan prinsip budi daya padi secara modern. Sedangkan cerita tentang ancaman tikus yang akan memakan padi di ladang yang tidak dibersihkan rumputnya itu bersifat sangat rasional. Tikus menyukai ladang padi yang banyak rumputnya karena tikus akan terlindung dari ancaman musuhnya seperti ular dan burung hantu. Tanaman gulma atau rumput liar di ladang padi memang harus dibersihkan supaya padi dapat tumbuh dengan subur. 2. Asal Mula Manusia Membudidayakan Tanaman Padi Setelah meninggalkan rumah orang tuanya Ne Jaek melangkahkan kaki menurut suara hatinya. Naik turun gunung. keluar masuk hutan, menelusuri lembah dan sungai sambail membawa setangkai buah (padi) yang selalu digenggamnya. Berhari-hari dalam perjalanan akhirnya ia bertemu dengan orang tua yang sangat ramah. Dalam percakapannya kemudian Ne' Jack mengetahu bahwa orang itu bernama Ne' Panitah yang beristrikan Ne' Pangadu. Mereka orang (suruhan) Jubata yang tinggal di Gunung Bawakng, keluarga Ne' Panitah dan Ne' Pangadu ternyata mempunyai puteri satu-satunya yang diberi nama Ne' Bumbun. Melihat setangkai buah dalam genggaman Ne' Jaek, maka berlututlah Ne' Panitah. Kepadanya dijelaskan bahwa yang digenggamannya itu adalah setangkai padi milik Ne Panitah yang dicuri oleh ayam. Dikatakanlah kepada Ne' Jaek bahwa ayam itu (ialah burung pipit) ternak adiknya bernama Kabayatn. orang suruhan Jubata lainnya. Setelah itu Ne' Panitah mohon kepada Ne Jaek supaya mau mengembalikan padi miliknya itu. Namun usul dan permintaannya itu ditolak keras oleh Ne Jaek. Dengan pikiran yang baik, Ne' Panitah berupaya dan akhirnya menemukan suatu akal. Kepada Ne' Jaek ditawarkan supaya mau pergi ke Bukit Bawakng dan bersedia mengawini Ne Bumbun puteri kesayangannya. Karena Ne' Jaek menyadari pertunangannya dengan Ne' Gulinatn telah putus, di samping tekadnya tidak akan kembali ke kampung halamannya (sebagai akibat penghinaan or- ang tua dan saudaranya), maka usul dan tawaran Ne' Panitah diterima dengan senang hati. Setelah kesepakatan itu, mereka pun pergi ke Bukit Bawakng. Dalam perjalanan ini Ne' Jaek dan Ne' Panitah naik (mengendarai) alat yang dinamakan lonsor papatn. Suatu alat transportasi yang sangat cepat sehingga dalam sekejap mata saja mereka telah sampai di Bukit Bawakng, sesuai dengan rencana sebelumnya, maka setelah sampai pertunangan pun dilaksanakan. Namun sebelum pertunangan dilangsungkan, Ne' Bumbun ingin mengetahui kemurnian cinta Ne' Jaek disamping kesiapannya. Untuk pengujian tersebut, Ne' Jaek diajak oleh Ne' Bumbun pergi ke ladang untuk memetik hasil panen yang berupa padi, buah- buahan dan sayur mayur. Sesampai di ladang Ne' Jaek disuruh Ne' Bumbun memetik semua yang tumbuh dan berbuah di ladangnya. Tanpa petunjuk Ne' Jaek melaksanakan tugasnya dengan segera. Mula-mula yang dilakukannya ialah memetik tangkai padi, barulah kemudian ia mengambil dan mengumpulkan sayuran dan buah- buahan secukupnya. Melihat apa yang telah dilakukan oleh Ne Jaek telah sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, maka Ne' Bumbun akhirnya menerima pertunangan yang dikehendaki orang tuanya. Menurutnya Ne Jaek lulus dari ujian, telah dapat membedakan bahwa padi merupakan bahan makanan yang lebih penting dari bahan lainnya. Di samping itu calonnya memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap dirinya, sebab telah melaksanakan semua tugas yang diberikan dengan sejujur-jujurnya. Demikianlah akhirnya pertunangan mereka berlanjut menjadi keluarga yang melahirkan putera yang bernama Ne' Baruakng. Semenjak tinggal di Bukit Bawakng. Ne' Jack merasa hidupnya sangat bahagia bersama isteri yang sangat dicintainya. Apalagi cintai mereka membuahkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Memang sekali-sekali ia teringat akan saudaranya di Talino (dunia yang di huni manusia). Namun kerinduannya menjadi sirna kembali, sebaliknya muncul rasa benci dan dendam atas perlakuan yang ditujukan saudaranya kepada dirinyadi Talino itu. Karena dendamnya yang