Legenda Batu Menangis
Di sebuah desa terpencil, ada seorang ibu yang bertempat tinggal bersama putrinya. Sang putri tersebut sangat cantik, tapi dia memiliki perilaku yang buruk. Dia sangat malas untuk membantu pekerjaan ibunya. Setiap hari gadis itu hanya menghabiskan waktu dengan mempercantik diri dan mengagumi kecantikannya di cermin, sementara sang ibu harus bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Selain bersifat malas, dia juga sangat manja. Dia selalu memaksa ibu tersebut untuk memenuhi setiap keinginannya. Tentu saja, situasi ini membuat sang ibu merasa sedih, tapi bagaimanapun juga dia masih mencintai putrinya. Suatu hari, putri pemalas itu meminta sang ibu untuk membeli gaun baru untuknya. Pada awalnya, ibu itu menolak permintaan tersebut karena tidak mempunyai uang yang cukup. Namun dikarenakan paksaan, sang ibu pun bersedia untuk memenuhi permintaan putrinya. Kemudian ibu tersebut meminta sang putri untuk menemaninya ke pasar. "Baiklah, tapi aku tidak ingin berjalan di sampingmu. Ibu harus berjalan di belakangku, aku malu jika orang lain melihat" kata sang putri Meskipun sang ibu merasa sedih, dia selalu mematuhi permintaan putrinya. Kemudian merek pergi ke pasar untuk membeli gaun untuk putri tersebut. Selama perjalanan ke pasar, putri itu berjalan di depan sementara ibunya berjalan d belakangnya dengan membawa sebuah keranjang.Meskipun mereka adalah ibu dan anak mereka terlihat sangat berbeda. Seolah-olah mereka tidak berasal dari keluarga yang sama Bahkan, mereka tampak seperti juragan dar pelayan. Mengapa terlihat seperti itu? Sang putri berpakaian indah dengan mengenakan gaun yang sangat bagus, sementara ibunya tampak tua dengan mengenakan pakaian yang sangat sederhana. Dalam perjalanan ke pasar, seorang pria menyapa mereka. "Hei gadis cantik, apakah itu ibumu?" tanya pria itu. "Tentu saja bukan. Dia adalah pelayanku," kata putri tersebut. Sang ibu sedih mendengar jawaban itu. Tapi dia tetap diam meskipun hatinya menangis. Di sepanjang perjalanan, sang putri cantik terus ditanyai oleh orang-orang tentang ibunya. Tapi putri itu selalu mengatakan bahwa wanita tua yang sedang berjalan di belakang adalah pelayannya. Akhirnya, sang ibu tidak tahan lagi mendengar jawaban yang selalu keluar dari mulut putrinya. Lalu dia berdoa kepada Tuhan "Tuhan, hukumlah anak tidak tahu berterima kasih ini," katanya. Segera kaki putri itu berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi perlahan-lahan dari kaki hingga kepala. Melihat kakinya yang sedang berubah menjadi batu, putri itu berteriak "ohhhh tidak! Apa yang terjadi dengan kakiku?" Dia berteriak. Lalu dia menangis dan menyadari bahwa dia telah melakukan sesuatu yang buruk terhadap ibunya. "Ibu! Maafkan aku. Maafkan aku!" Dia menangis panik. Putri itu terus menangis dan menangis, tapi sudah terlambat. Seluruh tubuh sang putri pun berubah menjadi batu, pada akhirnya. Sang ibu sedih melihat apa yang terjadiPada putrinya, tapi dia tidak bisa melakukan apa- apa lagi. Meskipun dia telah berubah menjadi batu sepenuhnya, orang-orang masih bisa melihat air matanya. Itulah sebabnya batu itu dinamakan Batu Menangis.
Baca
Asal Usul Sungai Landak
Asal Usul Sungai Landak, Dahulu kala, hidup seorang petani bersama isterinya. Walaupun tidak kaya, mereka suka menolong orang lain. Suatu malam, petani sedang duduk di tempat tidur. Di sampingnya, isterinya sudah terlelap. Tiba- tiba ia dikejutkan oleh seekor kelabang putih yang muncul dari kepala isterinya. Kelabang putih itu berjalan meninggalkan rumah petani. Petani itu mengikutinya hingga tiba di sebuah kolam tak jauh dari rumah mereka. Kelabang itu lalu menghilang. Petani lalu berjalan pulang. Isterinya masih pulas. Esok paginya, isteri petani menceritakan mimpinya semalam. ?Aku sedang berjalan di padang rumput, dan ada sebuah danau di sana. Aku melihat seekor landak raksasa di dalam danau itu. la melotot kepadaku, maka aku lari.? Petani itu lalu pergi lagi ke kolam. Di dalamnya ia melihat suatu benda yang berkilau. la mengambilnya, ternyata sebuah patung landak dari emas. Patung itu sangat indah, matanya dari berlian. Petani membawanya pulang. Malam harinya, petani didatangi seekor landak raksasa dalam mimpinya. ? Ijinkan aku tinggal di rumahmu. Sebagai balasannya, aku akan memberikan apa saja yang kau minta.? Landak itu mengajarkan untuk mengusap kepala patung landak emas dan mengucapkan kalimat untuk meminta sesuatu. Jika yang diminta sudah cukup, petani harus mengucapkan kalimat untuk menghentikannya. Petani menceritakan mimpinya kepada isterinya. Mereka ingin membuktikan mimpi itu. Petani mengusap kepala patung dan mengucapkan kalimat permintaan. la meminta beras. Seketika dari mulut patung keluarlah beras! Beras itu terus mengalir keluar hingga banyak sekali. Petani segera mengucapkan kalimat kedua dan beras berhenti keluar dari mulut patung landak. Mereka berdua kemudian meminta berbagai benda yang mereka butuhkan. Mereka menjadi sangat kaya. Namun mereka tetap tidak sombong dan makin gemar menolong. Banyak orang datang untuk meminta tolong. Seorang pencuri mengetahui rahasia patung landak. la berpura-pura minta tolong dan mencuri patung itu. Pencuri membawa patung itu pulang. Desanya sedang dilanda kekeringan. Pencuri mengatakan kepada tetangga- tetangganya bahwa ia dapat mendatangkan air untuk kampung mereka. Pencuri memohon air sambil mengusap kepala patung dan mengucapkan kalimat permintaan. Air keluar dari mulut patung. Penduduk desa itu sangat senang. Tak lama kemudian, air yang keluar sudah mencukupi kebutuhan penduduk desa, namun terus mengalir sehingga terjadi banjir. Pencuri itu tidak tahu bagaimana menghentikan air yang keluar dari patung. Penduduk desa lari menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Pencuri juga ingin menyelamatkan diri, namun tidak bisa menggerakkan kakinya. Ia melihat seekor landak raksasa memegangi kakinya. Akhirnya ia tenggelam dalam air yang makin lama makin tinggi. Air itu kemudian membentuk sungai yang disebut sungai Landak.
Baca
Kumpulan Cerita Pendek
1. Asal Mula Cara Bercocok tanam Padi Ketika manusia hidup dalam suasana yang masih dipengaruhi oleh alam gaib, dan tradisi mengayau masih mewarnai perilaku masyarakat (Kanayatn). Hiduplah keluarga dengan anak tujuh bersaudara. Masing-masing bernama Ne' Jack, Ne' Si Umang- Umang, Ne Si Uit-Uit, Ne' Ruamnikng. Ne' Rumaga, Ne' Sebe', Ne' Sarihayu. Dari ke tujuh bersaudara itu Ne' Jaek sebagai anak sulung telah ditunangkan dengan seorang dengan seoranag gadis yang bernama Ne' Gulinatn. Sesuai dengan tradisi yang berlaku ketika itu, salah satu syarat perkawinan adalah pemilikan kepala kayau yang harus dicari sendiri oleh calon pengantin pria karena pemilikan kepala kayau melambangkan kesiapan atau kedewasaan sehingga dapat berumah tangga. Sebab dengan keperkasaan tersebut, seorang perjaka dapat melindungi keluarganya terhadap serangan musuh atau ancaman lain yang membahayakan. "Cerita rakyat ini dikutip atas ijin penulisnya, dengan beberapa perubahan dan ditafsirkan kembali dari teks aslinya yang ditulis oleh Hendraswati, 1999, Laporan Penelitian No. 01/1/1999. Pontianak: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, hlm 1-35. Untuk memenuhi kewajiban itu, maka pada suatu hari ke tujuh bersaudara pergi ngayau. Setelah seluruh perlengkapan dipersiapkan, Ne' Jack bersama saudaranya berangkat ke tempat tujuan yang jauh dari kampung halamannya. Di tengah perjalanan menuju sasaran. Ne' Jaek melihat seekor burung pipit terbang membawa setangkai buah (pada saatnya nanti dikenal dengan nama padi). Hatinya sangat tergoyah untuk memiliki buah yang berjuntai pada paruh burung itu, sehingga diputuskan untuk mengejarnya sampai dapat. Keputusan ini akhirnya memisahkan dirinya dari kelompok saudaranya. Karena terus menerus dikejar oleh Ne' Jaek, pipit akhirnya merasa lelah, sehingga tangkai yang ada diparuhnya terjatuh. Namun demikian Ne Jaek kurang beruntung, tangkai tersebut jatuh ke dalam goa batu badangkop yang tidak mungkin dijangkau. Harapan Ne Jaek semakin tipis, ketika mengetahui bahwa di dalam lubang goa batu badangkop itu terdapat seekor tikus yang sedang mencari makan. Ia menyaksikan bagaimana upaya tikus yang akhirnya menemukan dan dapat mengambil tangkai idamannya dengan menggunakan moncongnya. la sadar bahwa dirinya tidak dapat berbuat apa-apa. Melihat kenyataan itu Ne Jaek terduduk sambil meratapi nasibnya yang sial. Dalam kesedihan itu, muncullah seekor ular yang menawarkan bantuannya. Ular bersedia mengambil tangkai buah yang telah dikuasai tikus di dalam goa. Tawaran diterima, namun setelah ular mmerayap memasuki lubang goa datanglah seekor limpango (walang sangit) dengan tujuan yang sama, yakni menawarkan jasa baiknya. Setelah mendapat persetujuan Ne Jaek, limpango langsung bertindak. Dengan kecepatan maksimal limpango menukik dengan gesit, menuju sasaran sambil mengeluarkan kentutnya persis di depan moncong tikus. Sang tikus menjadi kaget dan panik atas serangan yang sangat tiba-tiba itu, sehingga tangkai yang digigitnya langsung terjatuh. Dengan serta merta pula limpango menyambarnya serta langsung memberikannya kepada Ne' Jaek. Demikian cepatnya peristitwa itu berlangsung, sang ular yang lebih dahulu memasuki mulut goa hanya dapat keluar dengan tangan hampa. Namun jatuhnya tangkai buah (padi) itu ke tangan Ne' Jaek tidak berarti masalahnya selesai. Sebab semua pihak merasa mempunyai hak. Untuk itu dilakukanlah perundingan antara Ne' Jaek dengan pipit, limpango dan tikus. Setelah melalui diskusi, akhirnya disepakati bersama bahwa padi tersebut diserahkan kepada Ne' Jaek untuk ditanam dan disebarluaskan kepada manusia. Hanya saja sekedar imbalan atas hak/bantuan mereka, masing-masing mengajukan syarat kepada Ne' Jack. Burung pipit yang merasa memiliki, menganjurkan kepada Ne' Jack, agar padi ditanam secara serentak. Jangan ada yang ditanam lebih dahulu atau kemudian (lambat). Jika anjuran ini tidak ditaati, maka yang ditanam terdahulu menjadi bagianku, demikian ancaman burung pipit. Sedangkan yang ditanam kemudian (terakhir) akan menjadi bagian kami pula, sambung limpango: Selanjutnya setelah sampai pada gilirannya tikus pun berkata: "Bilamana ladangnya tidak terumput, berarti padi yang ada di dalamnya menjadi bagian kami". Dalam perundingan itu. ular mengalami kekecewaan karena tidak dapat mengajukan syarat (usul hak) apapun sehubungan dengan kegagalan tugas yang diembannya. Dalam hatinya timbul rasa dongkol kepada limpango yang telah menyaingi tugasnya. Ingin ia membunuh lawannya. namun karena limpango dapat terbang. maka amarahnya dilampiaskannya kepada tikus. Untuk mewujudkan tekadnya, ular meluncur mengejar tikus. Namun karena kecepatannya ia dapat selamat dari sergapan. Akibatnya amarahnya semakin membara dan terus berlangsung sampai kini. Setelah perundingan selesai mereka bubar dan pulang ke tempatnya masing-masing. Dengan rasa senang dan bangga (karena dengan temuannya itu ia dapat membantu manusia mendapatkan makanan) Ne' Jaek pulang ke rumahnya walaupun tanpa membawa kepala kayau. Namun kebahagiaannya sirna setelah ia sampai di rumah. la sangat kecewa, sebab akibat perbuatannya yang menyimpang dari tugas semula ia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Orang tua dan keenam saudaranya marah kepada Ne' Jaek yang pulang tanpa membawa kepala kayau seperti yang direncanakan. Ne' Jaek semakin sedih karena dengan penjelasannya (tentang keuntungan yang mereka peroleh dari barang temuannya itu), ia tidak dapat mengurangi kemarahan keluarganya. Kesedihan dan kekecewaan menjadi sempurna setelah menerima keputusan Ne' Gulinatn mengakhiri pertunangan dengan dirinya. Karena tidak dapat menahan dirinya, maka ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya dengan tujuan yang tidak menentu. Cerita rakyat itu mengandung ajaran tentang tata cara bercocoktanam padi yang baik yakni padi harus ditanam secara serentak dalam waktu yang bersamaan agar tidak habis dimangsa burung pipit. Pengaturan waktu penanaman padi secara bersamaan ini bersifat sangat rasional dengan cara demikian konsentrasi penyerangan gerombolan burung pipit dapat diatasi. Seandainya padi tidak ditanam secara bersamaan maka serangan gerombolan burung pipit akan terkonsentrasi di ladang padi yang berbuah masak atau menguning sehingga mengakibatkan petani yang bersangkutan mengalami kerugian besar dan bahkan beresiko dengan kegagalan panen. Prinsip periodesasi masa tanam ini sudah sesuai dengan prinsip budi daya padi secara modern. Sedangkan cerita tentang ancaman tikus yang akan memakan padi di ladang yang tidak dibersihkan rumputnya itu bersifat sangat rasional. Tikus menyukai ladang padi yang banyak rumputnya karena tikus akan terlindung dari ancaman musuhnya seperti ular dan burung hantu. Tanaman gulma atau rumput liar di ladang padi memang harus dibersihkan supaya padi dapat tumbuh dengan subur. 2. Asal Mula Manusia Membudidayakan Tanaman Padi Setelah meninggalkan rumah orang tuanya Ne Jaek melangkahkan kaki menurut suara hatinya. Naik turun gunung. keluar masuk hutan, menelusuri lembah dan sungai sambail membawa setangkai buah (padi) yang selalu digenggamnya. Berhari-hari dalam perjalanan akhirnya ia bertemu dengan orang tua yang sangat ramah. Dalam percakapannya kemudian Ne' Jack mengetahu bahwa orang itu bernama Ne' Panitah yang beristrikan Ne' Pangadu. Mereka orang (suruhan) Jubata yang tinggal di Gunung Bawakng, keluarga Ne' Panitah dan Ne' Pangadu ternyata mempunyai puteri satu-satunya yang diberi nama Ne' Bumbun. Melihat setangkai buah dalam genggaman Ne' Jaek, maka berlututlah Ne' Panitah. Kepadanya dijelaskan bahwa yang digenggamannya itu adalah setangkai padi milik Ne Panitah yang dicuri oleh ayam. Dikatakanlah kepada Ne' Jaek bahwa ayam itu (ialah burung pipit) ternak adiknya bernama Kabayatn. orang suruhan Jubata lainnya. Setelah itu Ne' Panitah mohon kepada Ne Jaek supaya mau mengembalikan padi miliknya itu. Namun usul dan permintaannya itu ditolak keras oleh Ne Jaek. Dengan pikiran yang baik, Ne' Panitah berupaya dan akhirnya menemukan suatu akal. Kepada Ne' Jaek ditawarkan supaya mau pergi ke Bukit Bawakng dan bersedia mengawini Ne Bumbun puteri kesayangannya. Karena Ne' Jaek menyadari pertunangannya dengan Ne' Gulinatn telah putus, di samping tekadnya tidak akan kembali ke kampung halamannya (sebagai akibat penghinaan or- ang tua dan saudaranya), maka usul dan tawaran Ne' Panitah diterima dengan senang hati. Setelah kesepakatan itu, mereka pun pergi ke Bukit Bawakng. Dalam perjalanan ini Ne' Jaek dan Ne' Panitah naik (mengendarai) alat yang dinamakan lonsor papatn. Suatu alat transportasi yang sangat cepat sehingga dalam sekejap mata saja mereka telah sampai di Bukit Bawakng, sesuai dengan rencana sebelumnya, maka setelah sampai pertunangan pun dilaksanakan. Namun sebelum pertunangan dilangsungkan, Ne' Bumbun ingin mengetahui kemurnian cinta Ne' Jaek disamping kesiapannya. Untuk pengujian tersebut, Ne' Jaek diajak oleh Ne' Bumbun pergi ke ladang untuk memetik hasil panen yang berupa padi, buah- buahan dan sayur mayur. Sesampai di ladang Ne' Jaek disuruh Ne' Bumbun memetik semua yang tumbuh dan berbuah di ladangnya. Tanpa petunjuk Ne' Jaek melaksanakan tugasnya dengan segera. Mula-mula yang dilakukannya ialah memetik tangkai padi, barulah kemudian ia mengambil dan mengumpulkan sayuran dan buah- buahan secukupnya. Melihat apa yang telah dilakukan oleh Ne Jaek telah sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, maka Ne' Bumbun akhirnya menerima pertunangan yang dikehendaki orang tuanya. Menurutnya Ne Jaek lulus dari ujian, telah dapat membedakan bahwa padi merupakan bahan makanan yang lebih penting dari bahan lainnya. Di samping itu calonnya memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap dirinya, sebab telah melaksanakan semua tugas yang diberikan dengan sejujur-jujurnya. Demikianlah akhirnya pertunangan mereka berlanjut menjadi keluarga yang melahirkan putera yang bernama Ne' Baruakng. Semenjak tinggal di Bukit Bawakng. Ne' Jack merasa hidupnya sangat bahagia bersama isteri yang sangat dicintainya. Apalagi cintai mereka membuahkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Memang sekali-sekali ia teringat akan saudaranya di Talino (dunia yang di huni manusia). Namun kerinduannya menjadi sirna kembali, sebaliknya muncul rasa benci dan dendam atas perlakuan yang ditujukan saudaranya kepada dirinyadi Talino itu. Karena dendamnya yang mendalam kepada orang tuanya. saudaranya dan bekas tunangannya Ne' Gulinatn di masa lalu. Ne' Jaek malah berjanji untuk memutuskan hubungan dan tidak akan turun ke Talino selama-lamanya. Dalam suasana yang bahagia itu, putera mereka yang satu- satunya yang dinamakan Ne' Beruakng tumbuh dengan norma. Pada saat menginjak dewasa, Ne' Beruakng semakin terlibat dalam kegiatan penemuan identitas dirinya sebagai seorang perjaka. Ketika ia asyik mengamati lingkungan sekitarnya, pandangan Ne' beruakng tertuju ke bawah. Ia melihat sekelompok orang yang asyik bermain setiap hari. Untuk mengetahui lebih lanjut. Ne' Beruakng bertanya kepada neneknya (Ne Panitah). Melalui penjelasan neneknya, ia mengetahui bahwa kelompok yang bermian itu ialah manusia di Talino yang sedang bermain gasikng (gasing). Setelah mengetahui dengan jelas, maka timbullah keinginan dalam hati Ne' Beruakng untuk bergabung bermain-main dengan anak-anak Talino. Lama ia menyimpan keinginannya itu, namun pada saat ia tidak sanggup menahan keinginannya. Ne' Beruakng akhirnya menyampaikan maksudnya itu kepada neneknya, Ne' Panitah. Dengan sedih neneknya tidak dapat memberikan izin kepada cucunya, karena tahu bahwa bapaknya Ne' Jaek pasti akan marah. Namun setelah berulang kali dibujuk, maka Ne' Panitah menyampaikan keinginan cucunya, Ne' Beruakng kepada Ne Jaek. Dan ternyata Ne' Jack tidak mengizinkan anaknya ke Talino untuk bermain gasikng. Tetapi sekeras-kerasnya orang tua, akhirnya setelah melalui musyawarah dengan mertua dan isterinya (Ne Panitah dan Ne' Bumbun) Ne' Jaek memenuhi keinginan puteranya yang diajukan secara berulang-ulang. Persetujuan ini diikuti dengan upaya Ne Panitah membuatkan cucunya gasikng sebesar buah limau keris. Dengan mainan gasikng buatan neneknya dan bekal secukupnya, keesokan harinya Ne' Beruakng pun berangkat ke Talino dengan lonsor papatn, langsung ke tempat permainan yang menjadi idamannya sejak lama. Sungguh asyik Ne' Beruakng dapat menyaksikan orang-orang yang sedang pangkak (main gasikng), apalagi diikuti dengan nyanyian-nyanyian amboyo (semacam pantun) yang sangat merdu. Bagoro nanga sare Paradah pulo bantain Narik leko ka' tangah pante Bapangka ka tangah laman Setelah sekian lama menyaksikan mereka pangkak, akhirnya Ne' Beruakng memberanikan diri menyampaikan permohonannya agar dapat diikutkan bermain gasikng. Kienginan Ne' Beruakng diterima baik oleh anak Talino, hingga mereka dapat bermain bersama-sama. Dan secara lengkap kelompok pemain ini terdiri dari: Ne' Si Umang-Umang, Ne' Si Uit-Uit, Ne' Rumanikng, Ne' Rumaga, Ne' Sarihayu, dan Ne' Beruakng. Secara diam-diam kelompok pangkak ini tertarik kepada anggota barunya, sehingga pada kesempatan beristirahat mereka bertanya asal usul dan orang tua Ne' Beruakng. Melalui penjelasannya ini. Ne' Si Umang-Umang bersaudara mengetahui bahwa Ne' Beruakng ialah keponakannya sendiri, anak Ne' Jaek, saudara tuanya. Di ujung perbincangan mereka tibalah waktunya bagi mereka makan bersama. Masing-masing mereka mengeluarkan bekal yang dibawa. Ketika melihat bekal yang dibawa Ne Beruakng, keenam pamannya terkejut. Mereka menyangka yang di makan Ne Beruakng itu ulat, lain dari bekal yang biasa mereka makan selama ini. Setelah mendengar penjelasan keponakannya itu, semua pamannya mengerti bahwa yang mereka sangka ulat itu adalah nasi. Sedangkan bekal yang biasanya mereka makan itu sebenarnya kulat karankng (semacam jamur, basidiomycetes). bukan makanan pokok tetapi bahan makanan tambahan nasi sebagai sayur. Untuk membuktikan penjelasan itu Ne' Beruakng membagi- bagikan bekal nasinya kepada keenam pamannya. Alangkah senangnya mereka, sebab setelah mencicipi bagian yang sedikit itu mereka merasa kenyang dan menyegarkan. Kepuasan keenam pamannya itu terungkap dalam ucapan : Sabitik sinsuah nyawa, sapatah singkanyang parut (sangatlah puas jika dimakan sebiji saja, ... Setengah biji saja sudah mengenyang perut). Setelah memperoleh kenikmatan bekal yang dibawa Ne' Beruakng itu, mereka menanyakan dimana mendapatkannya dan bagaimana cara mengolahnya sehingga menjadi beras dan nasi. Setelah mendengarkan penjelasan Ne Beruakng, keenam pamannya minta dibawakan bibit padi. Namun permintaan itu tidak dapat dipenuhinya, karena ia tahu bahwa ayahnya Ne' Jaek akan marah bilamana mengetahuinya. Walaupun demikian, setiap hari keenam saudaranya tersebut selalu mengulangi maksudnya kepada Ne Beruakng. Pada mulanya Ne' Beruakng selalu menolak permintaan paman-pamannya tersebut. Namun akhirnya, setelah hari keempat, Ne' Beruakng tidak tahan lagi menahan rasa ibanya kepada paman- pamannya. Dan ia pun berjanji untuk membawakannya. Untuk memenuhi janjin itu pamannya mengusulkan cara. Supaya tidak ketahuan ayahnya Ne' Jaek, Ne Beruakng harus memasukkan biji padi itu ke dalam bunga atau kulit ujung kemaluan. Karena pada saat itu kebetulan Ne' Beruakng belum di sunat atau dibalak. Pada sore hari, setelah Ne' Beruakng sampai ke Bukit Bawakng, ia pun mencari akal akar dapat melaksanakan rencananya. Untuk memperoleh waktu yang cukup. Ne' Beruakng menumpahkan semua air persediaan yang di simpan ibunya di dalam tabakng-tabakng (tabung yang terbuat dari ruas bambu). Begitu ibunya datang dari ladang, langsung emnuju ke tepian/sungai mengambil air untuk kebuthan sore dan malam. Pada saat itulah Ne' Beruakng mengambil padi ke dalam dango dan segera memasukkannya ke dalam kemaluannya agar dapat dibawa keesokan harinya. Untuk memenuhi janjinya kepada keenam pamannya di Talino, Ne' Beruakng memasukkan tiga biji padi. Terdiri dari dua buah biji padi sunguh (nasi biasa dengan jenis, padi antamuk dan padi sakado. Sedangkan yang sebiji digolongkan padi poe' (ketan), jenis angkabakng. Keesokan harinya tanpa dicurigai sedikitpun, Ne' Beruakng turun pangkak ke Talino sebagaimana biasanya, sesuai dengan janjinya, maka ketiga biji padi yang dibawanya itu terlebih dahulu diserahkannya kepada keenam pamannya. Selanjutnya atas petunujuk Ne' Beruakng, padi harus ditanam di dapur agar tidak terlihat oleh Ne' Jack, ayahnya. Demikianlah yang dilakukan yang dilakukan oleh pamannya sehingga padi tumbuh subur sampai siap dipanen. Hasil panen, semuanya dijadikan bibit untuk ditanam embali.... begitu seterusnya, sehingga jumlahnya semakin hari semakin banyak. Karena tidak mungkin lagi ditanam di dapur (dalam rumah). pada akhirnya ditanam di atas tanah tumuh (gundukan tanah yang terbentuk oleh sarang anai). Agar saikng dan balonya (pantulan sinar) tidak nampak di Bukit Bawakng, maka dipasanglah daun pisang emas sebagai tudung penutup. Adapun alasan pemilihan lokasi penanaman itu adalah warna tanah tumuh yang kemerahan itu dapat mengetahui warna padi, disamping pertimbangan tingkat kesuburannya. Akan tetapi upaya yanag dilakukan itu ternyata diketahui oleh Ne Jaek Bukit Bawakng. Setelah padi itu masak, rupanya saikng dan balonya tetap terpancar ke atas, hingga sampai ke Bukit Bawakng, mengetahui hal itu Ne Jaek sangat marah kepada anaknya, Ne' Beruakng. la tahu bahwa yang membawa bibit padi itu ke Talino tidak lain anaknya. Untung saja ketika ayahnya marah Ne' Beruakng masih pangkak ke Talino. Karena kemarahannya tidak dapat dibendung itu, ayahnya memutuskan untuk membunuh Ne' Beruakng. Untuk mencapai maksudnya itu Ne' Jaek memasang belantik (pati') di jalan biasanya Ne' Beruang turun naik dari/ke Talino, dekat danau, tepian tempat mandi. Rupanya rencana dan tindakan Ne' Jaek diketahui oleh mertuanya, Ne' Panitah. Menyadari, bahwa tindakan menantunya itu tidak segera dicegah, maka cucunya Ne' Beruakng yang sangat dicintainya itu akan mati di ujung belatik ayahnya sendiri. Pada saat yang kritis itu, Ne' Panitah teringat akan babi tintingan sunat Ne' Beruakng. Babi tintingan yang dinamakan si Gantang itu sedang dikandungkan sebelum digunakan untuk mestakan sunat cucunya. Untuk menyelamatkan cucunya Ne Beruakng, dari pati' Ne' Jaek, maka Ne' Panitah melepaskan Gantang (babi tintingan sunat) dan mengahalaunya menuju tepian danau. Sesuai dengan harapan Ne' Panitah maka babi tintingan sunat (si Gantang), tertusuk pati dan mati seketika itu juga. Ne Panitah berhasil menyelamatkan cucunya (Ne' Beruakng) dari pembunuhan ayah kandungnya sendiri. Namun ternyata akhirnya diketahui bahwa upaya yang telah dilakukan oleh Ne Panitah ini menumbuhkan luka lama, kebencian Ne' Jaek kepada saudara- saudaranya akhirnya dilampiaskan kepada anaknya sendiri. Untuk menyelamatkan Ne' Beruakng dari kurban ayahnya ini, Ne' Panitah menyuruh cucunya pergi merantau meninggalkan Bukit Bawakng. Melalui rencana yang rekayasa Ne' Panitah, maka keesokan harinya Ne' Beruakng berangkat meninggalkan keluarganya. Karena keadaan yang tidak memungkinkan lagi, Ne Panitah dengan kesedihannya terpaksa merelakan cucunya tanpa bersunat sesuai dengan adat yang berlaku. Sejak itulah Ne Beruakng dinamakan Ne' Si Kulub. Cerita rakyat ini memberikan ilustrasi tentang proses padi menjadi makanan pokok manusia (talino). Dengan demikian tanaman padi merupakan tanaman utama dalam sistem bercocoktanam orang Dayak Kanayatn. Hasil panen padi tidak semuanya habis dikonsumsi para petni namun wajib bagi setiap petani untuk menyimpan sebagai bahan benih dengan cara seperti ini kelestarin bercocoktanam padi akan terjaga. 3. Asal Mula Rasi Binatang Keberangkatan Si Kulub merantau meninggalkan Bukit Bawakng, dilepas oleh ibu dan neneknya dengan rasa iba. Demi keselamatannya, ia dipesan oleh neneknya supaya dalam perjalanan Beruakng harus menyimpang ke sebelah kanan. Artinya jika sampai dipersimpangan jalan, ia tidak boleh menelusuri jalan sebelah kiri. Ne' Beruakng diperingati pula bahwa di dalam perjalanannya nanti akan dijumpai banyak cobaan. Sesuai dengan diingatkan neneknya, ternyata Ne' Beruakng Ne' Si Kulub dalam perjalanannya selalu mendapatkannya cobaan yang sangat berat. Di setiap persimpangan jalan, Ne' Si Kulub selalu merasa bimbang, sebab simpang kiri yang semetinya dihindari selalu dihuni oleh gadis-gadis cantik dengan sapaan dan rayuan yang menawan. Sebagai perjaka yang masih muda, setelah beberapa kali dapat menahan diri seperti yang diingatkan oleh neneknya. akhirnya Ne' Si Kulub terlena dalam rayuan gadis cantik. la takluk kepada seoranag gadis cantik yang dinamakan Ne' Si Putih, Panara alam gaib (negeri yang berada di atas bumi, tempat roh-roh halus/setan yang suka menggoda manusia Talino). Karena cintanya. akhirnya Ne' Beruakng lupa akan semua pesan neneknya, sehingga ia pun memutuskan untuk kawin. Setelah setahun lamanya ia kawin, Ne' Si Putih isterinya mengandung sampai melahirkan dengan selamat. Namun dalam menyambut kelahiran puteranya itu, Ne' Beruakng merasakan adanya keanehan. Ketika suaminya (Baruakng) melihat anak- anaknya barang sebentar pun. Namun didorong oleh keinginan yang mendalam, maka saat isterinya sedang mandi di sungai ia naik ke para untuk menjenguk putera kesayangannya, hasil buah cintanya kepada isterinya. Namun alangkah terkejutnya Ne' Beruakng setelah melihat keadaan anaknya. Jumlahnya yang banyak, memenuhi tempa (sejenis bakul besar yang terbuat dari pelepah sagu). Semuanya terwujud rasi yang terdiri bermacam hewan yang bernama Keto, Buria, Ktuk, Leo, Nenet, Kapo, Buragah, Tarogakng, Sooh dan banyak lagi jenis lainnya yang semuanya mengangakkan mulutnya minta makanan. Setelah melihat keadaan itu, sadarlah Ne' Beruakng bahwa isterinya Ne' Si Putih bukanlah keturunan manusia Talino. Akan tetapi hal itu tetap dirahasiakannya, agar mendapatkan kesempatan menemukan alasan yang tepat untuk meninggalkan isterinya. Pada waktu yang tepat untuk melarikan diri, Ne' Beruakng pun berkata kepada isterinya. Bahwa ia akan pergi ke rumah orang tuanya di Bukit Bawakng untuk memberitahukan peristiwa perkawinannya, sekaligus menjemput orang tuanya untuk menghadiri upacara adat batalah (adat pemberian nama). Mendengar alasan yang dikemukakan suaminya itu sangat tepat, maka Ne' Si Putih tidak keberatan mengizinkannya berangkat hari berikut. Setelah sampai ke rumah orang tuanya, ia segera menceritakan semua pengalamannya itu kepada ibu dan neneknya. Dijelaskan oleh neneknya, Ne' Panitah, yang menjadi isterinya itu sebenarnya bukanlah manusia, melainkan iblis yang suka menggoda dan merayu dengan tujuan untuk menjerumuskan. Demikian seterusnya Ne' Panitah melanjutkan berbagai pesan, petuah dan nasehat agar cucunya tidak gampang jatuh terjerumus oleh godaan yang selalu muncul dalam sepanjang hidupnya. Setelah mendengar semua petuah neneknya, maka sejak itu Ne' Beruakng tidak pernah kembali kepada isteri dan anak-anaknya. Rasi dalam tradisi masyarakat Dayak Kanayatn dipahami sebagai makhluk halus yang menjelma dalam wujud binatang dan rasi ini sering memberikan tanda-tanda bagi keberuntungan dan kemalangan kehidupan manusia. Pertanda yang diberikan rasi ini bisa berupa suara burung yang mengisyaratkan seseorang boleh membuka ladang di suatu tempat. Oleh karena itu dalam tradisi membuka ladang dikenal upacara atau ritual baburukng. Upacara ini dilakukan pada waktu senja atau malam hari di lokasi yang akan dijadikan ladang untuk mendengarkan rasi baik atau buruk dari suara-suara burung tertentu. 4. Perkawinan Ne' Beruakng dengan Ne' Si Putih Batu Buntar Muha Perkawinan pertama Ne' Beruakng yang dilewati dengan pengalaman pahit, ternyata tidak mengurangi semangatnya untuk melanjutkan petualangannya. Keinginannya untuk merantau tidak dapat dilupakannya ketika diketahui bahwa ayahnya, Ne' Jaek tetap saja menaruh dendam kepadanya. Setelah tekadnya bulat, keesokan harinya Ne' Beruakng meninggalkan Bukit Bawakng untuk petualangannya yang kedua. Seperti pengalamannya terdahulu, mula-mula Ne' Beruakng selalu ingat akan pesan neneknya. Namun akhirnya ketika memasuki suatu persimpangan hatinya pun tergoda lagi akan rayuan, sehingga melupakannya segala-galanya. Akhirnya ia kawin dengan gadis bernama Ne Si Putih Batu Buntar Muha. Seperti pengalamannya yang pertama maka perkawinan kedua inipun tidak dapat membahagiakan Ne' Beruakng. Sebab setiap isterinya hamil selalu melahirkan anak cacat, di antaranya ada yang buta, timpang, lumpuh dan seluruh badannya berkoreng serta berbagai macam penyakit yang selalu menyedihkan. Mereka diberi nama Jampuna (kemudian menjadi keturunan Mawikng, Jampekong, yang menurunkan pujut, Saikng Sampit Sansa Pena, yang kemudian menurunkan sarintake. Nama-nama itu sering disebut dalam mantra yang dibacakan untuk penyembuhan penyakit yang diduga karena makhluk halus dengan ungkapan: Jampuna raja Mawikng, Jampekong raja Pujut. Kanayatn merupakan makhluk halus yang sulit digambarkan wujudnya. Mawikng diyakini makhluk berambut panjang, hidup di hutan belantara dengan lapangan yang dinamakan poporatn atau tempat yang bersih di bawah pohon yang rimbun. Pujut digolongkan makhluk halus penyebab penyakit gatal, berbintil. Sarintake makhluk halus penyebab penyakit yang selalu erat hubungannya dengan berbagai kelumpuhan dan penyakit tulang lainnya. Melihat keadaan anaknya yang demikian, maka sadarlah Ne' Beruakng bahwa dirinya melanggar pesan neneknya, Ne Panitah. la pun yakin bahwa isterinya yang kedua inipun bukan keturunan manusia. Oleh sebab itu ia berencana untuk meninggalkan isteri dan anak-anaknya dan pulang ke negeri orang tuanya di Bukit Bawakng. Dengan alasan yang dibuat-buat iapun akhirnya pulang ke rumah orang tuanya dan menceriterakan kembali semua pengalamannya dengan isteri kedua. Seperti yang telah diduganya, neneknya Ne' Panitah menjelaskan bahwa isterinya yang bernama Ne Si Putih Batu Buntar Muha itupun bukan keturunan manusia, melainkan iblis yang sering mengganggu dan menggoda. Sehingga dari perkawinannya itu Ne Beruakng hanya menghasilkan berbagai rasi dan berbagai keturunan iblis penyebab penyakit tertentu. Rasi adalah perwujudan roh-roh halus dalam bentuk lain berupa makhluk hidup seperti burung dan sebagainya. Disamping sifatnya yang negatif, yakni memberi kutukan, rasi juga dapat menjadi isyarat yang mengingatkan manusia terhadap bahaya yang mungkin akan menimpa. Cerita rakyat ini menjadi dasar dari pelaksanaan berbagai upacara atau ritual barobat (berobat) seperti Baconteng (Baburas, habore, Ai' Tawar). Badukun. Balenggang, Badendo dan Baliat 'n yang masih terus dilaksanakan oleh sebagian warga masyarakat Dayak Kanayatn. 