mendalam kepada orang tuanya. saudaranya dan bekas tunangannya Ne' Gulinatn di masa lalu. Ne' Jaek malah berjanji untuk memutuskan hubungan dan tidak akan turun ke Talino selama-lamanya. Dalam suasana yang bahagia itu, putera mereka yang satu- satunya yang dinamakan Ne' Beruakng tumbuh dengan norma. Pada saat menginjak dewasa, Ne' Beruakng semakin terlibat dalam kegiatan penemuan identitas dirinya sebagai seorang perjaka. Ketika ia asyik mengamati lingkungan sekitarnya, pandangan Ne' beruakng tertuju ke bawah. Ia melihat sekelompok orang yang asyik bermain setiap hari. Untuk mengetahui lebih lanjut. Ne' Beruakng bertanya kepada neneknya (Ne Panitah). Melalui penjelasan neneknya, ia mengetahui bahwa kelompok yang bermian itu ialah manusia di Talino yang sedang bermain gasikng (gasing). Setelah mengetahui dengan jelas, maka timbullah keinginan dalam hati Ne' Beruakng untuk bergabung bermain-main dengan anak-anak Talino. Lama ia menyimpan keinginannya itu, namun pada saat ia tidak sanggup menahan keinginannya. Ne' Beruakng akhirnya menyampaikan maksudnya itu kepada neneknya, Ne' Panitah. Dengan sedih neneknya tidak dapat memberikan izin kepada cucunya, karena tahu bahwa bapaknya Ne' Jaek pasti akan marah. Namun setelah berulang kali dibujuk, maka Ne' Panitah menyampaikan keinginan cucunya, Ne' Beruakng kepada Ne Jaek. Dan ternyata Ne' Jack tidak mengizinkan anaknya ke Talino untuk bermain gasikng. Tetapi sekeras-kerasnya orang tua, akhirnya setelah melalui musyawarah dengan mertua dan isterinya (Ne Panitah dan Ne' Bumbun) Ne' Jaek memenuhi keinginan puteranya yang diajukan secara berulang-ulang. Persetujuan ini diikuti dengan upaya Ne Panitah membuatkan cucunya gasikng sebesar buah limau keris. Dengan mainan gasikng buatan neneknya dan bekal secukupnya, keesokan harinya Ne' Beruakng pun berangkat ke Talino dengan lonsor papatn, langsung ke tempat permainan yang menjadi idamannya sejak lama. Sungguh asyik Ne' Beruakng dapat menyaksikan orang-orang yang sedang pangkak (main gasikng), apalagi diikuti dengan nyanyian-nyanyian amboyo (semacam pantun) yang sangat merdu. Bagoro nanga sare Paradah pulo bantain Narik leko ka' tangah pante Bapangka ka tangah laman Setelah sekian lama menyaksikan mereka pangkak, akhirnya Ne' Beruakng memberanikan diri menyampaikan permohonannya agar dapat diikutkan bermain gasikng. Kienginan Ne' Beruakng diterima baik oleh anak Talino, hingga mereka dapat bermain bersama-sama. Dan secara lengkap kelompok pemain ini terdiri dari: Ne' Si Umang-Umang, Ne' Si Uit-Uit, Ne' Rumanikng, Ne' Rumaga, Ne' Sarihayu, dan Ne' Beruakng. Secara diam-diam kelompok pangkak ini tertarik kepada anggota barunya, sehingga pada kesempatan beristirahat mereka bertanya asal usul dan orang tua Ne' Beruakng. Melalui penjelasannya ini. Ne' Si Umang-Umang bersaudara mengetahui bahwa Ne' Beruakng ialah keponakannya sendiri, anak Ne' Jaek, saudara tuanya. Di ujung perbincangan mereka tibalah waktunya bagi mereka makan bersama. Masing-masing mereka mengeluarkan bekal yang dibawa. Ketika melihat bekal yang dibawa Ne Beruakng, keenam pamannya terkejut. Mereka menyangka yang di makan Ne Beruakng itu ulat, lain dari bekal yang biasa mereka makan selama ini. Setelah mendengar penjelasan keponakannya itu, semua pamannya mengerti bahwa yang mereka sangka ulat itu adalah nasi. Sedangkan bekal yang biasanya mereka makan itu sebenarnya kulat karankng (semacam jamur, basidiomycetes). bukan makanan pokok tetapi bahan makanan tambahan nasi sebagai sayur. Untuk membuktikan penjelasan itu Ne' Beruakng membagi- bagikan bekal nasinya kepada keenam pamannya. Alangkah senangnya mereka, sebab setelah mencicipi bagian yang sedikit itu mereka merasa kenyang dan menyegarkan. Kepuasan keenam pamannya itu terungkap dalam ucapan : Sabitik sinsuah nyawa, sapatah singkanyang parut (sangatlah puas jika dimakan sebiji saja, ... Setengah biji saja sudah mengenyang perut). Setelah memperoleh kenikmatan bekal yang dibawa Ne' Beruakng itu, mereka menanyakan dimana mendapatkannya dan bagaimana cara mengolahnya sehingga menjadi beras dan nasi. Setelah mendengarkan penjelasan Ne Beruakng, keenam pamannya minta dibawakan bibit padi. Namun permintaan itu tidak dapat dipenuhinya, karena ia tahu bahwa ayahnya Ne' Jaek akan marah bilamana mengetahuinya. Walaupun demikian, setiap hari keenam saudaranya tersebut selalu mengulangi maksudnya kepada Ne Beruakng. Pada mulanya Ne' Beruakng selalu menolak permintaan paman-pamannya tersebut. Namun akhirnya, setelah hari keempat, Ne' Beruakng tidak tahan lagi menahan rasa ibanya kepada paman- pamannya. Dan ia pun berjanji untuk membawakannya. Untuk memenuhi janjin itu pamannya mengusulkan cara. Supaya tidak ketahuan ayahnya Ne' Jaek, Ne Beruakng harus memasukkan biji padi itu ke dalam bunga atau kulit ujung kemaluan. Karena pada saat itu kebetulan Ne' Beruakng belum di sunat atau dibalak. Pada sore hari, setelah Ne' Beruakng sampai ke Bukit Bawakng, ia pun mencari akal akar dapat melaksanakan rencananya. Untuk memperoleh waktu yang cukup. Ne' Beruakng menumpahkan semua air persediaan yang di simpan ibunya di dalam tabakng-tabakng (tabung yang terbuat dari ruas bambu). Begitu ibunya datang dari ladang, langsung emnuju ke tepian/sungai mengambil air untuk kebuthan sore dan malam. Pada saat itulah Ne' Beruakng mengambil padi ke dalam dango dan segera memasukkannya ke dalam kemaluannya agar dapat dibawa keesokan harinya. Untuk memenuhi janjinya kepada keenam pamannya di Talino, Ne' Beruakng memasukkan tiga biji padi. Terdiri dari dua buah biji padi sunguh (nasi biasa dengan jenis, padi antamuk dan padi sakado. Sedangkan yang sebiji digolongkan padi poe' (ketan), jenis angkabakng. Keesokan harinya tanpa dicurigai sedikitpun, Ne' Beruakng turun pangkak ke Talino sebagaimana biasanya, sesuai dengan janjinya, maka ketiga biji padi yang dibawanya itu terlebih dahulu diserahkannya kepada keenam pamannya. Selanjutnya atas petunujuk Ne' Beruakng, padi harus ditanam di dapur agar tidak terlihat oleh Ne' Jack, ayahnya. Demikianlah yang dilakukan yang dilakukan oleh pamannya sehingga padi tumbuh subur sampai siap dipanen. Hasil panen, semuanya dijadikan bibit untuk ditanam embali.... begitu seterusnya, sehingga jumlahnya semakin hari semakin banyak. Karena tidak mungkin lagi ditanam di dapur (dalam rumah). pada akhirnya ditanam di atas tanah tumuh (gundukan tanah yang terbentuk oleh sarang anai). Agar saikng dan balonya (pantulan sinar) tidak nampak di Bukit Bawakng, maka dipasanglah daun pisang emas sebagai tudung penutup. Adapun alasan pemilihan lokasi penanaman itu adalah warna tanah tumuh yang kemerahan itu dapat mengetahui warna padi, disamping pertimbangan tingkat kesuburannya. Akan tetapi upaya yanag dilakukan itu ternyata diketahui oleh Ne Jaek Bukit Bawakng. Setelah padi itu masak, rupanya saikng dan balonya tetap terpancar ke atas, hingga sampai ke Bukit Bawakng, mengetahui hal itu Ne Jaek sangat marah kepada anaknya, Ne' Beruakng. la tahu bahwa yang membawa bibit padi itu ke Talino tidak lain anaknya. Untung saja ketika ayahnya marah Ne' Beruakng masih pangkak ke Talino. Karena kemarahannya tidak dapat dibendung itu, ayahnya memutuskan untuk membunuh Ne' Beruakng. Untuk mencapai maksudnya itu Ne' Jaek memasang belantik (pati') di jalan biasanya Ne' Beruang turun naik dari/ke Talino, dekat danau, tepian tempat mandi. Rupanya rencana dan tindakan Ne' Jaek diketahui oleh mertuanya, Ne' Panitah. Menyadari, bahwa tindakan menantunya itu tidak segera dicegah, maka cucunya Ne' Beruakng yang sangat dicintainya itu akan mati di ujung belatik ayahnya sendiri. Pada saat yang kritis itu, Ne' Panitah teringat akan babi tintingan sunat Ne' Beruakng. Babi tintingan yang dinamakan si Gantang itu sedang dikandungkan sebelum digunakan untuk mestakan sunat cucunya. Untuk menyelamatkan cucunya Ne Beruakng, dari pati' Ne' Jaek, maka Ne' Panitah melepaskan Gantang (babi tintingan sunat) dan mengahalaunya menuju