5. Perkawinan Ne' Beruakng dengan Ne' Jamani Tabilong Tingi Tatkala ketenangan terganggu setelah mengingat dendam ayahnya masa lalu, Ne' Beruakng pun pergi meninggalkan Bukit Bawakng, untuk melakukan petualangannya ketiga. Karena menyelami apa yang bergejolak dalam hati Ne' Beruakng, dengan rasa sedih dan berat hati, neneknya Ne' Panitah dan ibunya, Ne' Bumbun mau mengabulkannya. Berpedoman pada pengalaman yang terdahulu dan nasehat neneknya, maka dalam petualangannya ynag ketiga ini, Ne Beruakng berhasil melewati semua godaan, sehingga akhirnya dapat mencapai tujuan setelah memasuki simpang kanan. Ia berhasil mengawin seorang gadis yang bernama Ne' Jamani dari Tabikng Tingi. Dari perkawinan ini ia melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamakan Patih Mawar. Putranya ini berbeda dengan anak- anaknya terdahulu. Sebagai Jujuhatn (keturunan) manusia Patih Mawar tumbuh dan berkembang dengan sehat dan normal. Keadaan ini berlanjut sampai Patih Mawar beranjak dewasa. Kedua otang tuanya semakin mencintainya tatkala ia berkembang menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Oleh karena itu keluarga ini akhirnya sangat bahagia, sebab puteranya Patih Mawar sekaligus menjadi pujaan sekampung. 6. Patih Mawar bergelar Ampor Gayokng Di celah kebahagiaan keluarga Ne' Beruakng seperti yang telah diceriterakan, ternyata terdapat sesuatu yang mengganjal. Sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat, ternyata keluarga ini belum melaksanakan kewajibannya. Sebab Patih Mawar yang sudah meningkat dewasa belum di sunat. Untuk melengkapi kebahagiaannya, maka keluarga Ne' Beruakng mulai merencanakan niatnya melaksanakan roah babalak (pesta sunat). Setelah terpenuhi maka iapun mengumpulkan ahli waris, kenalan dan seluruh isi kampung untuk ngahat gunda (membuat undangan dalam tradisi Kanayatn). Ngabat gunda adalah adat kebiasaan yang diadakan sebelum pesta dilakukan. Tujuannya yang prinsip adalah merencanakan, menetapkan hari jadi yang berlanjut dengan pengiriman undangan dengan tali gunda kepada sanak saudara sekampung maupun di luar kampung. Tali gunda sebagai undangan berwujud pintalan tali yang berbuku-buku dengan menyimpulkannya (ngabat) jumlah buku disamakan dengan rencana hari H-nya. Sesuai dengan kebiasaan, orang dan keluarga terdekat telah datang dan merampungkan persiapan terutama menumbuk (tepung). Oleh sebab itu hari persiapan ini dinamakan hari betutuk (tutuk artinya tumbuk). Pada saat ini, tiba-tiba timbul keinginan dalam hati Patih Mawar untuk memanjat dan memetik buah Sibo(sejenis rambutan hutan) yang tumbuh di tepian dekat rumahnya. Mengikuti keinginan itu, Patih Mawar pergi dengan tongkengannya (parang yang disarungkan dan diikatkan di pinggang) lengkap dengan ubaatn katoro (alat pengambil kecil) pergi menuju pohon buah yang telah masak itu. Namun anehnya, setiap Patih Mawar melaksanakan niatnya ia selalu mendengar suara segala rasi keto, buria' dan kutuk. Ayahnya yang mengetahui akan hal itu mencegah supaya anaknya mengurungkan niatnya memanjat tetapi ternyata anaknya tidak dapat menahan keinginannya. Oleh sebab itu, setelah suara rasi tidak terdengar lagi, Patih Mawar pun mulai memanjat. Pada saat tangannya merangkul pohon untuk memanjakan kakinya, suara rasi kembali memecahkan keheningan dan ketenangan. Namun Patih Mawar yang sudah merasa terlanjur tidak lagi memperhatikan segalanya, sehingga ia langsung memanjat sampai ke atas. Akan tetapi malang baginya, ketika ia sedang mengambil buah sibo tangannya terlepas dari dahan pegangan. Seketika itu juga Patih Mawar pun jatuh menimpa batu ampar (batu besar di tanah). mengakibatkan tubuhnya hancur berderai. Ayahnya beserta orang-orang yanag berada dalam rumahnya menyaksikan kejadian itu segera turun untuk membantu. Ketika sampai di tempat tujuan, Ne' Beruakng tertunduk melihat keadaan anaknya yang telah hancur itu. Dalam kebingungan itu ia teringat kepada anak-anaknya dari kedua isterinya yang terdahulu. Kemudian mereka dipanggil namun mereka tidak mau datang karena tidak dperkenankan oleh ibunya masing-masing yang telah diabaikan Ne' Beruakng tanpa mengeluarkan adat perangkat care. Sadar akan hal itu. Ne' Beruakng akhirnya mengeluarkan adat yang diwajibkan, sehingga perceraiannya dengan isterinya Ne' Putih dan Ne Putih Batu Buntar Muha dinyatakan sah. Setelah kewajiban adat ini diselesaikan oleh Ne' Beruakng. maka semua anaknya berdatangan untuk memberi pertolongan kepada adiknya, semua menyesali kejadian yang menimpa adiknya. Untuk mengungkapkan kekesalannya itu, rasi keto, buria' dan kutuk berkata: Inilah yang tidak kami ingini, maka kami melarangnya memanjat. Namun dalam hati ayahnya, justru larangan rasi (abang- abangnya) itu telah mengganggu konsentrasi Patih Mawar, sehingga akhirnya jatuh. Oleh sebab itu, dengan kesal Ne' Beruakng berkata kepada semua rasi anaknya: kamupun jangan suka nyungkaki adikmu. (nyungkak artinya menghalangi niat orang lain yang disertai kutukan). Selanjutnya Ne' Beruakng berkata kepada anak-anaknya. Sekarang kalian harus mengupayakan agar adikmu hidup kembali. Atas anjuran ayahnya itu, mereka mulai berunding untuk menyelamatkan adiknya. Setelah berunding. mereka mengumpulkan anggota badan dan tulang belulang adiknya yang telah hancur. Setelah disusun, ternyata ada bagian yang telah hilang, yakni hati, otak dan darahnya. Untuk menggantikan bagian yang hilang itu, kutuk memberikan hatinya (sehingga menurut pengetahuan Dayak Kanayatn, Kutuk tidak mempunyai hati). Kemudian rasi Sooh menyerahkan otaknya, sedangkan rasi Biang memberikan darahnya. Dengan demikian, maka lengkaplah sudah bagian tubuh adiknya itu. Akan tetapi walaupun sudah lengkap. Patih Mawar ternyata belum dapat hidup karena tidak mempunyai nyawa (nafas). Untuk memperoleh nyawa itu, mereka harus mencuri cupu milik ibunya, Ne' Si Putih dan Conekng, milik ibunya Ne' Si Putih Batu Buntar Muha (Cupu dan Conekng adalah tempat penyimpanan obat pedukunan tradisional. Cupu berbentuk tempayan kecil terbuat dari tembaga atau porselin, sedangkan conekng biasanya berbentuk botol kecil). Untuk mencuri kedua tempat itu, maka satu diantara anak- anak Ne' Si Putih dan Ne' Batu Buntar Muha mereka utus. Setelah alat itu diperoleh, kesulitan lain muncul ketika mereka memerlukan dukun pamaliatn bernama Dayakng Langa' dengan seorang Panyampakng (juru bahasa atau mendengar) bernama Selet Gensengan yang tinggal di Sirikng Langit. Dalam liatan itu Ne' Dayakng Langa' pun mengungkapkan pedukunannya dengan cupu pabua palamputn sengat, conekng pamantal pamungun idup milik kedua isteri Ne' Beruakng. Ternyata cupu mampu menyambung nafas yang sudah putus, dan conekng dapat menghidupkan badan atau jasad yang telah mati. Dengan bantuan paliatn Dayakng Langa dan Selet Gensengan Penyampaknya, akhirnya Putih Mawar dapat diselamatkan. Kiranya selama dirinya mati sebelum tertolong itu, ia merasa seolah-olah dirinya tidur biasa. Oleh sebab itu ketika sadarkan diri (dihidupkan), seolah-olah ia bangun dari tidurnya, dan berkata: Jara tidur malam, nyaman tidur siakng, yang artinya lebih nyaman tidur siang daripada tidur malam. Untuk menjelaskan peristiwa yang sudah terjadi, ayahnda menjawab: kamu tadi bukannya tidur, melainkan meninggal dunia. Untunglah semua kakakmu datang membantu sehingga kamu dapat hidup kembali, lanjut Ne' Beruakng sambil memperkenalkan dengan saudara-saudara bukan seibu. Sejak itu Patih Mawar diselamatkan dari kehancuran itu, maka ia bergelar Ampo Gayokng. Ampor artinya pecah? Hancur berderai dan Gayokng artinya kepala atau raga. 7. Perjanjian Anak-anak Ne' Beruakng Sebelum mereka pulang ke tempatnya masing-masing. maka berpesanlah Ne' Beruakng kepada semua anaknya, dari ketiga orang isterinya. Kepada anak-anak yang lahir dari dua isterinya terdahulu. Beruakng mohon kepada mereka agar selalu menjaga hubungan baik dengan adiknya Ampor (Gayokng) dijelaskan kembali, walaupun mereka tidak menyerupai manusia, namun mereka tetap merupakan raraatn talino (keturunan manusia) sebab anak kandung Ne' Beruakng didurhakai sampai ke anak keturunannya, demikian pesan Ne' Beruakng kepada anak-anaknya. Kemudian mendengar pesannya, semua anak dari kedua isterinya terdahulu merasakan kewajibannya sebagai kakak yang harus selalu dijaga keselamatan adiknya Ampor Gayokng. Kami tinggal tidak menentu, di sembarangan tempat. Jika kami berkata- kata, hendaknya kamu berhenti sejenak, tidak meneruskan perjalanan/pekerjaan. Karena itu merupakan pertanda dari kami untuk mengingat kamu dari ancaman bahaya yang mungkin akan menimpa dirimu. Oleh sebab itu janganlah sekali-kali kamu langgar. Di samping itu, isyarat kemungkinan kami sampaikan kepadamu dalam mimpi ataupun berupa adatn berupa: berupa kaki tersandung. ketika melangkah ataupun bersin pada saat mulai melangkahkan kaki di awal perjalanan. (Adatn atinya pertanda atau isyarat). Selain itu, semua rasi memohon kepada adiknya agar setiap kali akan baramu baremah atau baroah (pesta), jangan lupa memberi kami makan, supaya kami sebagai raraatn talino (anak Ne' Beruakng) tidak menjadi antu buar, rangka', bango ka'padi ka baras. (Buar, rangka dan bango hampir sama artinya dengan boros). Andai kata kutukan dari kami kakakmu, hendaknya kami diberi makan pada saat kamu berobat (berdukun) dengan menyebutkan nama kami. yakni Sakido raja mimpi, salangkas raja nasi, samarera sambah muka balis. Selanjutnya, mawikng. pujut dan sarinteke, anak Ne Putih Batu Buntar Muha mengambil kesempatan menyampaikan pesan dan nasehat kepada adinya. Ampor Gayokng. Dalam hal ini pujut berpesan kami tinggal garah kurebet (batu besar) dan tahakng (gua-gua). Jika tempat kami ini terkena lokasi perdagangan, maka jangan lupa ketika ngawah (adat memulai perladangan) supaya kamu bapinta (mohon), dan memberikan makanan kepada kami berupa nasi bercampur garam (nasi' dan gare'). Sedangkan Mawikng hanya menjelaskan bahwa dirinya di poporatn, yakni tempat di bawah pohon-pohon besar berupa lapangan yang selalu bersih seperti di sapu. Akhirnya Sarinske pun mengingatkan bahwa dirinya tinggal ka 1 tongkotn tanga' (kaki dan kepala tanggak) dan muha talabo' (muka pintu). Kami sendiri tidak akan terlihat olehmu, sehingga mudah kena serunduk. Jika demikian kami dapat marah dengan memukuli dan mencederai kakimu dan tanganmu hingga bengkak dan lumpuh. Namun kami akan menyembukan kembali, jika kamu memberi makan berupa nasi dan gare' yang dihamburkan ke kepala tangga (tongkotn tanga) atau di muka pintu (muha taloho). Setelah pesan-pesan dan nasehat disampaikan oleh semua kakaknya kepada Ampor Gayokng, yang dikenal dengan perjanjian, maka merekapun pulang ke tempatnya masing-masing. Semenjak itu, maka keluarga Ne' Beruakng hidup dalam suasana yang rukun dan damai. Kebahagiaan ini menjadi lengkap setelah anaknya Patih Mawar Ampor Gayokng disunat dan berkembang menjadi dewasa. Semua pesan dan nasihat kakak- kakaknya dianggapnya sebagai suatu perjanjian yang selalu dipenuhinya dan diturunkan sampai ke anak cucunya. Semua cerita rakyat tersebut (Perkawinan Ne' Berukng dengan Ne Jamani Tabilong Tingi, Patih Mawar bergelar Ampor Gayokng. Perjanjian Anak-anak Ne' Beruakng) mengajarkan tentang adat istiadat bersunat, menggelar upacara barobat dan gambaran tentang keterkaitan kehidupan alam manusia (talino) dengan alam makhluk halus yang masih dianggap saudara manusia. Manusia wajib menghormati saudara-saudaranya yang berasal dari makhluk halus tersebut agar dalam setiap gawe atau upacara perhelatan supaya semuanya berlangsung dengan aman. Upacara penghormatan itu diwujudkan dalam pemberian sesajian berupa makan dan lain sebagainya.
Baca
Batu Lobor
Awal mula cerita Batu Lobor yang diceritakan dari seorang yang bernama Serindang yang mengalami langsung kejadian tersebut adalah bahwa dahulu di Enggirang hanya hidup beberapa keluarga yang tinggal di batang panjang (rumah betang) sebelum akhirnya pecah menjadi beberapa kampung. Seiring berjalannya waktu di sebuah rumah batang panjang (rumah betang) sedang diadakan acara gawai, yaitu gawai pesta pernikahan. Ketika orang-orang sedang sibuk mempersiapkan pesta tersebut ada yang menerima temuai (tamu) dari berbagai daerah ada yang sedang sibuk di dapur dan ada yang sedang sibuk memotong Babi di tanah. Di saat orang sedang sibuk tersebut datanglah seorang yatim yang ditinggal mati ayahnya yang bernama serindang mendatangi tempat mereka yang sedang memotong dan memanggang babi di tempat pemanggangan dan meminta hati babi yang sudah di panggang, Oleh salah seorang diberilah hati babi yang diminta anak tersebut. Setelah beberapa saat anak tersebut minta lagi sehingga timbul rasa iseng dari salah seorang yang mengerjakan babi tersebut untuk mengerjai anak tersebut sehingga diberilah getah tangkoh yang menyerupai hati babi. Karena hati yang diminta sudah diberi dan belum habis di makan, maka anak tersebut pun pulang ke tempat ibunya yang kebetulan juga menghadiri pesta tersebut. Setelah sekian lama sang nenek melihat anaknya terus mengunyah tidak berhenti sang ibupun menaruh curiga dengan apa yang sebenarnya dimakan oleh anaknya tersebut sehingga sang ibu bertanya','nak'k, apa yang kamu makan kok dari tadi tidak habis-habis?” kata sang ibu. "hati babi mak”, jawab anaknya. Kemudian sang ibu meminta sesuatu yang dimakan anaknya, "sini ibu lihat hati babinya?” kata sang ibu, si anakpun memberikan hati babi yang dia makan, tetapi betapa terkejutnya sang ibu ketika melihat bahwa yang dimakan oleh anaknya ternyata bukan hati babi Melainkan getah tangkoh Sangking meredangnya (sangat marah) sang ibu ditambah suaminya belum lama meninggal dunia sehingga membuatnya tidak bisa berpikir jernih lagi. Sang ibupun membawa anaknya pulang tanpa pamit ke orang-orang menuju pondok mereka yang kebetulan tidak jauh dari rumah Batang Panjang tempat pesta tersebut berlangsung. Sesampainya di pondok sang ibu merias seekor anjing yang ada di pondok mereka kemudian membawanya ke tempat pesta tersebut Batu Lobor langsung dan melepas anjing yang sudah dirias tersebut ke tengah kerumunan orang-orang lalu sang ibu pun pergi dengan membawa serta anaknya sambil membawa rabun (ramuan penangkal malapetaka) menuju sebuah bukit yang sekarang dikenal dengan nama bukit Nek Serindang. Begitu melihat anjing tersebut orang-orang yang hadir di acara tersebut pun tertawa terpingkal-pingkal. Tidak lama setelah itu keadaan pesta suka citapun berubah menjadi malapetaka. Cuaca cerah dengan cepat berubah menjadi gelap gulita disertai angin ribut serta petir dan hujan deras yang membuat orang-orang yang hadir kalut dan lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Tapi sayang mereka sudah terlambat sehingga bencana tersebut menghancurkan dan menenggelamkan mereka semua tanpa terkecuali rumah batang panjang yang digunakan sebagai tempat berlangsungnya pesta pun hancur dan berubah menjadi batu beserta isinya. Sementara sang ibu bersama sang anak yang sudah terlebih dahulu lari menyelamatkan diri ke tempat yang aman dan luput dari bencana tersebut, Setelah keadaan normal kembali mereka pun turun dan pulang ke pondok mereka dengan situasi yang sangat lengang karena yang tersisa hanya puing-puing yang sudah membantu, dan dari merekalah cerita Batu Lobor ini dikisahkan schingga masyarakat dayak Dega Semala’k mengetahui kisahnya,"PAK ALUI”Cerita Pak Alui sendiri adalah sebuah cerita dongeng yang mengandung makna untuk menyindir orang-orang yang pemalas dan sok pintar tetapi hasilnya tidak ada. Contoh: Cerita Pak Alui Bikin ladang berdampingan dengan Pak Migo'k. Jika Pak Migo'k mengerjakan ladangnya dengan sungguh-sungguh tidak banyak ngomong sementara Pak Alui mengerjakan ladanya hanya dengan mulut saja "Tangkal sito'k tangkal sinun cangkah sian, tong... tong... tong... tong rum". Maksudnya adalah kayu-kayu yang ada lokasi ladangnya tinggal dia bilang potong sana potong sini tebang sana tebang sini tok... tok.. .tok.. tok... tumbang kayunya. Ketika Pak Migo'k bertanya apakah ladang Pak Alui sudah selesai dikerjakan dengan santai Pak Alui menjawab sudah selesai. Padahal ladangnya tidak diapa-apakan sama sekali, dan masih banyak lagi cerita Pak Alui yang lainnya yang sarat akan pesan-pesan moral kepada kita.