tepian danau. Sesuai dengan harapan Ne' Panitah maka babi tintingan sunat (si Gantang), tertusuk pati dan mati seketika itu juga. Ne Panitah berhasil menyelamatkan cucunya (Ne' Beruakng) dari pembunuhan ayah kandungnya sendiri. Namun ternyata akhirnya diketahui bahwa upaya yang telah dilakukan oleh Ne Panitah ini menumbuhkan luka lama, kebencian Ne' Jaek kepada saudara- saudaranya akhirnya dilampiaskan kepada anaknya sendiri. Untuk menyelamatkan Ne' Beruakng dari kurban ayahnya ini, Ne' Panitah menyuruh cucunya pergi merantau meninggalkan Bukit Bawakng. Melalui rencana yang rekayasa Ne' Panitah, maka keesokan harinya Ne' Beruakng berangkat meninggalkan keluarganya. Karena keadaan yang tidak memungkinkan lagi, Ne Panitah dengan kesedihannya terpaksa merelakan cucunya tanpa bersunat sesuai dengan adat yang berlaku. Sejak itulah Ne Beruakng dinamakan Ne' Si Kulub. Cerita rakyat ini memberikan ilustrasi tentang proses padi menjadi makanan pokok manusia (talino). Dengan demikian tanaman padi merupakan tanaman utama dalam sistem bercocoktanam orang Dayak Kanayatn. Hasil panen padi tidak semuanya habis dikonsumsi para petni namun wajib bagi setiap petani untuk menyimpan sebagai bahan benih dengan cara seperti ini kelestarin bercocoktanam padi akan terjaga. 3. Asal Mula Rasi Binatang Keberangkatan Si Kulub merantau meninggalkan Bukit Bawakng, dilepas oleh ibu dan neneknya dengan rasa iba. Demi keselamatannya, ia dipesan oleh neneknya supaya dalam perjalanan Beruakng harus menyimpang ke sebelah kanan. Artinya jika sampai dipersimpangan jalan, ia tidak boleh menelusuri jalan sebelah kiri. Ne' Beruakng diperingati pula bahwa di dalam perjalanannya nanti akan dijumpai banyak cobaan. Sesuai dengan diingatkan neneknya, ternyata Ne' Beruakng Ne' Si Kulub dalam perjalanannya selalu mendapatkannya cobaan yang sangat berat. Di setiap persimpangan jalan, Ne' Si Kulub selalu merasa bimbang, sebab simpang kiri yang semetinya dihindari selalu dihuni oleh gadis-gadis cantik dengan sapaan dan rayuan yang menawan. Sebagai perjaka yang masih muda, setelah beberapa kali dapat menahan diri seperti yang diingatkan oleh neneknya. akhirnya Ne' Si Kulub terlena dalam rayuan gadis cantik. la takluk kepada seoranag gadis cantik yang dinamakan Ne' Si Putih, Panara alam gaib (negeri yang berada di atas bumi, tempat roh-roh halus/setan yang suka menggoda manusia Talino). Karena cintanya. akhirnya Ne' Beruakng lupa akan semua pesan neneknya, sehingga ia pun memutuskan untuk kawin. Setelah setahun lamanya ia kawin, Ne' Si Putih isterinya mengandung sampai melahirkan dengan selamat. Namun dalam menyambut kelahiran puteranya itu, Ne' Beruakng merasakan adanya keanehan. Ketika suaminya (Baruakng) melihat anak- anaknya barang sebentar pun. Namun didorong oleh keinginan yang mendalam, maka saat isterinya sedang mandi di sungai ia naik ke para untuk menjenguk putera kesayangannya, hasil buah cintanya kepada isterinya. Namun alangkah terkejutnya Ne' Beruakng setelah melihat keadaan anaknya. Jumlahnya yang banyak, memenuhi tempa (sejenis bakul besar yang terbuat dari pelepah sagu). Semuanya terwujud rasi yang terdiri bermacam hewan yang bernama Keto, Buria, Ktuk, Leo, Nenet, Kapo, Buragah, Tarogakng, Sooh dan banyak lagi jenis lainnya yang semuanya mengangakkan mulutnya minta makanan. Setelah melihat keadaan itu, sadarlah Ne' Beruakng bahwa isterinya Ne' Si Putih bukanlah keturunan manusia Talino. Akan tetapi hal itu tetap dirahasiakannya, agar mendapatkan kesempatan menemukan alasan yang tepat untuk meninggalkan isterinya. Pada waktu yang tepat untuk melarikan diri, Ne' Beruakng pun berkata kepada isterinya. Bahwa ia akan pergi ke rumah orang tuanya di Bukit Bawakng untuk memberitahukan peristiwa perkawinannya, sekaligus menjemput orang tuanya untuk menghadiri upacara adat batalah (adat pemberian nama). Mendengar alasan yang dikemukakan suaminya itu sangat tepat, maka Ne' Si Putih tidak keberatan mengizinkannya berangkat hari berikut. Setelah sampai ke rumah orang tuanya, ia segera menceritakan semua pengalamannya itu kepada ibu dan neneknya. Dijelaskan oleh neneknya, Ne' Panitah, yang menjadi isterinya itu sebenarnya bukanlah manusia, melainkan iblis yang suka menggoda dan merayu dengan tujuan untuk menjerumuskan. Demikian seterusnya Ne' Panitah melanjutkan berbagai pesan, petuah dan nasehat agar cucunya tidak gampang jatuh terjerumus oleh godaan yang selalu muncul dalam sepanjang hidupnya. Setelah mendengar semua petuah neneknya, maka sejak itu Ne' Beruakng tidak pernah kembali kepada isteri dan anak-anaknya. Rasi dalam tradisi masyarakat Dayak Kanayatn dipahami sebagai makhluk halus yang menjelma dalam wujud binatang dan rasi ini sering memberikan tanda-tanda bagi keberuntungan dan kemalangan kehidupan manusia. Pertanda yang diberikan rasi ini bisa berupa suara burung yang mengisyaratkan seseorang boleh membuka ladang di suatu tempat. Oleh karena itu dalam tradisi membuka ladang dikenal upacara atau ritual baburukng. Upacara ini dilakukan pada waktu senja atau malam hari di lokasi yang akan dijadikan ladang untuk mendengarkan rasi baik atau buruk dari suara-suara burung tertentu. 4. Perkawinan Ne' Beruakng dengan Ne' Si Putih Batu Buntar Muha Perkawinan pertama Ne' Beruakng yang dilewati dengan pengalaman pahit, ternyata tidak mengurangi semangatnya untuk melanjutkan petualangannya. Keinginannya untuk merantau tidak dapat dilupakannya ketika diketahui bahwa ayahnya, Ne' Jaek tetap saja menaruh dendam kepadanya. Setelah tekadnya bulat, keesokan harinya Ne' Beruakng meninggalkan Bukit Bawakng untuk petualangannya yang kedua. Seperti pengalamannya terdahulu, mula-mula Ne' Beruakng selalu ingat akan pesan neneknya. Namun akhirnya ketika memasuki suatu persimpangan hatinya pun tergoda lagi akan rayuan, sehingga melupakannya segala-galanya. Akhirnya ia kawin dengan gadis bernama Ne Si Putih Batu Buntar Muha. Seperti pengalamannya yang pertama maka perkawinan kedua inipun tidak dapat membahagiakan Ne' Beruakng. Sebab setiap isterinya hamil selalu melahirkan anak cacat, di antaranya ada yang buta, timpang, lumpuh dan seluruh badannya berkoreng serta berbagai macam penyakit yang selalu menyedihkan. Mereka diberi nama Jampuna (kemudian menjadi keturunan Mawikng, Jampekong, yang menurunkan pujut, Saikng Sampit Sansa Pena, yang kemudian menurunkan sarintake. Nama-nama itu sering disebut dalam mantra yang dibacakan untuk penyembuhan penyakit yang diduga karena makhluk halus dengan ungkapan: Jampuna raja Mawikng, Jampekong raja Pujut. Kanayatn merupakan makhluk halus yang sulit digambarkan wujudnya. Mawikng diyakini makhluk berambut panjang, hidup di hutan belantara dengan lapangan yang dinamakan poporatn atau tempat yang bersih di bawah pohon yang rimbun. Pujut digolongkan makhluk halus penyebab penyakit gatal, berbintil. Sarintake makhluk halus penyebab penyakit yang selalu erat hubungannya dengan berbagai kelumpuhan dan penyakit tulang lainnya. Melihat keadaan anaknya yang demikian, maka sadarlah Ne' Beruakng bahwa dirinya melanggar pesan neneknya, Ne Panitah. la pun yakin bahwa isterinya yang kedua inipun bukan keturunan manusia. Oleh sebab itu ia berencana untuk meninggalkan isteri dan anak-anaknya dan pulang ke negeri orang tuanya di Bukit Bawakng. Dengan alasan yang dibuat-buat iapun akhirnya pulang ke rumah orang tuanya dan menceriterakan kembali semua pengalamannya dengan isteri kedua. Seperti yang telah diduganya, neneknya Ne' Panitah menjelaskan bahwa isterinya yang bernama Ne Si Putih Batu Buntar Muha itupun bukan keturunan manusia, melainkan iblis yang sering mengganggu dan menggoda. Sehingga dari perkawinannya itu Ne Beruakng hanya menghasilkan berbagai rasi dan berbagai keturunan iblis penyebab penyakit tertentu. Rasi adalah perwujudan roh-roh halus dalam bentuk lain berupa makhluk hidup seperti burung dan sebagainya. Disamping sifatnya yang negatif, yakni memberi kutukan, rasi juga dapat menjadi isyarat yang mengingatkan manusia terhadap bahaya yang mungkin akan menimpa. Cerita rakyat ini menjadi dasar dari pelaksanaan berbagai upacara atau ritual barobat (berobat) seperti Baconteng (Baburas, habore, Ai' Tawar). Badukun. Balenggang, Badendo dan Baliat 'n yang masih terus dilaksanakan oleh sebagian warga masyarakat Dayak Kanayatn. 