Baca
Nek Takon dan Putri Pinggan yang Baik Hati
Di sebuah gubuk kecil di Kampung Durian, tampak seorang nenek yang baru saja meninggalkan mimpinya, namanya Nek Takon. Pekerjaannya memelihara pohon durian peninggalan sang leluhur. Selain itu, Nek Takon mempunyai cucu yang manis rupanya. Sejak bapak dan ibu gadis itu meninggal, Nek Takonlah yang membesarkannya. Nek Takon pula yang mengajarkannya berbudi baik kepada sesama.Gadis manis itu bernama Putri Pinggan. Sampai saat ini, orang Kampung Durian mengenal gadis itu dengan nama Putri Pinggan. Gadis manis itu pun menyukai sapaan tersebut.Waktu terus berlalu, hari terus berganti. Sementara musim telah berubah. Kampung Durian yang dulunya subur kini menjadi tandus. Semua aliran sungai berhenti mengalir. Bahkan tak satu sungai pun yang bisa difungsikan. Sungai-sungai itu bagai ditinggal pergi penghuninya sehingga tak terdapat sedikit air pun di sana. Maraknya penebangan pohon liar dan pembuangan sampah di sungai adalah penyebab terjadinya kekeringan. Selain itu, tidak ada pula yang peduli dengan sungai sehingga membuat sungai itu ditumbuhi rumput. Atas kejadian tersebut, aliran sungai pun menjadi sumbat sehingga menyebabkan padi-padi mati, pohon-pohon kecil tidak mampu tumbuh, dan berbagai tanaman menguning.Bencana kekeringan di Kampung Durian menyebabkan penderitaan, terutama Nek Takon dan Putri Pinggan. Nek Takon dan Putri Pinggan sangat menderita. Mereka hampir kehabisan bahan makanan. Pohon durian yang dulu tumbuh subur dan menghasilkan banyak buah, kini meranting dan menunggu ajalnya. Nek Takon tak punya pekerjaan lain selain merawat pohon durian. Kini ia tak punya penghasilan lagi. Nek Takon bingung harus bagaimana.Begitu juga dengan warga Kampung Durian. Persediaan makanan sudah habis. Hewan peliharaan mereka mati. Tak ada yang bisa dilakukan. Menanam padi rasanya percuma, tidak mungkin bisa hidup. Atas kejadian itu membuat mereka sangat khawatir. Bagaimana mereka mampu bertahan hidup di Kampung Durian itu, sementara tidak ada yang bisa dilakukan. Akhirnya, mereka pun pasrah menunggu keajaiban datang. Keadaan demikian terus berlanjut hingga beberapa bulan kemudian. Bencana kelaparan tak terhindari lagi. Pasokan makanan benar-benar habis. Melihat kejadian itu, Putri Pinggan pun mengambil inisiatif. la berencana mengumpulkan warga untuk mencari solusi atas bencana tersebut."Nek, alangkah lebih baiknya kita bicarakan kepada warga tentang masalah yang kita hadapi ini," ungkap Putri Pinggan kepada Nek Takon."Apa yang hendak kita bicarakan, Cu?" tanya Nek Takon Putri Pinggan pun menjelaskan kepada Nek Takon maksudnya yang hendak mengumpulkan warga. "Jadi begini Nek, aku berencana mengajak warga untuk meninggalkan tempat ini. Kampung Durian ini sudah tidak layak untuk kita tinggali Bencana Ini sepertinya akan terus berlanjut. Sebaiknya kita mencari tempat baru saja. Kalau mempertahankan tempat ini, kita akan mati."Mendengar penjelasan Putri Pinggan, Nek Takon pun setuju. Malah sangat mendukung niat cucunya itu. Nek Takon segera menemui warga. la pun mengajak Putri Pinggan untuk menelusuri Kampung Durian. Setiap warga yang dijumpai, disuruhnya berkumpul di balai kampung. Beberapa lama kemudian, berkumpulah seluruh masyarakat. Tak satu pun yang tidak hadir. Ternyata masyarakat memang menunggu adanya pergerakan demikian. Hanya saja tak ada yang memulai. Putri Pinggan pun sangat senang melihat antusias warga."Jadi seperti ini, aku dan Nek Takon mempunyai solusi atas permasalahan ini." "Apa itu solusinya?" tanya salah satu dari mereka dengan penuh semangat."Kita meski mencari tempat tinggal baru. Kita harus meninggalkan Kampung Durian ini. Kalau tidak, kita akan mati kelaparan. Coba saja lihat hewan peliharan kita, semuanya mati. Begitu juga dengan padi yang kita tanam, tidak ada lagi yang bertahan. Apakah kita akan tetap di tempat yang akan membuat kita mati juga," jelas Putri kepada warga yang sedang berkumpul itu.Mereka setuju dengan usulan itu. Masyarakat pun mencoba berunding bersama tentang ke mana ia akan tinggal. Lalu ada satu di antara mereka yang mengusulkan untuk membuka perkampungan di sebuah hutan. Setelah berunding dan menemukan kesepakatan bersama, akhirnya mereka pun pulang. Begitu juga dengan Putri Pinggan dan Nek Takon.Mereka segera pulang karena harus mengemas berbagai perlengkapan yang hendak di bawa. Nek Takon yang merasa dirinya sudah sangat tua tidak banyak membawa perlengkapan. la membawa barang seadanyanya saja. Begitu juga dengan Putri Pinggan yang membawa barang seadanya juga. Waktu yang telah disepakati telah tiba. Semua warga sudah berkumpul. Putri Pinggan dan Nek Takon juga ada dalam kumpulan itu.. Kali ini mereka akan hijrah mencari tempat baru yang hendak ditempati. Sebelum berangkat, mereka berdoa. Hal itu dilakukan agar perjalanan mereka dilancarkan. Bahkan bisa menemukan tempat yang bagus untuk dijadikan sebuah kampung.Beberapa saat kemudian, berangkatlah Putri Pinggan dan warga sekitar. Mereka tak mengeluh meskipun naik turun gunung, menyeberangi sungai, melewati lembah, dan beberapa rintangan lain yang harus dilewati. Tak jarang juga ada yang jatuh sakit. Walau demikian, mereka tetap semangat. Dengan semangat itu pulalah mereka mampu melewati berbagai rintanganTak lama kemudian, sampailah Putri Pinggan berserta rombongannya di suatu tempat. Tempat itu sangat asi. Aliran sungai mengalir begitu deras. Tumbuhan-tumbuhan sangat subur. Burung-burung terbang ke sana kemari. Putri Pinggan beserta rombongan pun berhenti sejenak. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya mereka memutuskan untuk membuka kampung di tempat itu. Mereka pun menebang beberapa pohon yang ada di hutan itu. Pohon yang ditebang tak dibuang begitu saja. Mereka memanfaatkan pohon tersebut sebagai bahan pembuatan rumah. Antusias warga sangat tampak sekali. Berbekal pengalaman yang pahit adalah faktor utama pemicu semangat warga. Mereka berjanji tidak akan mengulangi kejadian yang lalu. Di tempat yang baru ini, mereka akan menjaga alam, dan menjadikan alam sebagai rumah sehingga tak akan ada niat untuk merusaknya lagi.Beberapa hari kemudian, jadilah sebuah pemukiman. Kampung yang masih sederhana. Belum ada jalan, belum ada balai kampung sebagai tempat pertemuan, dan masih banyak kekurangan lainnya. Walaupun serba kekurangan, semua warga sudah memiliki rumah. Rumah-rumahnya tak terlalu besar, tetapi berbaris rapi, sehingga sangat cocok untuk ditinggali.Hal berbeda yang dialami Nek Takon dan Putri Pinggan. Mereka tak bisa membuat rumah. Meraka tak mau juga merepotkan orang lain. Nek Takon dan Putri Pinggan lebih memilih tinggal di dalam gua. Kebetulan di dekat kampung baru itu ada sebuah gua. Lalu Nek Takon dan Putri Pingga pun menjadi penghuni gua itu. Atas hal itu, kampung tersebut pun diberi nama Kampung Gua.Setelah pindah, kehidupan Putri Pinggan dan Nek Takon semakin mudah. Tidak seperti di tempat lama. Begitu juga dengan warga yang lainnya Semuanya hidup dengan berkecukupan. Boleh dikatakan lebih sejahtera tinggal di Kampung Gua dibandingkan tinggal di tempat lama.... Suatu ketika di Kampung Gua ada yang hendak menikah. Warga sekitar pun saling membantu. Tak terkecuali Putri Pinggan dan Nek Takon. Mereka juga hendak membantu. Namun, tak ada barang yang bisa diberikan. Mereka pun kebingungan. Putri Pinggan memikirkan suatu cara agar ia juga bisa membantu.Menjelang beberapa hari pernikahan dilaksanakan, Putri belum juga menemukan cara. Pikiran Putri Pinggan buntu. Akhirnya, timbulah niat Putri Pinggan untuk mengubah dirinya. Putri Pinggan pun pergi bertapa. Sebelum bertapa, Putri Pinggan terlebih dahulu meminta izin kepada Nek Takon."Nek, aku hendak bertapa di ujung gua ini," ungkap Putri Pinggan. Nek Takon kebingungan dengan maksud Putri Pinggan. Lalu Nek Takon pun bertanya "Apa yang hendak kau lakukan Cu?" tanya Nek Takon."Aku merasa tak enak jika tidak melakukan sesuatu yang dapat membatu saudara kita. Bukankah kita sudah berjanji jika ada permasalahan atau pun ada pelaksanaan hajatan maka semua warga di sini harus membantu. Sementara kita, apa yang bisa kita berikan?" jawab Putri yang berusaha menjelaskan pertanyaan Nek Takon.Nek Takon tak bisa melanjutkan pembicaraannya, la merasa apa yang disampaikan Putri Pinggan itu memang benar. Sementara, Nek Takon sudah tidak sanggup lagi bekerja. Tindakan Putri Pinggan Itu hanya bisa didoakannya."Cu, aku bukan tak mengizinkanmu. Aku menyadari bahwa aku sudah tua dan tak bisa membantumu. Aku hanya bisa mendoakanmu, tetapi sebelum Itu terjadi, apa yang hendak kau lakukan setelah bertapa?" tanya Nek Takon.Putri Pinggan pun menjawab dan berusaha memberi penjelasan kepada Nek Takon. Putri Pinggan tak mau membuat Nek Takon kecewa padanya, apalagi membuat Nek Takon khawatir atas perbuatannya itu."Begini Nek, alangkah bahagianya aku jika bisa menempati janji. Sekarang, aku bertapa untuk mengubah diri menjadi sesuatu yang nantinya bisa membantu orang banyak. Bukankah kita bersama warga sudah berjanji untuk saling membantu. Tugas nenek sekarang ialah mendoakan!" jelas Putri Pinggan yang berupaya meyakinkan Nek Takon.Tak lama kemudian, pergilah Putri Putri bertapa. la bertapa tak terlalu jauh. Hal itu dilakukannya agar Nek Takon tak mengkhawatirkannya. Putri Pinggan bertapa di dalam gua tempat tinggalnya juga. Namun, ia memilih di ujung gua tersebut.Sebelum bertapa, Putri Pinggan berdoa agar la dijadikan sesuatu yang bermanfaat. Setelah seharian bertapa, Putri Pinggan tiba-tiba teringat dengan sesuatu yang ada di namanya yakni pinggan. Putri Pinggan pun berharap bisa menjadi pinggan. Menurutnya, pingganlah yang paling dibutuhkan dalam acara pernikahan.Beberapa saat kemudian, seluruh badan Putri Pinggan berubah. Badan, tangan, dan kakinya menjadi pinggan biasa, sedangkan kepalanya berubah menjadi pinggan yang agak besar dan pinggan yang memiliki telinga. Telinga pinggan itu bisa dipegang kanan dan kirinya. Pinggan itu sangat cocok untuk menyimpan makanan seperti lauk-pauk atau pun sayur-sayuran.Ternyata sebelum bertapa, Putri Pinggan sudah berpesan pada Nek Takon untuk menemuinya setelah beberapa hari. Nek Takon pun pergi menyusuri tempat pertapaan Putri Pinggan. Nek Takon merasa waktunya sudah cukup lama sehingga perlu untuk dilihat. Selain memang sudah lama, Nek Takon bimbang dengan apa yang dilakukan cucunya. la berharap cucunya bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat. Sesuai dengan keinginannya. Tak lama kemudian, sampailah Nek Takon. la pun melihat tumpukan pinggan yang sangat banyak. Nek Takon sudah mengira bahwa cucunyalah yang menjadi pinggan-pinggan itu. Nek Takon pun sedih karena ia tidak akan berjumpa lagi dengan cucunya itu.Tiba-tiba mengejutkannya. terdengarlah suara Nek Takon yang terperanjat mendengarnya. Namun, Nek Takon mengetahui kalau suara itu adalah suaranya Putri Pinggan. Nek Takon sudah hafal betul dengan suara Putri Pinggan. Apa lagi suara itu menyebutkan namanya. Bertambah yakinlah Nek Takon. Akhirnya, Nak Takon pun menyimak suara ku dengan saksama."Nek!! Ini aku, Putri Pinggan. Sekarang aku sudah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Pinggan- pinggan yang dihadapan nenek Itulah bentuk tubuhku. Nek, kita sudah bisa membatu tetangga yang hendak melakukan pesta pernikahan. Nenek bawa saja pinggan Itu. Nenek jangan khawatirkan diriku. Aku akan menjadi manusia lagi apabila pesta itu telah selesai serta piring-piring ini dikembalikan di tempat semula. Selain itu, ada hal yang tak kalah lebih penting dan meski nenek dengarkan dengan cermat. Apabila pinggan-pinggan ini dipinjamkan ke orang-orang, semestinya orang itu harus jujur. la harus berani mengatakan dan mau mengakui apabila di antara pinggan itu ada yang pecah. Atau jangan sampai ada seseorang yang meminjam pinggan-pinggan mengembalikannya." ini tetapi tidak mau Tak lama kemudian, suara itu pun menghilang. Kini Nek Takon tak sedih lagi bahkan Nek Takon sangat bahagia. Kebahagiaan itu dikarenakan Putri Pinggan sudah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Kini Nek Takon tak perlu susah payah lagi memikirkan mau membantu apa ketika ada yang hendak menikah. Nek Takon pun senang karena bisa membantu tetangga-tetanganya ketika membutuhkan pinggan. Keesokan harinya, Nek Takon pergi ke rumah Pak Usup. Pak Usup-lah yang hendak menikahkan anaknya. Nek Takon pun menyampaikan bahwa la akan membantu seperti halnya yang lain. Pak Usup pun terkejut mendengar penyampaian Nek Takon. Seperti yang diketahuinya bahwa Nek Takon tak mempunyal apa-apa."Tak perlu repot-repot, lagi pula Nek Takon mau membantu apa?" "Aku memang orang tak punya. Namun, aku memiliki pinggan yang begitu banyak. Pingang-pinggan Itu bisa dimanfaatkan untuk menyajikan hidangan nanti," jelas Nek Takon.Pak Usup terkejut mendengar pernyatan Nek Takon. Padahal yang Pak Usup ketahul, Nek Takon tak punya apa-apa. Setelah mendengar penjelasan Itu, Pak Usup pun senang. Kebetulan Pak Usup sangat memerlukan pinggan yang banyak di acara pernikahan anaknya itu."Silahkan ambil pinggan itu di gua, tempat tinggal. Ajak beberapa orang untuk aku membawanya, karene pinggan-pinggan. itu sangat banyak," perintah Nek Takon.Setelah itu Nek Takon berpamitan. Beberapa saat kemudian, sampailah Nek Takon di guanya. Sementara Pak Usup mengajak beberapa orang untuk membantunya mengangkut pinggan. Merekan pun berangka bersama-sama menuju gua Nek Takon. Sementara, Nek Takon senang melihat Pak Usup datang. Itu artinya Putri Pinggan akan menjadi orang yang bermanfaat."Syukurlah kalian datang, apalagi seramai ini. Sebelum kalian membawa pinggannya alangkah lebih baik kalian harus mengetahui syarat yang meski dipenuhi. Apalagi Pak Usup yang mempunyai hajatan, harus paham betul. Pinggang-pinggan ini harus utuh dikembalikan. Tak boleh satu pun yang tertinggal. Kalau ada yang pecah, kalia harus jujur mengakuinya," ungkap Nek Takon menjelaskan. Setelah menjelaskan, Nek Takon pun membawa mereka ke tempat pinggan itu. Meraka benar-benar kebingungan dari mana Nek Takon mendapatkan pinggan sebanyak itu. Padahal ketika pindah dari Kampung Durian, Nek Takon hanya membawa perlengkapan seadanya saja. Karena penasaran, Pak Usup pun bertanya."Pinggan-pinggan ini dari mana asalnya Nek Takon? Yang kami tahu dan yang kami lihat di keseharian, tidak pernah ada pinggan-pinggan ini, apa lagi Nek Takon memilikinya dengan sangat banyak?" tanya Pak Usup. Nek Takon kebingungan mendengar pertanyaan itu. Nek Takon ingin berbohong, tetapi hatinya tidak bisa mengatakan demikian. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Nek Takon pun mengatakan yang sebenarnya. Nek Takon juga siap menerima risikonya jika Pak Usup tidak jadi meminjam pinggan dengannya. Hal ini dilakukan Nek Takon karena ia tak mau berbohong."Pinggang ini adalah wujud cucukku, si Putri Pinggan. la memilih mengubah wujudnya menjadi pinggang agar bisa membantu kalian semua. Putri Pinggan bertapa di tempat ini. Lalu beberapa saat kemudian, berubahlah wujudnya menjadi pinggan yang begitu banyak. la baru bisa mengubah bentuk menjadi manusia lagi setalah pinggan-pinggan ini dimanfaatkan ketika ada pesta," ungkap Nek Takon dengan nada pelan karena takut dihujat oleh Pak Usup dan beberapa kawannya.Mereka yang mendengar penjelasan Nuk Takon seperti itu bukannya menghujat, malah menghargai perjuangan Putri Pinggan yang rela mengubah wujudnya. Mereka pun menyampaikan sesuatu kepada Nek Takon."Kami akan menjaga pinggan ini agar tidak pecah. Kami juga akan mengembalikannya setelah pelaksanaan pesta pernikahan ini selesai," ungkap salah satu dari mereka. Setelah itu, mereka pun membawa pinggan-pinggan itu keluar gua. Lalu pinggan-pinggan itu dibawa ke rumah Pak Usup. Tiga hari kemudian, pesta pernikahan itu pun berlangsung. Tak satu pun penduduk yang tak hadir di pesta megah itu. Begitu juga dengan Nek Takon. la juga hadir di pesta itu. Nek Takon sangat senang melihat pinggannya digunakan. Apalagi yang hadir begitu ramai dan makanan sangat banyak disajikan. Sehingga pinggan-pinggan Nek Takon digunakan semua. Betambah bahagia hati Nek Takon pada saat Itu.Selain merayakan pernikahan, pesta itu merupakan bentuk syukur Pak Usup karena menemukan tempat tinggal yang subur. Hasil dari tanaman padi sangat berlimpah. Buah-buahan dapat dijumpai di mana saja. Begitu juga dengan ternaknya yang terus berkembang. Waktu berlalu begitu cepat. Pesta pun usai. Tamu-tamu berpulangan. Tak ada yang tidak bahagia pada saat itu. Selain menyaksikan anak Pak Usup menikah, ada sesuatu yang lain sehingga membuat mereka bahagia. Yaitu sajian makanan yang begitu banyak dan sangat enak Pak Usup meminta bantuan beberapa orang untuk berkemas. Pengemasan pertama Pak Usup adalah Pinggan Nek Takon. Hal itu demi menjaga kepercayaan dan nama baiknya. Pak Usup tak mau terjadi sesuatu pada Putri Pinggan sehingga pinggan- pinggan itulah yang paling pertama kali dikemaskannya.Keesokan harinya, pinggan Itu pun dikembalikan. Pak Usup dan beberapa orang lainnya berbondong-bondong membawa pinggan itu. Nek Takon pun senang karena barang yang dipinjam dikembalikan seperti semula. Itu artinya yang pemimjam menjaga kepercayaan. Nek Takon pun meminta mereka menyimpan pinggan-pinggan itu. Lalu, Nek Takon mengarahkan mereka untuk menyimpannya di tempat Putri Pinggan bertapa.Setelah selesai menyimpan pinggan itu, mereka pun berterima kasih kepada Nek Takon. Selain berterima kasih, ada sesuatu yang diberikan kepada Nek Takon. Nek Takon pun menolaknya. Bukan karena Nek Takon tidak menghargai pemberian seseorang. Namun, Nek Takon teringat pesan Putri Pinggan. Jika menolong seseorang itu harus ikhlas, jangan mengharapkan sesuatu."Maaf Pak Usup, bukannya aku menolak, tetapi, aku harus menjalankan pesan yang disampaikan Putri Pinggan. Jika dipaksa, aku takut nantinya ada sesuatu yang terjadi," ungkap Nek Takon.Mendengar penjelasan Nek Takon, Pak Usup pun bisa memahaminya. Pak Usup tak mau membantah. Pak Usup akan pulang dan membawa barang yang hendak diberikannya itu. Walaupun demikian, Pak Usup tidak kecewa. Pak Usup memahami maksud Nek Takon yang tak mau menerima barang pemberian itu. Setelah semuanya selesai, Nek Takon mendengar ada suara dari dalam gua. la tak tahu suara apa, Nek Takon pun menghampiri suara itu. Setelah sampai di pusat suara, ternyata suara itu berasal dari pinggan-pinggan yang menyatu secara perlahan. Tak lama kemudian, bentuknya bukan pinggan lagi. Melainkan bentuk mausia yang sedang terbaring. Nek Takon hanya melihat kejadian itu dan betapa senangnya hati Nek Takon melihat Putri Pinggan kembali menjadi manusia. Nek Takon pun memeluknya. Setelah pesta pernikahan anak Pak Usup, ternyata nama Putri Pinggan marak diperbincangkan. Hampir seluruh kampung membicarakan namanya. Wajar saja, itu karena ia menjelma menjadi pinggan. Selain itu, Pak Usup juga menjadi bagian yang membuat nama Putri Pinggan kian terkenal. Pak Usup sengaja menceritakan kepada warga sekitar. Pak Usup melakukan hal demikian sebagai bentuk terima kasihnya kepada Putri Pinggan, sebab Putri Pinggan telah membantunya.Putri Pinggan kini menjadi terkenal. Hal ini menjadi tantangan bagi Putri Pinggan. Ada dua kelompok yang dihadapinya, yaitu kelompok yang mendukung dan kelompok yang tidak mendukung. Kelompok yang mendukung Putri Pinggan menyukai upayanya tersebut. Sementara, kelompok yang tidak mendukung mencibir perbuatan Putri Pinggan karana iri dan dengki. Mereka tidak yakin dengan Putri Pinggan yang bisa menjelma menjadi pinggan.Putri Pinggan sangat senang kepada yang suka dengannya. Apa lagi, ia menjelma menjadi pinggan untuk kepentingan orang banyak. Tujuannya lalah membantu orang yang memerlukan pinggan pada saat pesta pernikahan. Semuanya boleh meminjam. Bagi Putri Pinggan, kejujuran orang yang meminjam menjadi syarat utama. Selain itu, tak ada lagi syarat yang harus dipenuhi. Bagi yang tidak mendukung atau tidak percaya dengan Putri Pinggan terus-menerus mencibirnya. Walau demikian, Putri Pinggan tak pernah marah. Baginya, perbuatan tersebut menjadi tolok ukur untuk lebih baik.Putri Pinggan tak pernah lelah membantu menyiapkan pinggan untuk orang-orang yang kebetulan memerlukan pinggan. Putri Pinggan berpikir bahwa nanti orang yang mencibirnya itu akan memercayai dan senang dengannya. Nek Takon pun menyadari bahwa ada orang yang tidak suka dengan Putri Pinggan. Untuk menyiasati hal yang tidak diinginkan terjadi, Nek Takon pun berpesan kepada Putri Pinggan."Cu, mengenai omongan orang yang tidak mendukungmu jangan ditanggapi," ungkap Nek Takon."Iya Nek," jawab Putri pinggan singkat. "Barang kali ada perbuatan kita yang tidak disenangi?" "Perbuatan apa ya Nek sehingga mereka ada yang tidak suka dengan kita?""Entahlah Cu, yang jelas hidup di dunia itu melakukan kebaikan. Perbuatan baik harus seseorang pada kita, di balas dengan perbuatan baik pula. Begitu juga dengan perbuatan Jahat, harus dibalas dengan perbuatan baik bukan dengan kejahatan. Jangan sampai kita melukai hati orang lain, walaupun sebenarnya kita dizalimi." ungkap Nek Takon.Penjelasan Nek Takon itu menambah kepercayaan Putri Pinggan. Sedari dulu, Putri Pinggan selalu mendengarkan omongan Nek Takon. la tak pernah membantah. Bahkan selalu menurut selama perkataan Itu benar. Beberapa saat kemudian, Nek Takon mengajak Putri Pinggan tidur. Nenek pun menggantung kelambu. Setelah selesai, Nek Takon mempersilahkan Putri Pinggan masuk ke kelambu itu.Pada saat itu, Putri Pinggan belum mau tidur. la masih ingin bercerita pada Nek Takon. Putri Pinggan pun menolak ajakan Nek Takon "Nek, jangan tidur dulul Aku masih mau bercerita," ungkap Putri Pinggan."Kalau mau bercerita kita lanjutkan besok saja. Bukankan besok pagi kita harus ke ladang. Kalaulah kita melanjutkan bercerita hingga tengah malam, nenek takut kita kesiangan bangunnya."Putri Pinggan pun menuruti ajakan Nek Takon. Putri Pinggan menyadari perkataan Nek Takon itu ada benarnya. "Baiklah nek. Ayo kita tidur!"Kokokan ayam yang saling bersapa menyadarkan Putri Pinggan dari Indahnya mimpi. Putri Pinggan pun bangun, begitu juga dengan Nek Takon. Tidak ada pembicaraan di antara Putri Pinggan dan Nek Takon pada saat itu. Masing-masih sudah mempunyai tugas yang meski dilaksanakan. Nek Takon membuat sarapan, sedangkan Putri Pinggan mengemaskan kelambu yang ia gunakan, menyapu, memcuci piriang dan gelas, dan berbagai pekerjaan lainnya. Setelah pekerjaan itu selesal, barulah Putri Pinggan dan Nek Takon pergi ke sawah Sesampainya di sawah, Putri Pinggan dan Nek Takon langsung menanam padi. Menjelang siang, Nek Takon tampak kelehan. Putri Pinggan pun meminta agar Nek Takon istrirahat saja. Tidak berapa lama, Putri Pinggan pun menghampiri Nek Takon. Putri Pinggan mengajak Nek Takon makan. Putri Pinggan sudah lapar, kebetulan pada saat itu hari sudah siang. Perut Putri Pinggan pun berbunyi sebagai petanda bahwa harus segera diisi. Betapa bahagianya Nek Takon melihat Putri Pinggan yang sangat rajin. Putri Pinggan juga sangat perhatian. Di usia Nek Takon yang semakin menua, ia dihadiahkan sosok gadis yang baik hatinya dan manis pula tingkah lakunya.Ketika sedang makan, Nek Takon membuka suatu pembicaraan. "Cu, tetaplah menjadi orang yang bermanfaat. Alangkah bagusnya kehadiran kita menjadi kebahagian orang banyak. Jangan sampai kehadiran kita menjadi bencana," ungkap Nek Takon."iye Nek," Jawaban Putri Pinggan "Mengapa pula Nenek bicara demikian, apakah perbuatanku ada yang salah?" tanya Putri Pinggan."Tidak Cu. Orang sepertimu itu tidak banyak. Hanya pilihan saja. Tak banyak orang yang mau berkorban sepertimu," jawab Nek Takon.Mereka pun melanjutkan makan. Baru saja selesai, tiba-tiba ada seseorang yang berteriak karena melihat Putri Pinggan yang sedang makan di bawah pohon."Putri Pinggan!" teriak Pak Limin sembari mengangkat tangannya. "Iya Pak,"jawab Putri Pinggan yang juga mengangkat tangannya.Pak Limin pun menghampiri Putri Pinggan. Lalu Pak Limin mengutarakan maksud kedatangannya. "Jadi begini, aku hendak menikahkan anakku; aku minta tolong untuk disiapkan pinggan seperti halnya Pak Usup".Putri Pinggan pun bersedia menyiapkan pinggan yang dimaksudkan Pak Limin. "Baiklah Pak, nanti Bapak ambil saja di gua kami," jawab Putri Pinggan sembari melihat Nek Takon."Jangan lupa ajak beberapa orang untuk membantu Pak Limin membawa pinggan-pinggan itu," lanjut Nek Takon.Waktu terus berlalu. Hari pernikahan anak Pak Limin semakin dekat. Sementara, Nek Takon jatuh sakit. Putri Pinggan kebingungan. la punya janji sama Pak Limin sementara Nek Takon memerlukan bantuannya. Putri Pinggan mencari jalan keluar, akan tetapi tidak ditemukannya. Putri Pinggan benar- benar bingung. Padahal, besok pagi Pak Limin akan mengambil pinggan-pinggan yang dijanjikan Putri Pinggan."Nek, apakah Nenek sudah sehat?" tanya Putri Pinggan yang mengharapkan jawaban iya. Nek Takon pun menjawab "Belum Cu, kepala Nenek semakin sakit". Bertambah resahlah Putri Pinggan. la mempunyai janji yang harus ditepati. Sementara Nek Takon memerlukan bantuannya. Pada saat Itu Putri Pinggan sangat kebingungan. Tak lama kemudian, datanglah seseorang kakek yang tidak dikenal. Kekek tersebut membawa buah mengkudu yang masak. Putri Pinggan tak tahu maksudnya. Tiba-tiba, kakek itu menyuruh Putri Pinggan untuk memarut buah tersebut."Parutlah buah ini," Sambil memberikan buah mengkudu kepada Putri Pinggan. "Lalu setelah diparut tapislah airnya, kemudian surulah Nek Takon untuk meminum air itu." Setelah menjelaskan kejadian itu, si kekek pun pergi. la meninggalkan Putri Pinggan begitu saja. Sampai-sampai Putri Pinggan tidak sempat berterima masih kepadanya.Putri Pinggan pun melakukan perintah kakek itu. Walaupun ia tak pernah mengenalinya dan tak tahu pula maksudnya, yang ada dalam pikiran Putri Pinggan pada saat itu ialah kakek tersebut orang baik.Buah mengkudu yang diberikan si Kakek pun diparutnya. Putri Pinggan melakukan sesuai dengan apa yang telah disampaikan kepadanya. Setelah selesai, airnya pun diberikan ke Nek Takon Setelah meminum air itu, Nek Takon merasakan sakit sesuatu. Bukankah begitu kawan-kawan," ungkap Pak Limin sembari memandang rombongannya yang hendak membawa pinggan-pinggan itu. "iya," Jawab mereka serentak.Nek Takon senang mendengar Jawaban Pak Limin. Lalu, Nek Takon pun menyuruh Pak Limin beserta rombongan untuk membawa pinggan- pinggan itu.Sehari setelah pesta pernikahan anaknya, Pak Limin beserta rombongan mengumpulkan pinggan yang ia pinjam. la meminta orang-orangnya membawa semua pinggan itu. beberapa saat kemudian, berangkatlah mereka menuju gua tempat tinggal Putri Pinggan. Pak Limin juga membawakan beberapa ternaknya untuk diberikan ke Putri Pinggan. Sesampainya di depan gua, Nek Takon pun bertanya melihat Pak Limin membawa beberapa hewan ternak."Untuk siapa ternak itu Pak Limin?" tanya Nek Takon. "Untuk Nek Takon," kata Pak Limin. Nek Takon pun kembali mengingatkan Pak Limin, seperti halnya Nek Takon mengingatkan pak Usup. "Jadi begini Pak Limin, kami tidak menerima imbalan. Kami ikhlas membantu sesama. Apa lagi Putri Pinggan yang menjadi pinggan itu tak mau diberi apa pun. la lebih senang membantu," jelas Nek Takon.Pak Limin berusaha membujuk Nek Takon agar menerima imbalan darinya. "Imbalan ini sudah disiapkan jauh-jauh hari Nek Aku sengaja membarikan beberapa ternakku agar Nek Takon dan Putri Pinggan bisa berternak Nanti ternak ternak int akan beranak-pinak dan Nek Takon bisa menjualnya, bujuk Pak Limin sembari berharap agar Imbalannya bisa diterima.Pak Limin merasa berutang budi sama Putri Pinggan karena Putri Pinggan telah rela menjelma menjadi pinggan hanya unntuk membantunya. Sementara untuk pinjam ke orang lain. takkan ada sebanyak itu. Oleh karena itulah, Pak Limin rela memberikan beberapa ternaknya.Mendengar penjelasan Pak Limin yang panjang lebar, Nek Takon mulai berpikir panjang. Ungkapan Pak Limin menurut Nek Takon ada benarnya. Setelah mau menerima ternak itu, tiba- tiba saja Nek Takon teringat pesan Putri Pinggan. Kalau Nek Takon menerimanya, berarti ia tidak menjaga kepercayaan Putri Pinggan. Akhirnya Nek Takon pun membatalkan niatnya itu."Aku tetap tak bisa menerima ternak ini. Kalau kupaksakan, berarti aku tidak menjaga kepercayaan yang diberikan Putri Pinggan kepadaku," ungkap Nek Takon. "Baiklah kalau memang demikian. Aku tak bisa memakşa. Lagi pula kepercayaan itu harus dijaga. Tolong sampaikan ucapan terima kasihku kepada Putri Pinggan," ungkap Pak Limin. Tak lama kernudian, Pak Limin beserta rombongan berpamitan. Mereka pun pulang ke rumah masing-masing Sementara, Nek Takon kembali menyaksikan pinggan-pinggan menyatu dengan sendirinya. Lalu membentuk manusia Tak lama setelah itu, jadilah kembali wujud Putri Pinggan Nek Lakon pun menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya kepada Puto Pinggan. Putri Pinggan bersyukur bahwa Nek Takon masih bisa menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Setelah sekian tahun dan beberapa orang telah meminta bantuan pada Putri Pinggan, datanglah seseorang yang pernah ini dan dengki kepada Putri Pinggan. la hendak menemui Putri Pinggan karena mengharapkan pertolongan. Putri Pinggan tahu betul dengan orang itu. la dikenal sangat kikir. Semua dihitungnya berdasarkan untung rugi. Maka, kalau membantu orang harus ada Imbalannya dulu baru la mau membantunya. Orang Kampung Gua tak suka dengan orang itu sebab ia sangat pelit."Kudengar kau mempunyai pinggan yang begitu banyak," tanya Pak Sake. "lya," jawab Putri Pinggan. Dengan agak sombong Pak Sake pun kembali bertanya "Bolehkan aku meminjamnya?" Walau Putri Pinggan mengetahui keburukan Pak Sake, ia tetap akan meminjamkannya. Iri, dengki, dan fitnah yang pernah dilakukannya tidak menjadi penghalang bagi Putri Pinggan untuk berbuat baik padanya. Sementara, kesombongan Pak Sake dianggapnya hanyalah angin lalu. Putri Pinggan tidak mau jadi sepertinya yang mengharapkan imbalan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan Putri Pinggan untuk menyindir Pak Sake agar ia sadar.Pak Sake tetaplah Pak Sake. la tak bisa disadarkan dengan sindirin. Ja juga tak sabar karena mempertimbangkan waktu dan sebagainya. Ia pun meminta disiapkan secepatnya pinggan yang ia pinjam. Pinggan-pinggan itu mau dibawanya pulang."Apakah pinggan-pinggan itu boleh dibawa pulang hari ini?" Tanya Pak Sake. "Kalau mau meminjam pinggan, silakan datang besok. Jangan lupa datang dengan beberapa orang agar pinggan itu bisa dibawa semua," ungap Nek Takon dengan nada agak kasar kerana tebiat Pak Sake. Keesokan harinya Pak Sake datang sangat pagi. la datang sendiri saja tanpa membawa siapapun. Pak Sake berfikir kalau membawa orang banyak perlu membri ketidakseimbangan. Makanya, ia datang sendiri dan tidak mau meminta bantuan orang lain. Pak Sake pun pingang pinggan itu berkali-kali. Nek Takon sangat kebingungan melihat tingkah laku Pak Sake. Sebelum Pak Sake selesai menggangkut barang, Nek Takon menjelaskan ketentuan yang harus yang dijalankan harus pak Sake. Hal itu sama dengan ketentuan-ketentuan orang yang meminjam sebelum ini. Pak Sake hanya menganggukkan kepalanya. Tampak jelas bahwa ia tidak begitu peduli dengan pesan yang disampaikan Nek Takon. Pak Sake meninggalkan Nek Takon kerana dia ingin cepat pulang.Waku demi waktu berlalu. Cerita demi cerita begitu cepat. Pesta pernikahan anak Pak Sake telah usai. Tidak ramai yang hadir diacara tersebut, sebab tidak ramai yang senang dengan Pak Sake Oleh kerana itu, pesta pernikahan yang tidak ramai yang datang.Sama seperti waktu meminjam, ketika yang mengembalikan begitu juga, Pak Sake tidak meminta bantuan orang banyak. la lagi-lagi memikirkan upah yang akan diberikan kepada orang yang membatunya itu. Pak Sake pun bolak-balik membawa pinggan itu ke tempat Nek Takon. Di tengah perjalanan yang kesekian kalinya, Pak Sake tampak kelelehan. la pun terjatuh sehingga pecahlah salah satu pinggan yang dibawanya."Bagaimana kalau Nek Takon mengetahui kejadian ini. Bisa-bisa Nek Takon akan meminta ganti rugi," ungkap Pak Sake dalam hati.Pak Sake pun membuang pinggan yang pecah Itu. la sengaja tak membawanya. Pak Sake takut la akan diminta bertanggung jawab. Pak Sake pun pura- pura tak terjadi apa-apa. Setelelah selesai mengantar pinggan-pinggan itu, Pak Sake langsung pulang meninggalkan Nek Takon. Selain takut diminta ganti rugi, Pak Sake tak mau terlalu lama di sana. la takut Nek Takon minta imbalan. Pak Sake tak mau memberi imbalan untuk Nek Takon. Padahal Nek Takon tak pernah meminta atau menerima imbalan dari siapa pun. Bahkan saking takut dan pelitnya Pak Sake, ucapkan terima kasih pun tidak tersampaikan. Pak Sake pulang begitu saja tanpa merasa bersalah.Nek Takon bingung melihat gelagat Pak Sake. Nek Takon sebenarnya curiga. Namun, ia tak kuasa sehingga Nek Takon membiarkan saja Pak Sake yang langsung pulang pada saat itu. Nek Takon pun langsung ke tempat menyimpan pinggan. menunggu Putri Pinggan berubah menjadi manusia.Kali itu kejadiannya agak berbeda. Pinggan pinggan itu sulit untuk menyatu. Bunyi-bunyi yang terjadi pun tak seperti biasanya. Nek Takon pun mencoba membantu. Namun, tetap saja gagal. Setelah lama kejadian demi kejadian akhirnya pinggan-pinggan bisa menyatu juga. Tak lama jadilah seperti manusia. Nek Takon pun senang. Namun, ada perubahan dengan diri Putri Pinggan. la kehilangan telinga. Ternyata pinggan yang pecah Itu adalah pinggan bagian telinga. Oleh karena Pak Sake tak bertanggung jawab, akhirnya Putri Pinggan tidak memiliki telingah, yaitu telinga sebelah kanan.Atas kejadian itu, Nek Takon dan Putri Pinggan pun menemui Pak Sake. Mereka ke rumah Pak Sake demi mempertanyakan kejadian sebenarnya. Menurut Putri Pinggan, Pak Sake tidak bisa menjaga kepercayaan. Jika terjadi sesuatu, seharusnya Pak Sake mengakuinya. Putri Pinggan pun marah. la marah bukan karena kehilangan telinga. Ada hal yang lebih fatal, yaitu ia tak bisa lagi menjelma menjadi pinggan. Kejadian itu membuat Putri Pinggan sedih yang berkepanjangan. la tak bisa lagi membantu warga sekitar. Rupanya pantangan yang sering disampaikannya harus benar-benar dijaga. Seperti tak boleh menerima imbalan, harus meminjamkan pinggan sama orang yang butuh, orang yang meminjam harus mengembalikan, serta jujur mengakui bila terjadi sesuatu. Kali ini Pak Sake melakukan kesalahan. la menjadi peminjam yang tak jujur. Padahal jika ia mengakui, kejadian tersebut tak akan terjadi. Semua sudah terlambat, Putri Pinggan ttidak bisa menjelma lagi menjadi pinggan, dan itulah yang membuatnya sedih.Pak Sake menyesali perbuatannya itu. Pak Sake mintah maaf kepada Putri Pinggan. Setelah kejadian itu, Pak Sake pun berubah menjadi orang baik. la tidak pelit lagi. Bahkan senang membantu orang Putri pinggan pun lichles memaafkannya. Sifat dan tindakan Pak Sake- lah yang meluluhkan hati Putri Pinggan sehingga mau memaalkannya.Walau sudah dimaafkan, Pak Sake tetap ingin menebus dosanya, la pun pergi ke negeri seberang. Setelah pulang, orang Kampung Gua keheranan melihat Pak Sake yang membawa pinggan begitu banyak. Rupanya Pak Sake ke negeri seberang untuk membeli pinggan. Pinggan-pinggan Itu pun diberikannya kepada Putri Pinggan. la meminta Putri Pingganlah yang menyimpan pinggan-pinggan itu. Putri Pinggan sangat senang, bahkan tak merasa sedih lagi. la pun menerima pinggan-pinggan itu dengan perasaan bahagia. la berjanji untuk menjaganya. la juga akan meminjamkan pinggan- pinggan itu kepada siapa saja. Seperti yang dilakukannya dulu, serta tidak akan menerima imbalan jika ada yang meminjam pinggan-pinggan itu.Setelah kejadian itu, keadaan Kampung Gua semakin tentram. Semua saling membantu. Tidak aca yang iri dengki. Tidak ada pula yang menghujat Putri Pinggan lagi seperti halnya beberapa waktu yang lalu. Semua warga kampung bergotong rayong membangun ampung, memperbaiki jalan vang rusak, membersihkan aluran sungai, membuat saluran irigasi, dan menjaga alam.Atas sikap dan tindakan warga Kampung Gua pada saat itu, akhirnya mereka merasakan hasilnya. Tanaman tumbuh subur. Ternak-ternak berkembang pesat. Sehingga tak satu pun yang merasa kesusahan. Hal itu terjadi berkat orang-orang kampung tersebut hidup secara berdampingan. Balk kepada sesama manusia maupun kepada alam.SELESAIKeteranganCerita ini berdasarakan sastra lisan Kayong Utara, tepatnya di Sukadana. Cerita ini pernah ditulis oleh Dela Syahefti dengan judul Gua Nek Takot. Cerita ini disadur demi memperkaya sastra lisan Kalimantan Barat.Nama Penulis : Jasmini, S.Pd.Asal Sekolah : SMP Negeri 19 Pontianak Narasumber : -
Baca
Kisah Panyeraang Lung
Diangkat dari cerita rakyat suku Kayaan yang tinggal di Mendalam, Kapuas Hulu. Dikisahkan oleh Lil' Long, diedit oleh Pastor A. J. Ding Ngo, SMM, dillustrasikan oleh anak-anak pencerita, Paran Lii' dan Alel Sano, digital manuskrip oleh S. Morgan dan diceritakan kembali oleh Angela Genoveva. J. G.Dahulu kala, di tanah pedalaman Kalimantan yang begitu subur dan hijau, tinggallah seorang gadis bernama Panyeraang Lung, putri dari seorang wanita sakti bernama Ine Aya' Lung Danum di muara sungai Kalimaan. la adalah gadis yang berparas sangat cantik, suaranya merdu, kulitnya putih bersih dan rambutnya hitam tergerai sebatas pinggang. Begitu banyak pria ingin mempersuntingnya sebagai istri. Namun, Panyeraang Lung menolak setiap tawaran yang datang kepadanya sebab ia belum ingin menikah, lagi pula tak seorang pria pun sanggup membuat hatinya tertambat. Terusiklah hati sang ibu melihat penolakan demi penolakan yang dilakukan oleh putrinya. Padahal, pria-pria yang datang bukanlah orang sembarangan. Pada suatu pagi, dipanggilnya gadis itu untuk datang menemuinya di balai besar rumah panjang yang mereka tempati."Panyeraang Lung usiamu sudah cukup, tidak adakah salah satu dari pria yang datang menemuimu yang menarik perhatianmu?" tanya Ine' Aya' Lung Danum. "Tidak ada, Ine," jawab Panyeraang Lung, ia gusar sebab Ibunya terus saja mendesaknya untuk memilih pria bangsawan atau pria yang memiliki kesaktian untuk dinikahi."Tidakkah kau ingin menikah?" tanya ibunya sekali lagi. "Sudah kukatakan, tidak sekarang," jawab Panyeraang Lung dengan nada tinggi dan meninggalkan tempat itu. Maka marahlah Ine Aya' Lung Danum. Sesaat setelah Panyeraang Lung keluar dari bilik rumah panjang dipanggilnyalah binatang peliharaannya, siluman ular raksasa dari muara sungai Kalimantan."Apa gerangan engkau memanggilku, Ine?" tanya sang ular."Pergilah ke dalam lumbung padi dan bersembunyilah. Saat Panyeraang Lung masuk ke dalamnya, belitlah dia, jangan kau lepaskan!" ujarnya geram. Si ular raksasa pun melakukan apa yang diperintahkan oleh tuannya. Siang itu tibalah Panyeraang Lung di lumbung padi hendak mengambil benih, ditemani salah seorang temannya yang bernama Hutaan Pit. Sungguh akrab mereka berdua sehingga selalu terlihat bersama. Setibanya di dalam betapa terperanjatnya mereka mendapati seekor ular besar melingkar diantara karung padi. Secepat kilat makhluk itu menyergap dan membelit mereka, dan membuat keduanya terhimpit dan tidak dapat melepaskan diri Panyeraang Long mengetahui, ular itu adalah makhluk peliharaan ibunya. la bisa menebak ini semua adalah perbuatan ine yang marah karena ia menolak untuk menikah. lapun berpikir keras mencari akal untuk bisa membebaskan diri dari belitan ular raksasa itu.Akhirnya ia berkata, "Tuan Ular, sudah lama sekali engkau membelit kami di sini, perutku amat lapar, aku mulai membayangkan buah-buah jeruk bali kepunyaan Ine di mulut sungai Kalimaan, begitu enak rasanya," kata Panyeraang Lung dengan niat berbohong. "Pergilah kau mengambil buah-buah jeruk itu untukku," katanya memohon. "Baiklah kalau begitu," sahut si Ular termakan oleh tipu daya gadis itu. "Aku pergi sebentar mengambil jeruk bali itu untukmu."Pergilah dia menuju mulut sungai hendak mengambil beberapa buah jeruk untuk dimakan oleh Panyeraang Lung dan temannya. Ular itu panjang sekali rupanya sehingga ketika dia sampai di hilir sungai ekornya masih berada di dalam lumbung. Tak butuh waktu lama rasanya baginya untuk mengambil apa yang diinginkan oleh Panyeraang Lung. Namun, sedikit waktu itu cukup bagi Panyeraang Lung dan Hutaan Pit menyelinap keluar dari lumbung padi dan mempersiapkan perangkap. Selama ular itu pergi, selama itu pulalah mereka berdua bergegas menyiapkan ranjau buluh yang tajam. Tidak lupa mereka mengambil kue ketan sebagai bekal dalam perjalanan. Setelah menyimpan semua perbekalan ke dalam tas rotan, mereka pun berangkat menuju rimba belantara yang sunyi dan gelap. Tak ada satu pun manusia atau rumah yang mereka temui Panyeraang Lung merasa ketakutan dalam pelariannya sekaligus marah terhadap ibunyaIa menetapkan hati untuk pergi la pun tidak merasa sendirian saat ini sebab Hutan Pit berada disisinya."Mari kita bergegas, Hutaan Pit," ujar Panyeraang Lung memecah kesunyian. "Terima kasih karena kau telah setia menemaniku," sambungnya. "Tak mengapa," sahut Hutaan Pit. "Mau kembali pun aku tidak mungkin sebab ular Itu pasti sudah mengetahui kepergian kita."Sebenarnya ia pun sama takutnya dengan Panyeraang Lung. Namun, sudah dari kecil mereka bersahabat. Tidak tega ia meninggalkan temannya seorang diri. Sepanjang perjalanan mereka menaburkan kue dan menancapkan ranjau, berharap ular itu terjebak oleh perangkap yang mereka siapkan. Sementara itu di tempat lain, begitu gusar dan murka si Ular mendapati lumbung telah kosong. Panyeraang Lung menipunya dan melarikan diri. Dia takut membayangkan apa yang akan dilakukan Ine Aya' Lung Danum, tuannya yang sakti itu jika ia mengetahui peliharaannya yang paling setia gagal melakukan apa yang diperintahkan.Dengan pendengarannya yang tajam ular itu menangkap bunyi ranting-ranting patah dari arah rimba. la pun meluncur melesat menuju hutan belantara seperti pemburu menemukan hewan buruannya. Diendus dan diikutinya jejak mereka. Dari kejauhan, Si Ular melihat batu-batu kecil bundar berwarna keperakan di sepanjang jejak yang ditinggalkan Panyeraang Lung dan Hutaan Pit. Semakin dekat semakin diketahui bahwa ternyata benda- benda itu bukanlah batu melainkan kue ketan.Pantulan sinar matahari yang menembus celah rimbunan pohon membuat kue-kue itu tampak bersinar. Si Ular menjilati kue kue itu. Serta merta buluh-buluh tajam yang ditancapkan Panyeraang Lung dan Hutaan Pit di tanah menusuk sisi-sisi perutnya, dan memperlambat langkahnya. Sang Ular pun mengaduh dan menggeliat kesakitan. Bertambah murkalah dia sebab sekali lagi Panyeraang Lung berhasil memperdayanya. Jauh di dalam hutan, Panyeraang Lung dan Hutaan Pit yang berlari secepat mungkin dari kejaran sang Ular mendengar suara dahan patah dan batu-batu bergeser, tanda bahwa sang siluman telah dekat. "Tak ada jalan bagi kita untuk melarikan diri," ujar Panyeraang Lung terengah- engah. "Kita akan mati,"sambungnya. Seraya berkata demikian ia menengadah dan melihat sebuah rumah di dataran yang lebih tinggi dari tempat mereka berdiri. "Mari kita bersembunyi disana," tunjuknya kepada Hutaan Pit. Bergegaslah mereka menuju tempat itu.Semakin dekat mereka ke rumah itu, semakin jelas apa yang mereka lihat. Rumah itu panjang membentang di antara awan. Tiang-tiang penyangga rumah begitu tinggi dan dililit oleh banyak rantai besi. Dinding rumah tampak beranyamkan rumput dan kulit tebu yang dari kejauhan seolah kelihatan seperti sisik.Tangganya yang berbahan tembaga kuning menjulur keluar dari pintu depan.Dengan cepat, mereka berdua naik ke atasnya dan seketika pula tangga tembaga itu berderak terangkat, ikut tertarik kembali ke atas. Dengan mencium jejak buruannya, akhirnya sampailah si ular raksasa di rumah itu. Namun, dia tak bisa mengejar Panyeraang Lung dan Hutaan Pit masuk ke dalam sebab tidak terlihat ada tangga. Dengan suara menggelegar dan marah dia berkata dari bawah, "Serahkan Panyeraang Lung kepadaku sekarang juga! Hendak kutelan dia hidup-hidup." Hutaan Pit menyahut dari dalam rumah, "Jangan terburu- buru Tuan Ular. Pasti akan kuserahkan Panyeraang Lung padamu." Panyeraang Lung dan Hutaan Pit mencari akal untuk mengenyahkan Ular Raksasa itu. Mereka melihat sebuah paron - landasan tempat menempa besi, serta kayu api yang menyala di tungku dapur. Secepat mungkin mereka menjerang paron tersebut di atas bara api. Setelah merah menyala dan luar biasa panas, Hutaan Pit membungkusnya dengan kain dan berkata dari dalam rumah, "Bukalah mulutmu Tuan Ular, sekarang juga kulempar Panyeraang Lung padamu."Si Ular membuka mulutnya dan secepat kilat Hutaan Pit melempar paron yang panas membara itu ke dalamnya. Menggeleparlah ular itu, menggeliat kesakitan sebab besi panas mematangkan isi perutnya. Itulah akhir dari hidup sang ular raksasa. Panyeraang Lung dan Hutaan Pit terduduk. Keduanya saling berangkulan dan bersyukur tidak ada lagi yang mengejar dan mengancam keselamatan mereka. Tidak terasa malam telah tiba, cahaya bulan begitu kuat memancar menerangi hari yang gelap. Mereka menyadari rumah itu sunyi dan senyap. Tak tampak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Namun, tungku yang panas, pakaian dan perkakas yang digantungkan di dinding menandakan ada seseorang yang tinggal di rumah itu. Mereka memeriksa setiap ruangan dari ujung ke ujung tetapi tidak menemukan siapa pun. Kemudian, mereka melihat anak tangga menuju loteng dan memutuskan untuk memeriksa tempat itu.Sesampainya di sana mereka mendapati loteng yang gelap dan lembab. Penerangan satu-satunya berasal dari sinar bulan yang menembus celah-celah dinding dan atap. Sesuatu seperti daun kering memenuhi hampir seluruh permukaan lantai dan terinjak oleh mereka.Mereka menunduk untuk melihat. Kulit ari kering bersisik terhampar seperti selimut, begitu banyak Jumlahnya sehingga susah bagi mereka untuk melangkah. Ketakutan menyelimuti perasaan Panyeraang Lung dan Hutaan Pit ketika sesuatu bergerak dari sudut ruangan, seperti menyadari keberadaan mereka.Saat sosok Itu tertimpa cahaya rembulan, samar-samar tampak rupanya. Kepalanya pipih, matanya tajam berkilat dan badannya panjang bersisik kasar. Lagi-lagi seekor ular besar. Ketakutan dan berlarilah mereka turun dari tempat itu menghambur masuk ke dalam sebuah kamar, menguncinya dan bersembunyi di situ.Anehnya, kali ini ular itu tidak menyerang mereka seperti siluman ular raksasa yang mereka bunuh. "Kali ini kita tidak mungkin lolos," ujar Panyeraang Lung, berdegup kencang jantungnya. "Yang bisa kita lakukan hanyalah menanti apa yang akan makhluk itu lakukan terhadap kita.""Kalau memang harus mati. Biarlah kita mati," sambungnya. Hutaan Pit mengangguk sebab ia berpikiran sama. Lama mereka menunggu, tetapi tidak terdengar suara apa pun dari loteng. Ular itu tidak mengejar mereka. Di luar sudah gelap, tidak ada jalan bagi mereka untuk meloloskan diri. Lagi pula begitu banyak kejadian yang menimpa hari itu, sudah sangat lelah mereka berlari.Mereka memutuskan untuk beristirahat saja sambil berjaga-jaga jika ular itu dating. Pagi hari tiba, Panyeraang Lung dan Hutaan Pit bangun dan menyadari tidak terjadi apa-apa terhadap diri mereka. Mengendap-endap mereka membuka pintu kamar dan melihat tangga tembaga di pintu depan sudah terjulur kembali keluar. Menyelinaplah mereka dari rumah itu dan pergi ke sungai untuk membasuh diri. Setibanya di sungai, ketika membasuh