5. Perkawinan Ne' Beruakng dengan Ne' Jamani Tabilong Tingi Tatkala ketenangan terganggu setelah mengingat dendam ayahnya masa lalu, Ne' Beruakng pun pergi meninggalkan Bukit Bawakng, untuk melakukan petualangannya ketiga. Karena menyelami apa yang bergejolak dalam hati Ne' Beruakng, dengan rasa sedih dan berat hati, neneknya Ne' Panitah dan ibunya, Ne' Bumbun mau mengabulkannya. Berpedoman pada pengalaman yang terdahulu dan nasehat neneknya, maka dalam petualangannya ynag ketiga ini, Ne Beruakng berhasil melewati semua godaan, sehingga akhirnya dapat mencapai tujuan setelah memasuki simpang kanan. Ia berhasil mengawin seorang gadis yang bernama Ne' Jamani dari Tabikng Tingi. Dari perkawinan ini ia melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamakan Patih Mawar. Putranya ini berbeda dengan anak- anaknya terdahulu. Sebagai Jujuhatn (keturunan) manusia Patih Mawar tumbuh dan berkembang dengan sehat dan normal. Keadaan ini berlanjut sampai Patih Mawar beranjak dewasa. Kedua otang tuanya semakin mencintainya tatkala ia berkembang menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Oleh karena itu keluarga ini akhirnya sangat bahagia, sebab puteranya Patih Mawar sekaligus menjadi pujaan sekampung. 6. Patih Mawar bergelar Ampor Gayokng Di celah kebahagiaan keluarga Ne' Beruakng seperti yang telah diceriterakan, ternyata terdapat sesuatu yang mengganjal. Sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat, ternyata keluarga ini belum melaksanakan kewajibannya. Sebab Patih Mawar yang sudah meningkat dewasa belum di sunat. Untuk melengkapi kebahagiaannya, maka keluarga Ne' Beruakng mulai merencanakan niatnya melaksanakan roah babalak (pesta sunat). Setelah terpenuhi maka iapun mengumpulkan ahli waris, kenalan dan seluruh isi kampung untuk ngahat gunda (membuat undangan dalam tradisi Kanayatn). Ngabat gunda adalah adat kebiasaan yang diadakan sebelum pesta dilakukan. Tujuannya yang prinsip adalah merencanakan, menetapkan hari jadi yang berlanjut dengan pengiriman undangan dengan tali gunda kepada sanak saudara sekampung maupun di luar kampung. Tali gunda sebagai undangan berwujud pintalan tali yang berbuku-buku dengan menyimpulkannya (ngabat) jumlah buku disamakan dengan rencana hari H-nya. Sesuai dengan kebiasaan, orang dan keluarga terdekat telah datang dan merampungkan persiapan terutama menumbuk (tepung). Oleh sebab itu hari persiapan ini dinamakan hari betutuk (tutuk artinya tumbuk). Pada saat ini, tiba-tiba timbul keinginan dalam hati Patih Mawar untuk memanjat dan memetik buah Sibo(sejenis rambutan hutan) yang tumbuh di tepian dekat rumahnya. Mengikuti keinginan itu, Patih Mawar pergi dengan tongkengannya (parang yang disarungkan dan diikatkan di pinggang) lengkap dengan ubaatn katoro (alat pengambil kecil) pergi menuju pohon buah yang telah masak itu. Namun anehnya, setiap Patih Mawar melaksanakan niatnya ia selalu mendengar suara segala rasi keto, buria' dan kutuk. Ayahnya yang mengetahui akan hal itu mencegah supaya anaknya mengurungkan niatnya memanjat tetapi ternyata anaknya tidak dapat menahan keinginannya. Oleh sebab itu, setelah suara rasi tidak terdengar lagi, Patih Mawar pun mulai memanjat. Pada saat tangannya merangkul pohon untuk memanjakan kakinya, suara rasi kembali memecahkan keheningan dan ketenangan. Namun Patih Mawar yang sudah merasa terlanjur tidak lagi memperhatikan segalanya, sehingga ia langsung memanjat sampai ke atas. Akan tetapi malang baginya, ketika ia sedang mengambil buah sibo tangannya terlepas dari dahan pegangan. Seketika itu juga Patih Mawar pun jatuh menimpa batu ampar (batu besar di tanah). mengakibatkan tubuhnya hancur