kakinya, Panyeraang Lung melihat sebuah gelang keperakan yang indah terpasang pada betisnya."Siapa yang memasang gelang pada kakiku?" tanyanya keheranan. Hutaan Pit pun tidak mengetahuinya. Setelah selesai membasuh diri, dengan rasa ingin tahu, mereka kembali ke rumah itu. Pelan-pelan mereka menaiki tangga tembaga di pintu depan dan berjalan masuk. Di atas meja, mereka melihat nasi dan ikan terhidang. Makanan itu tertata layaknya memang disediakan untuk mereka makan. Kembali mereka berdua keheranan. Demikianlah yang terjadi pada hari-hari berikutnya. Setiap kali mereka terbangun di pagi hari, bertambah lagi seutas gelang perak pada kaki Panyeraang Lung. Begitu pula dengan makanan yang selalu saja tersedia untuk mereka santap. Akhirnya Panyeraang Lung bertekad untuk mencari tahu siapa gerangan yang melakukan ini semua. Pada suatu hari menjelang tidur, ia memutuskan untuk berjaga-jaga sepanjang malam. Hutaan Pit tertidur lelap di dekatnya. Pura-pura Panyeraang Lung menutup matanya dan menanti jika ada seseorang yang datang. Tak lama berselang, terdengar suara langkah kaki berderap pelan menuruni anak tangga loteng tempat ular besar berada. Dingin menyelimuti punggung Panyeraang Lung, jantungnya berdegup kencang ketika bunyi langkah itu semakin dekat menuju kamarnya kemudian berhenti. la menunggu dan menunggu namun tidak terjadi apa-apa Hari sudah menjelang subuh ketika Panyeraang Long mendengar suara langkah kaki itu akhirnya menjauh, arahnya menuju pintu depan.Sinar mentari fajar baru muncul, la mengintip dari jendela kamarnya dan melihat seorang pemuda melangkah turun menyusuri tangga tembaga menuju ke arah sungai membawa jala ikan. Panyeraang Lung membangunkan Hutaan Pit dan menceritakan apa yang dilihat. Begitu terkejut temannya itu mendengar ceritanya. "Mari kita keluar dan bersembunyi," ajak Hutaan Pit. "Kita tunggu pria itu kembali dan kita lihat apa yang hendak dia lakukan," sambungnya. Mereka pun keluar dari kamar dan bersembunyi di balik tumpukan karung padi di dekat tungku. Setelah menanti beberapa lama, kembalilah pemuda itu membawa ikan-ikan yang diikat dengan seutas tali. Tidak tampak wajahnya sebab Panyeraang Lung dan Hutaan Pit merunduk begitu rendah takut terlihat olehnya. Pemuda itu meletakkan ikan bawaannya di atas meja, kemudian ia mengambil semangkuk beras dan meletakannya di tempat yang sama. Dengan kesaktiannya pemuda itu mengubah beras dan ikan tersebut menjadi nasi dan lauk yang sudah matang.Kemudian, pria itu mengambil jubah yang tergantung di dinding dan mengenakannya. Terbelalaklah mata mereka berdua ketika laki-laki itu berubah menjadi sosok ular besar sesaat setelah ia memakai jubahnya. Seperti menyadari ada yang memperhatikannya diam- diam, ular itu berkata, "Keluarlah kalian dari tempat persembunyian itu"Panyeraang Lung dan Hutaan Pit terkejut dan merangkak keluar dari persembunyian mereka. Siap akan kemungkinan yang akan terjadi. Dengan cepat, Panyersang Lung mengambil sebuah kayu api dari tungku dan mengacungkannya ke arah pria itu. "Kalau kau menyakiti kami, nasibmu akan sama dengan ular besar di bawah sana!" tukasnya lantang. "Aku tidak akan menyakiti kalian," sahutnya tenang. Kemudian sosok ular itu menjelma kembali menjadi manusia. Betapa terperangahnya Hutaan Pit melihat pria di hadapan mereka. Wajahnya begitu tampan, kulitnya bersih, badannya tegap dan tidak ditemukan cela apa pun padanya. "Apakah kalian mengenalku?" tanyanya. "Tidak," jawab Panyeraang Lung. "Kami tidak mengenalmu,"sambung Hutaan Pit. "Namaku Bataang Ubung Beraan Nyagaang, Pangeran Ujung Beringin Terentang, anak yang hilang dari rumah beringin Idaa' Beraan," ujar pemuda itu."Siapa kalian dan mengapa siluman ular raksasa itu mengejar kalian?" tanyanya. Melihat Bataang Ubung Beraan memperlakukan mereka dengan baik dan memperkenalkan dirinya, Panyeraang Lung melunak. la dan Hutaan Pit pun menjelaskan siapa mereka dan mengapa mereka bisa sampai di tempat itu."Kalau begitu kita sama-sama berada dalam pelarian," ujarnya. "Tenang saja kalian aman bersamaku di sini, sebab tempat ini telah kulindungi dengan sihirku." "Makanlah apa yang telah kusediakan bagi kalian, wahai tamuku," lanjutnya. "Aku hendak melihat mayat ular raksasa di bawah sana." Panyeraang Lung dan Hutaan Pit pun menyantap makanan yang sudah disediakan oleh Bataang Ubung Beraan. Setelah itu, mereka pergi ke sungai untuk membasuh diri. Saat membersihkan dirinya lagi-lagi Panyeraang Lung menemukan seuntal gelang indah keperakan terpasang pada betisnya."Pergilah dan tanyakanlah pada Bataang Ubung Beraan, apakah dia yang melakukannya," ujar Hutan Pit sambil membasuh tangannya. "Mungkin saja itu tanda bahwa dia tertarik padamu. Lagi pula sepertinya dia tidak berniat jahat terhadap kita, "lanjutnya.Panyeraang Lung menggangguk. Setelah beranjak dari sungai mereka berdua pun kembali ke rumah. Sementara Hutaan Pit sibuk berbenah, Penyeraang Lung pergi menemui Bataang Ubung Beraan yang sedang mempersiapkan kayu api dan rotan untuk membakar mayat ular raksasa. Asap membumbung tinggi ke langit. Burung-burung pipit berterbangan dari arah bangkai ular itu."Aku hendak bertanya," ujar Panyeraang Lung menghampiri. "Ada apa gerangan?" sahut Bataang Ubung Beraan seraya berhenti dari pekerjaannya. "Apakah kau yang memasang gelang-gelang perak ini pada kakiku?"tanya Panyeraang Lung. Bataang Ubung Beraan menjawab, "Maafkan aku.Benar, aku yang melakukannya." "Akan kuberitahu satu rahasiaku kepadamu," sambungnya. "Aku memiliki kesaktian yang diturunkan oleh orang tuaku, tetapi ada pantangan yang harus aku jalankan.""Jika jubah ularku dilemparkan ke air maka aku tidak dapat memakan yang mentah, jika jubah itu dibakar maka aku tidak dapat memakan yang dimasak dengan api," ujar Bataang Ubung Beraan."Mengapa kau memberitahuku rahasiamu ini?" tanya Panyeraang Lung"Sebab hanya kepada dia yang akan menjadi istriku kelak aku bisa mengatakan hal ini," jelas pemuda itu. Terperanjatiah Panyeraang Lung, ternyata inilah maksud pemberian gelang perak itu padanya. Dia bingung hendak berkata apa. Akhinya tibalah Hutaan Pit di situ dan memecah keheningan diantara mereka. "Apa yang hendak kau lakukan dengan bangkai ular Itu?" tanyanya pada Bataang Ubung Beraan. "Sebelum aku menjawabnya ijinkan aku bertanya kepada kalian,"tukasnya. "Apakah kalian akan kembali ke tanah tempat kalian berasal?".Panyeraang Lung dan Hutaan Pit saling berpandangan, dan mereka yakin menjawab, "Tidak." "Maukah kalian tinggal di tanah ini dan bersamaku memerintah rakyat kita dengan adil, serta membuat hidup mereka aman sejahtera?" lanjut Bataang Ubung Beraan. Kembali Panyeraang Lung dan Hutaan Pit berpandangan, tetapi kali ini nampak kebingungan. "Kami tidak mengerti maksudmu, Bataang Ubung Beraan," jawab Panyeraang Lung. Kemudian, Batang Ubung Beraan melakukan sihirnya di hadapan mereka. Panyeraang Lung dan Hutaan Pit menyaksikan dengan penuh kekaguman. Dengan kesaktiannya, ia memotong bangkai ular itu melintang kemudian bagian itu dipotongnya kembali menjadi bongkahan-bongkahan kecil dan dibakarnya di dalam api. Setelah itu ia membentangkan rotan di sepanjang sisi rumah, diguncangnya rotan pada satu sisi dan berubahlah rotan itu menjadi rumah panjang. Kemudian, diguncangnya lagi sisi yang lain dan hal yang sama terjadi, munculah rumah panjang yang kedua. Rumah-rumah itu tinggi dan kokoh, trang-trangnya terpancang mantap pada tanah di bawahnya. Saking besarnya, rumah itu cukup untuk menampung ratusan kepala keluarga.Masih tidak mengerti, Panyeraang Lung bertanya kepada Bataang Ubung Beraan, "Apa maksud dari semua ini?" Bataang Ubung Beraan hanya tersenyum saja, la tidak berkata apa-apa. Kemball la mengucapkan mantranya dan merubah bongkahan-bongkahan kecil bangkai ular yang dilemparkannya ke dalam api tadi menjadi ratusan manusia. Manusia-manusia inl ditempatkannya untuk mengisi kedua rumah. Seketika ramai terdengar orang bercakap-cakap dan bernyanyl, bunyi alat musik memenuhi udara di sekitar mereka seperti ada perayaan besar di tempat itu. Panyeraang Lung dan Hutaan Pit tercengang melihat kesaktian Bataang Ubung Beraan yang luar biasa. Kemudian kepala ular raksasa itu dibelah dua olehnya, bagian kepala yang satu dibentuknya menjadi manusia dan dijadikannya pemilik salah satu rumah, sedangkan bagian kepala yang sebelah lagi menjadi manusia pemilik rumah yang lain. Kedua rumah panjang itu saling berhadapan sementara rumah milik Bataang Ubung Beraan berada diantaranya.Lalu ujarnya kepada Panyeraang Lung dan Hutaan Pit, "Inilah rakyat yang akan kita pimpin, maukah kalian menetap di tempat ini bersamaku?" Menyaksikan kehebatan Bataang Ubung Beraan dan niatnya untuk memerintah dengan mereka berdua mengangguk. "Panyeraang Lung," lanjutnya, "Maukah kau menjadi istriku?" "Ya," jawab Panyeraang Lung tersipu. "Memerintahlah dengan adil, sejahterakanlah rakyatmu, kita jaga bersama-sama tanah yang baru ini dengan sungguh-sungguh," lanjutnya dengan mantap.Maka demikianlah awal dari kehidupan mereka yang baru bersama rakyat yang mereka pimpin. Di tanah yang baru ini, Panyeraang Lung bersama Bataang Ubung Beraan hidup bahagia, didampingi oleh Hutaan Pit sahabatnya yang selalu setia menemaninya. Rimba Kalimantan. Naskah cerita dikerjakan dan diketik oleh alm. Pastor A. J. Ding Ngo SMM, di Kepastoran Padua, Mendalam (1981). Kisah ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh S. Morgan dengan menggunakan Kamus Kayan-Indonesia oleh Ding Ngo; terjemahannya disunting oleh Dian Mawene (2012, 2014), kemudian disunting lagi dengan menggunakan terjemahan bebas oleh Paternus Hanye' (1994). Ilustrasi kisah-kisah di dalam buku dilukis oleh T. Alel Sano dan I. Paran Lii', anak-anak dari pencerita.Nama Penulis : Angela Genoveva Jeaneriska GeraanAsal Sekolah : SD Plus Gembala BaikNarasumber : (Penulis Naskah) Stefanus Lii' Long
Baca
Dua Amas Bersaudara
Alkisah, di pedalaman daerah hilir sungai Kabupaten Kapuas Hulu, hiduplah sepasang suami istri bernama Ama' Si Buku Tabu dan Be' Karatan Sare. Mereka menempati sebuah pondok sederhana di dalam hutan Tamambaloh¹. Pondok mereka terletak agak jauh dari pemukiman penduduk yang umumnya mendiami perkampungan di sepanjang sungai Tamambaloh. Ama' si Buku Tabu bekerja sebagai petani. Sementara istrinya Be' Karatan Sare tinggal di rumah mengurus keperluan rumah. Ama' si Buku Tabu merupakan pekerja yang ulet. Setiap hari Ama' si Buku Tabu harus bangun pagi-pagi, pergi ke sungai Tamambaloh untuk memesan bubu². Be' Karatan Sare pun demikian, ia harus bangun pagi-pagi menyiapkan makanan untuk keluarganya. Setelah makanan siap, barulah Ama' Si Buku Tabu berangkat ke sungai Tamambaloh mengadu keberuntungan untuk mendapatkan ikan-ikan segar dari sungai itu.Sungai Tamambaloh merupakan sungai yang sangat jernih airnya, bak cermin yang berkilau-kilau jika terkena pantulan sinar matahari. Ada banyak ikan-ikan segar yang mendiami sungai ini. Sungai Tamambaloh adalah salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat Tamambaloh, termasuk keluarga Ama' Si Buku Tabu. Setelah memasang bubu Ama' Si Buku Tabu pun pergi ke ladang. Padi dan tanaman-tanaman yang lain tumbuh sangat subur di ladang Ama' Si Buku Tabu: Ketika matahari mulai condong ke Barat, Ama' Si Buku Tabu segera menghentikan aktivitasnya di ladang dan segera beranjak untuk melihat bubu yang telah dipasangnya pada pagi hari. Hasil tangkapan itu akan dibawa pulang oleh Ama' Si Buku Tabu untuk dijadikan santapan malam bagi la dan keluarganya. Bahkan terkadang jika hasil tangkapannya melimpah ruah, ia akan menjualnya terlebih dahulu ke pasar kampung tetangga yang jaraknya tidak terlalu jauh dari perkampungan. Hasil penjualan Ikan itu pun digunakan oleh Ama' Si Buku Tabu untuk membeli kebutuhan rumah. Ama' Si Buku Tabu dan Be' Karatan Sare mempunyai sepasang anak yang masih kecil bernama Sanggoan Amas dan Bunga Sio Amas. Sanggoan Amas adalah anak pertama mereka yang mulai beranjak remaja. la adalah anak laki-laki yang sangat lincah dan cerdas. Kulitnya putih bersih. Wajahnya yang mungil dan memancarkan paras yang sangat rupawan dengan alisnya yang tebal dan hidung yang mancung bagai dipahat. Walaupun masih kecil, tergaris diwajahnya kelak akan menjadi pemuda yang sangat tampan ketika ia sudah dewasa nanti. Ssi bungsu, Bunga Sio Amas tidak kalah elok parasnya. Walaupun masih kecil, telah terpancar wajah yang cantik rupawan dari si putri kecil ini. Kedua anak ini tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas. Ama' Si Buku Tabu dan Be' Karatan Sare sangat menyayangi kedua buah hatinya. Keluarga sederhana ini hidup dengan sangat bahagia. Namun, seiring waktu berjalan, keadaan keluarga ini mulai berubah. Kebahagiaan keluarga Ama' Si Buku Tabu terusik karena Be' Karatan Sare jatuh sakit sehingga tidak mampu lagi mengurus suami dan anak-anaknya. Be' Karatan Sare sangat bersedih, la merasa tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk keluarganya.Hingga suatu pagi, saat udara masih dingin menembus kalbu. Be' Karatan Sare dengan langkah tertatih, memaksakan diri bangun pagi-pagi untuk menyiapkan makanan sebelum suaminya dan kedua anaknya terbangun. Ketika ia berusaha membuka tutup tempayan yang berat, tangannya yang lemah tak kuasa menopang beratnya tutup tempayan itu sehingga suara tutup tempayan yang jatuh itu membangunkan suaminya, Ama' Si Buku Tabu."Wahai istriku, ada apa gerangan pagi-pagi sekali engkau di sini? Lihat di luar sana masih gelap?" Ama' Si Buku Tabu menghampiri istrinya yang masih berdiri kaku karena ia tak menyangka tutup tempayan itu terlepas dari genggaman tangannya. Be' Karatan Sare hanya bisa mematung melihat tutup tempayan yang akhirnya berderai di hadapannya."Maafkan aku, suamiku. Aku telah mengganggu tidurmu," ucap Be' Karatan Sare lirih."Tidak apa-apa, tetapi apa yang engkau lakukan sepagi ini, istriku?" Tanya Ama' Si Buku Tabu."Aku berusaha untuk menyiapkan makanan. Namun aku tidak sengaja memecahkan tutup tempayan itu. Maafkan aku suamiku. Aku tidak mampu lagi mengurus keperluanmu dan anak-anak kita. Hal kecil seperti ini aku sudah tidak bisa melakukannya lagi. Aku merasa tidak berguna di keluarga kita ini, suamiku?" Be' Karatan Sare tampak bersedih, matanya bekaca-kaca saat menatap suaminya."Janganlah berpikir demikian, istriku. Jangan katakan kau tidak berguna. Sesungguhnya engkau adalah penyemangatku. Jangan sekali-kali lagi kau berpikir bahwa engkau tidak berguna. Mungkin saat ini keadaanmu tidak sehat seperti dulu. Ini adalah cobaan dari sampula. Tetap yakin istriku, engkau akan sembuh. Aku akan terus berusaha sampai engkau sembuh istriku," kata Ama' Si Buku Tabu menghibur istrinya.Dari balik pintu kamar, Sanggoan Amas tidak sengaja mendengar percakapan kedua orang tuanya. la sangat bersedih mendengar perkataan Ibunya. la pun bertekad untuk membantu meringankan beban kedua orang tuanya. Sehingga, setiap pagi Sanggoan Amas membantu ayahnya menyiapkan makanan. Setelah ayahnya berangkat ke ladang, ia membantu ibunya mengasuh adiknya, Bungsu Sio Amas yang masih sangat kecil. Hari berganti hari, waktu terus melaju tanpa henti. Musim-musim pun terus berganti. Roda waktu memang berputar begitu cepat. Namun, tidak demikian dengan keluarga Ama' Si Buku Tabu, waktu yang dijalani terasa begitu sangat lama. Pergantian waktu berjalan begitu lambat. Be' Karatan Sare hanya bisa terbaring lemah di tempat tidurnya yang beralaskan daun paripuk. la memperhatikan kedua anaknya dari celah-celah dinding bambu di kamarnya. Tampak Sanggoan Amas sedang menidurkan adiknya di ayunan sambil bersenandung di ruang tengah tepat di depan kamar Be' Karatan Sare. Hari itu suasana mendung menyelimuti bumi. Suara gemuruh guntur yang sahut menyahut memekikkan telinga. Tak berselang