berderai. Ayahnya beserta orang-orang yanag berada dalam rumahnya menyaksikan kejadian itu segera turun untuk membantu. Ketika sampai di tempat tujuan, Ne' Beruakng tertunduk melihat keadaan anaknya yang telah hancur itu. Dalam kebingungan itu ia teringat kepada anak-anaknya dari kedua isterinya yang terdahulu. Kemudian mereka dipanggil namun mereka tidak mau datang karena tidak dperkenankan oleh ibunya masing-masing yang telah diabaikan Ne' Beruakng tanpa mengeluarkan adat perangkat care. Sadar akan hal itu. Ne' Beruakng akhirnya mengeluarkan adat yang diwajibkan, sehingga perceraiannya dengan isterinya Ne' Putih dan Ne Putih Batu Buntar Muha dinyatakan sah. Setelah kewajiban adat ini diselesaikan oleh Ne' Beruakng. maka semua anaknya berdatangan untuk memberi pertolongan kepada adiknya, semua menyesali kejadian yang menimpa adiknya. Untuk mengungkapkan kekesalannya itu, rasi keto, buria' dan kutuk berkata: Inilah yang tidak kami ingini, maka kami melarangnya memanjat. Namun dalam hati ayahnya, justru larangan rasi (abang- abangnya) itu telah mengganggu konsentrasi Patih Mawar, sehingga akhirnya jatuh. Oleh sebab itu, dengan kesal Ne' Beruakng berkata kepada semua rasi anaknya: kamupun jangan suka nyungkaki adikmu. (nyungkak artinya menghalangi niat orang lain yang disertai kutukan). Selanjutnya Ne' Beruakng berkata kepada anak-anaknya. Sekarang kalian harus mengupayakan agar adikmu hidup kembali. Atas anjuran ayahnya itu, mereka mulai berunding untuk menyelamatkan adiknya. Setelah berunding. mereka mengumpulkan anggota badan dan tulang belulang adiknya yang telah hancur. Setelah disusun, ternyata ada bagian yang telah hilang, yakni hati, otak dan darahnya. Untuk menggantikan bagian yang hilang itu, kutuk memberikan hatinya (sehingga menurut pengetahuan Dayak Kanayatn, Kutuk tidak mempunyai hati). Kemudian rasi Sooh menyerahkan otaknya, sedangkan rasi Biang memberikan darahnya. Dengan demikian, maka lengkaplah sudah bagian tubuh adiknya itu. Akan tetapi walaupun sudah lengkap. Patih Mawar ternyata belum dapat hidup karena tidak mempunyai nyawa (nafas). Untuk memperoleh nyawa itu, mereka harus mencuri cupu milik ibunya, Ne' Si Putih dan Conekng, milik ibunya Ne' Si Putih Batu Buntar Muha (Cupu dan Conekng adalah tempat penyimpanan obat pedukunan tradisional. Cupu berbentuk tempayan kecil terbuat dari tembaga atau porselin, sedangkan conekng biasanya berbentuk botol kecil). Untuk mencuri kedua tempat itu, maka satu diantara anak- anak Ne' Si Putih dan Ne' Batu Buntar Muha mereka utus. Setelah alat itu diperoleh, kesulitan lain muncul ketika mereka memerlukan dukun pamaliatn bernama Dayakng Langa' dengan seorang Panyampakng (juru bahasa atau mendengar) bernama Selet Gensengan yang tinggal di Sirikng Langit. Dalam liatan itu Ne' Dayakng Langa' pun mengungkapkan pedukunannya dengan cupu pabua palamputn sengat, conekng pamantal pamungun idup milik kedua isteri Ne' Beruakng. Ternyata cupu mampu menyambung nafas yang sudah putus, dan conekng dapat menghidupkan badan atau jasad yang telah mati. Dengan bantuan paliatn Dayakng Langa dan Selet Gensengan Penyampaknya, akhirnya Putih Mawar dapat diselamatkan. Kiranya selama dirinya mati sebelum tertolong itu, ia merasa seolah-olah dirinya tidur biasa. Oleh sebab itu ketika sadarkan diri (dihidupkan), seolah-olah ia bangun dari tidurnya, dan berkata: Jara tidur malam, nyaman tidur siakng, yang artinya lebih nyaman tidur siang daripada tidur malam. Untuk menjelaskan peristiwa yang sudah terjadi, ayahnda menjawab: kamu tadi bukannya tidur, melainkan meninggal dunia. Untunglah semua kakakmu datang membantu sehingga kamu dapat hidup kembali, lanjut Ne' Beruakng sambil memperkenalkan dengan saudara-saudara bukan seibu. Sejak itu Patih Mawar diselamatkan dari kehancuran itu, maka ia bergelar Ampo Gayokng. Ampor artinya pecah? Hancur berderai dan Gayokng artinya kepala atau raga. 7. Perjanjian Anak-anak Ne' Beruakng Sebelum mereka pulang ke tempatnya masing-masing. maka berpesanlah Ne' Beruakng kepada semua anaknya, dari ketiga orang isterinya. Kepada anak-anak yang lahir dari dua isterinya terdahulu. Beruakng mohon kepada mereka agar selalu menjaga hubungan baik dengan adiknya Ampor (Gayokng) dijelaskan kembali, walaupun mereka tidak menyerupai manusia, namun mereka tetap merupakan raraatn talino (keturunan manusia) sebab anak kandung Ne' Beruakng didurhakai sampai ke anak keturunannya, demikian pesan Ne' Beruakng kepada anak-anaknya. Kemudian mendengar pesannya, semua anak dari kedua isterinya terdahulu merasakan kewajibannya sebagai kakak yang harus selalu dijaga keselamatan adiknya Ampor Gayokng. Kami tinggal tidak menentu, di sembarangan tempat. Jika kami berkata- kata, hendaknya kamu berhenti sejenak, tidak meneruskan perjalanan/pekerjaan. Karena itu merupakan pertanda dari kami untuk mengingat kamu dari ancaman bahaya yang mungkin akan menimpa dirimu. Oleh sebab itu janganlah sekali-kali kamu langgar. Di samping itu, isyarat kemungkinan kami sampaikan kepadamu dalam mimpi ataupun berupa adatn berupa: berupa kaki tersandung. ketika melangkah ataupun bersin pada saat mulai melangkahkan kaki di awal perjalanan. (Adatn atinya pertanda atau isyarat). Selain itu, semua rasi memohon kepada adiknya agar setiap kali akan baramu baremah atau baroah (pesta), jangan lupa memberi kami makan, supaya kami sebagai raraatn talino (anak Ne' Beruakng) tidak menjadi antu buar, rangka', bango ka'padi ka baras. (Buar, rangka dan bango hampir sama artinya dengan boros). Andai kata kutukan dari kami kakakmu, hendaknya kami diberi makan pada saat kamu berobat (berdukun) dengan menyebutkan nama kami. yakni Sakido raja mimpi, salangkas raja nasi, samarera sambah muka balis. Selanjutnya, mawikng. pujut dan sarinteke, anak Ne Putih Batu Buntar Muha mengambil kesempatan menyampaikan pesan dan nasehat kepada adinya. Ampor Gayokng. Dalam hal ini pujut berpesan kami tinggal garah kurebet (batu besar) dan tahakng (gua-gua). Jika tempat kami ini terkena lokasi perdagangan, maka jangan lupa ketika ngawah (adat memulai perladangan) supaya kamu bapinta (mohon), dan memberikan makanan kepada kami berupa nasi bercampur garam (nasi' dan gare'). Sedangkan Mawikng hanya menjelaskan bahwa dirinya di poporatn, yakni tempat di bawah pohon-pohon besar berupa lapangan yang selalu bersih seperti di sapu. Akhirnya Sarinske pun mengingatkan bahwa dirinya tinggal ka 1 tongkotn tanga' (kaki dan kepala tanggak) dan muha talabo' (muka pintu). Kami sendiri tidak akan terlihat olehmu, sehingga mudah kena serunduk. Jika demikian kami dapat marah dengan memukuli dan mencederai kakimu dan tanganmu hingga bengkak dan lumpuh. Namun kami akan menyembukan kembali, jika kamu memberi makan berupa nasi dan gare' yang dihamburkan ke kepala tangga (tongkotn tanga) atau di muka pintu (muha taloho). Setelah pesan-pesan dan nasehat disampaikan oleh semua kakaknya kepada Ampor Gayokng, yang dikenal dengan perjanjian, maka merekapun pulang ke tempatnya masing-masing. Semenjak itu, maka keluarga Ne' Beruakng hidup dalam suasana yang rukun dan damai. Kebahagiaan ini menjadi lengkap setelah anaknya Patih Mawar Ampor Gayokng disunat dan berkembang menjadi dewasa. Semua pesan dan nasihat kakak- kakaknya dianggapnya sebagai suatu perjanjian yang selalu dipenuhinya dan diturunkan sampai ke anak cucunya. Semua cerita rakyat tersebut (Perkawinan Ne' Berukng dengan Ne Jamani Tabilong Tingi, Patih Mawar bergelar Ampor Gayokng. Perjanjian Anak-anak Ne' Beruakng) mengajarkan tentang adat istiadat bersunat, menggelar upacara barobat dan gambaran tentang keterkaitan kehidupan alam manusia (talino) dengan alam makhluk halus yang masih dianggap saudara manusia. Manusia wajib menghormati saudara-saudaranya yang berasal dari makhluk halus tersebut agar dalam setiap gawe atau upacara perhelatan supaya semuanya berlangsung dengan aman. Upacara penghormatan itu diwujudkan dalam pemberian sesajian berupa makan dan lain sebagainya.