lama, hujan pun turun mengguyur bumi dengan sangat deras. Tangisan Bunga Sio Amas hilang tertelan suara guntur yang makin bergemuruh. Sementara itu Ama' Si Buku tabu sudah berangkat ke ladang semenjak subuh. Saat petang tiba, Sanggoan Amas menunggu ayahnya di pendopo rumah sambil menggendong bunga Sio Amas di punggungnya. Namun, yang ditunggu tidak kunjung datang. Perlahan senja temaram hilang berganti pekatnya malam. Sanggoan Amas mulai gelisah menunggu ayahnya. Wajahnya tampak gusar. Setelah la menidurkan adiknya di samping ibunya, la kembali duduk di pendopo rumah menanti kedatangan ayahnya. Tampak dari kejauhan samar-samar bayangan seseorang berjalan mendekat ke arah rumah. Sanggoan Amas memperhatikan lebih seksama dan setelah semakin dekat, Sanggoan Amas barumenyadari itu merupakan ayahnya, Ama' Si Buku Tabu. Segera Sanggoan Amas menghampiri ayahnya."Ayahanda, apa gerangan yang terjadi? Kenapa Ayahanda pulang terlambat hari ini?" Tanya Sanggoan Amas."Sanggoan Amas putaku, Ayah tidak apa-apa. Ayah tidak bisa pulang karena lama mencari bubu. Sepertinya sudah hanyut terbawa arus sungai. Air sungai sedang pasang karena hujan lebat hari ini. Kamu masuklah terlebih dahulu. Kamu harus tidur karena sudah larut malam," kata Ama' Si Buku Tabu kepada Sanggoan Amas. Tampak wajah Ama' Si Buku Tabu tidak bisa menutupi rasa cemas yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Keesokan harinya, Ama' Si Buku Tabu mendapati air sungai sudah meluap. la tidak bisa mencari ikan di sungai lagi. Air sungai sudah meluap, ladang Ama' Si Buku Tabu pun berubah menjadi sungai. Tidak ada satu tanaman pun yang tersisa. Semua lenyap terbawa arus air yang meluap. Ama' Si Buku Tabu sangat bersedih. Ama' Si Buku Tabu memandang ladangnya itu dari kejauhan di atas bukit. Matanya berkaca-kaca, ia mengusap mata beberapa kali berharap semua itu hanya mimpi. Tatapan matanya tampak sayu, dari balik raut wajahnya tergurat rasa gundah yang mendalam. Bagaimana ia harus menghidupi keluarganya kelak karena landangnya sudah porak poranda diterjang arus air yang deras. Terbayang wajah Istrinya yang sedang sakit dan wajah lugu anak-anaknya yang masih kecil. Sepanjang perjalanan pulang ia terus memikirkan mereka. la juga teringat akan persediaan makanan di rumah yang sudah makin menipis. Hari pun terus berganti, luapan sungai masih saja belum surut. Hujan terus mengguyur perkampungan. Sesungguhnya penduduk perkampungan ini sedang dihukum oleh Sampulo karena mereka lupa bersyukur kepada Sang Pencipta, Sampulo Padorí. Bahkan banyak penduduk yang sering menebang pohon-pohon dan mengotori sungai Tamambaloh. Tentu saja ini membuat Sampulo marah sehingga la mengirimkan hujan yang tak henti-hentinya kepada penduduk desa itu. Ama' Si Buku Tabu sangat cemas. la tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya lagi karena cuaca buruk yang terus melanda perkampungan. Ini membuat ladangnya gagal panen dan air sungai terus meluap sehingga ia tidak bisa lagi memasang bubu di sungai. Hingga akhirnya keluarga Ama' Si Buku Tabu yang dahulunya hidup bahagia kini menjadi keluarga yang jatuh miskin bahkan untuk makan saja keluarga ini sangat susah. Kemudian, Ama' Si Buku Tabu pun memutuskan untuk pergi berburu mengadu peruntungan untuk mendapatkan binatang-binatang yang dapat dijadikan makanan sebagai penyambung hidup keluarga. Namun, apa yang diharapkan oleh Ama’ Si Buku Tabu hanya tinggal harapan. Ia tak pernah beruntung mendapatkan hasil buruan. Akhirnya, Ama’ Si Buku Tabu pun menyerah. Ia hanya berhasil mengumpulkan sedikit sayuran dan buah-buahan dari hutan itu. Setibanya ia di rumah, la melihat istri dan kedua anaknya sedang tertidur menahan rasa lapar. Perlahan ia membangunkan istrinya. "Istriku, bangunlah, makanlah terlebih dahulu, aku membawa sedikit makanan. Cukuplah untuk mengganjal rasa lapar. Besok aku akan berusaha mencari binatang buruan untuk kita santap bersama," kata Ama' Si Buku Tabu."Tidak, suamiku. Aku tidak merasa lapar sama sekali. Lihatlah, anak-anak kita. Mereka belum makan semenjak pagi tadi. Kasihan sekali mereka. Aku yakin mereka pasti sangat kelaparan. Biarlah mereka saja yang makan, suamiku," tolak Be' Karatan Sare.Ama' Si Buku Tabu menatap istrinya dalam-dalam. Hatinya begitu sedih melihat wajah istrinya yang pucat pasi dengan kedua matanya yang sayu. la tahu jika istrinya itu hanya berpura-pura tidak lapar demi kedua buah hati mereka. Namun, Ama' Si Buku Tabu tidak mau menyerah. la terus memaksa istrinya untuk makan agar bisa segera sembuh. Namun, istrinya pun terus bersikeras untuk memberikan makanan itu kepada kedua anaknya. Demikian juga di hari-hari berikutnya. Be' Karatan Sare selalu menolak makan telebih dahulu sebelum kedua anaknya makan. Jika ada sisa makanan yang tidak habis dimakan oleh anak-anaknya, barulah Be' Karatan Sare mau makan dan berbagi dengan Ama’ Si Buku Tabu. Suatu malam Ama’ Si Buku Tabu tidak bisa memenjamkan matanya. Ia sangat gelisah sehingga ia beranjak dari tempat tidurnya menuju pendopo rumah. Ia duduk dengan raut gusur di wajah sambil menatap pekatnya malam. Dinginnya angin malam menusuk-nusuk rongga dada Ama’ Si Buku Tabu. Pikirannya jauh berkelana. la tampak berpikir sangat keras. Apa yang harus dilakukannya untuk menyembuhkan Istrinya dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Keesokan paginya, Ama' SI Buku Tabu membangunkan Sanggoan Amas dan menyuruhnya untuk berkemas. "Anakku, Sanggoan Amas. Berkemas-kemaslah karena ayah akan mengajakmu berburu ke hutan hari ini," kata Ama' Si Buku Tabu."Berburu, Ayah? Bagaimana dengan adikku, Bunga Sio Amas, siapa yang akan menjaganya di rumah? Ibu sedang sakit dan mungkin tidak bisa mengasuhnya," Tanya Sanggoan Amas."Ayah sudah memikirkannya, anakku. Bunga Slo Amas akan ikut berburu bersama kita. Jadi, kamu harus mempersiapkan bekal dan pakaian secukupnya karena kita tidak tahu akan menginap atau tidak di hutan malam ini. Pergilah ke dapur sekarang, di dalam tempayan masih ada sedikit sisa beras. Masaklah sebagian untuk bekal kita di dalam hutan nanti dan sebagian lagi sisakan untuk ibumu," kata Ama' Si Buku Tabu. Mendengar hal itu, Sanggoan Amas tentu saja sangat senang karena ia sudah lama menantikan pergi berburu bersama ayahnya. Tidak masalah jika adiknya pun ikut bersama mereka. la juga tidak mau menyusahkan ibunya yang masih sakit untuk mengasuh adiknya."Baiklah ayah. Saya akan segera menyiapkan bekal dan pakaian secukupnya." Sanggoan Amas pun segera menyiapkan segala keperluan mereka. la tampak senang sekali karena ini akan menjadi pengalaman pertamanya pergi berburu. Ama' Si Buku Tabu pun segera menghampiri istrinya, yang sedang duduk di ruang tamu bersama Bunga Sio Amas."Wahal Istriku. Apakah kau sudah merasa jauh lebih baik karena aku melihat wajahmu tampak lebih segar hari Ini?" Tanya Ama' Si Buku Tabu kepada Be' Karatan Sare."Benar sekali yang kau katakan itu, suamiku. Hari ini badanku terasa jauh lebih sehat dari biasanya. Mungkin karena buah segar yang aku makan tadi malam. Terima kasih suamiku," jawab Be' Karatan Sare."Syukurlah Jika demikian, aku akan sering membawakanmu buah-buah segar untuk kau makan. Kau harus sembuh. Aku berjanji akan merawatmu sampai kau sembuh istriku."Terima kasih, suamiku. Jangan lupa, yang lebih penting adalah merawat kedua anak kita sampai mereka dewasa," kata Be' karatan Sare sambil tersenyum kepada suaminya. Ama' Si Buku Tabu berusaha membalas senyuman istrinya itu."Dengarkan baik-baik, istriku. Hari ini aku pergi berburu dan mengajak kedua anak kita untuk ikut bersamaku. Awalnya aku hanya ingin mengajak Sanggoan Amas saja. Namun, setelah aku pikir-pikir, lebih baik kau beristirahat saja di rumah. Tidak perlu mengasuh Bunga Sio Amas di rumah. Percayalah mereka akan aman bersamaku," kata Ama' Si Buku Tabu.Be' Karatan Sera terdiam sejenak. la berpikir apakah tidak repot jika harus membawa Bungsa Sio Amas berburu. Ama' Si Buku Tabu memeperhatikan istrinya. Ia mengerti apa yang menjadi kekhawatiran istrinya itu."Tenanglah istriku. Semua akan baik baik saja. Mereka akan berada di tempat yang aman, "Ama Si Buku Tabu menyakinkan istirnya."Baiklah jika demikian, suamiku. Aku percaya, bawahlah mereka bersamamu, “kata Be Karatan Sare sambil tersenyum kepada suaminya. Ama 'Si Buku Tabu membalas senyuman Istrinya itu. Namun, senyumnya tampak kaku karena dipaksakan. Kemudian, pergilah mereka berburu dengan peralatan seadanya seperti tombak, sumpit dan parang. Bunga Sio Amas sedang tidur di gendongan punggung Ama' Si Buku Tabu. Punggung yang menghangatkan badan membuat Bunga Sio Ambas tertidur pulas. Sementara, Sanggoan Amas berjalan sendiri di samping ayahnya. la terlihat menggedong sebuah keranjang berisi bekal dan pakaian.Terkadang ia harus jatuh tersungkur karena kakinya yang kecil tersangkut rumput rumput liar. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk berburu.Mereka terus berjalan masuk ke dalam hutan rimba melewati jalan yang penuh lumpur dan berbukit bukit. Setelah dirasa cukup jauh berhentilah mereka di satu tempat di bawah pohon yang sangat besar. Lalu, berkatalah Ama' Si Buku Tabu kepada Sanggoan Ambas, "Anakku, kita akan membuat sebuah pondok kecil di sini. Sepertinya malam ini kita tidak bisa pulang karena sudah berjalan terlalu jauh. Kita akan menginap di sini. Nak, kamu jagalah adikmu dulu. Ayah akan pergi sebentar untuk mencari kayu dan beberapa bahan untuk membuat pondok kita.""Baiklah, ayah," kata Sanggoan. Amas sembari menggendong adiknya. Kemudian pergilah Ama'Si Buku Tabu masuk ke dalam hutan. Sunyi, hanya suara kicauan burung-burung yang menemani. Sesekali terdengar sayup-sayup suara lolongan yang membuat Sanggoan Amas merinding ketakutan. Selang beberapa waktu setelah Ama' Si Buku Tabu pergi, Bunga Sio Amas menangis keras. Sanggoan Amas pun berusaha mengibur adiknya dengan bersenandung sambil mengusap usap kepala adiknya."O...ooo...oa..tidurlah adikku Bunga Sio Amsas........ ooo.... Oa.. tidurlah adikku sayang..." Kemudian Sanggoan Amas menengadah ke langit. Tampak langit senja mulai ditutupi oleh awan hitam. Hati Sanggoan Amas mulai berkecamuk ketika mendung menyelimuti langit. la takut jika hujan akan turun karena mereka belum mempunyai pondok untuk berteduh. Hatinya pun begitu cemas karena ayahnya belum juga kembali. Untuk menghilangkan rasa takut, Sanggoan Amas terus bersenandung bahkan tanpa ia sadari ia pun tertidur dengan posisi duduk bersandar di bawah pohon yang besar itu. Sementara, adiknya tidur di sampingnya beralaskan tikar kecil yang mereka bawa dari rumah."Sanggoan Amas, Sanggoan Amas... bangunlah nak," Ama' Si Buku Tabu menempuk nepuk pundak Sanggoan Amas yang masih tertidur pulas. Ketika Sanggoan Amas membuka matanya, ia mengerutkan keningnya. la tampak sedikit terkejut karena sudah berada di dalam satu pondok, la menoleh ke kiri dan ke kanan, tampak keadaan sudah mulai gelap. Tampak di depannya sudah duduk ayahnya sambil menggendong Bunga Sio Amas di pangkuannya. Ama' Si Buku Tabu sedang menyuapi Bunga Sio Amas."Kita di mana, Ayah?" tanya Sanggoan Amas sambil menoleh ke sekelilinnya. "Kita sedang berada di tengah hutan. Ayah sudahmembuat pondok saat kau sedang tertidur di bawah pohon itu. Setelah pondok selesai, ayah mengangkatmu ke sini. Nah, makanlah terlebih dahulu. Ayah membawakan kalian banyak makanan dari hutan. Setelah itu, baru kita istirahat. Besok pagi kita akan mulai berburu. Siangnya baru kita kembali. Kasihan Ibumu sendirian di rumah.""Baiklah, ayah." Keesokan paginya, Ama'SI buku Tabu membangunkan kedua anaknya untuk segera berslap karena mereka akan berangkat berburu. Namun, cuaca kembali mendung sehingga Ama' Si Buku Tabu memutuskan untuk berangkat seorang diri."Anakku Sanggoan Amas. Ayah akan pergi berburu seorang diri saja hari ini. Kamu dan adikmu tinggallah di pondok. Tunggu ayah. Jangan ke mana-mana. Dalam keranjang sudah ada banyak persediaan makanan yang ayah siapkan. Ingat anakku, jagalah dengan baik adikmu." Sanggoan Amas merasa sedikit kecewa karena la sebenarnya ingin sekali pergi berburu. Namun, apalah daya karena keadaan cuaca yang tidak mengizinkannya ikut berburu kali ini."Baiklah, ayah. Namun, ayah jangan pergi terlalu lama. Kami sangat takut sendirian di sini," kata Sanggoan Amas."Ayah tidak akan lama. Ayah hanya berburu di sekitar sini saja. Sebelum petang ayah pasti sudah akan kembali. Nah, ayo kita makan terlebih dahulu karena ayah sudah harus pergi agar bisa pulang awal hari ini," jelas Ama' Si Buku Tabu. Kemudian setelah menyantap makanan pagi, dengan langkah yang berat, Ama' Si Buku Tabu pun pergi meninggalkan kedua buah hatinya. Entah kenapa langkahnya terasa sangat berat untuk meninggalkan mereka sendirian di pondok itu. Ada rasa khawatir yang berlebihan datang dari lubuk hati Ama Si Buku Tabu. Ketika sudah turun dari pondok, la menoleh ke belakang untuk melihat kembali kedua buah hatinya. Sanggoen Amas tersenyum kepada ayahnya, begitu juga dengan Bunga Sio Amas. la tersenyum sambil melambal-lambalkan tangannya.Tinggallah dua Amas bersaudara di pondok Itu. Sanggoan Amas menjaga adiknya dengan penuh kesabaran. la mengikuti setiap langkah kaki adiknya ke manapun ia melangkah. Saat lapar, ia menyuapi adiknya dan ketika sudah saatnya tidur ia mengayun adiknya sambil bersenandung. Ketika petang tiba, rasa cemas menghantui Sanggoan Amas karena ayahnya belum kembali. Gelap sudah menyelimuti hutan. Sanggoan Amas memberanikan diri turun dari pondok untuk menyalakan api di dekat pondok. la teringat akan perkataan ayahnya tentang kekuatan api. Hewan buas tidak akan berani mendekat ketika melihat banyak api. Senja kini sudah hilang berganti dengan malam yang semakin pekat. Tidak ada tanda-tanda ke pulangan Ama' Si Buku Tabu. Tangisan ketakutan Bunga Sio Amas memecah ke sunyian malam. Sanggoan Amas berteriak memanggil-manggil ayahnya. Tidak ada sahutan, yang terdengar hanya suara Sanggoan Amas yang menggema dan memantul kembali. Sanggoan Amas berusaha menghibur adiknya. la menggendong, mengayun, bersenandung bahkan mendongeng untuk Bunga Sio Amas hingga akhirnya adiknya itu pun tertidur. Setelah adiknya tidur, Sanggoan Amas menegarkan hatinya, la yakin jika ayahnya akan segera kembali. la terus menanti ayahnya. Namun, hingga keesokan pagi, ayahnya belum juga kembali.Sanggoan Amas meraih badan adiknya yang sudah bangun lalu menggendongnya la turut membawa keranjang yang berisi beberapa perlengkapan dan makanan. la kemudian turun dari pondok itu. la memutuskan untuk menyusul ayahnya. la terus melangkahkan kakinya melewati hutan yang penuh semak belukar sambil terus memanggil-manggil ayahnya. Setelah Jauh berjalan, dari kejauhan tampak seseorang sedang berbaring di bawah pohon besar. Sanggoan Amas memberanikan diri mendekatinya."Ayah...," Sanggoan Amas berlari menuju orang yang sedang berbaring itu. Sanggoan Amas memeluk tubuh ayahnya itu. Namun, Ama' Si Buku Tabu melepaskan pelukan Sanggoan Amas tanpa mengucapkan sepatah kata pun lalu beranjak dari tempat itu. Sanggoan Amas dan Bunga Sio Amas terus mengikuti langkah kaki ayahnya. Langkah kakinya yang cepat membuat Sanggoan Amas setengah berlari mengejar langkah kaki ayahnya. Namun, tiba-tiba, Ama' Si Buku Tabu mengambil langkah seribu sehingga Sanggoan Amas dan adiknya tertinggal jauh sampai kehilangan jejak ayahnya. Sanggoan Amas dan Bunga Sio menangis sambil terus memanggil ayahnya. Terdengar suara yang memanggil nama sanggoan Amas sehingga ia terus mengikuti suara itu.Samar-samar dari kejauhan terlihat kembali ayahnya di balik sebuah pohon besar. Sanggoan Amas mengejar ayahnya sementara Bunga Sio Amas terus menangis di gendongannya. Setibanya mereka di balik pohon itu, tidak didapati ayahnya di sana, dan yang ada di balik pohon itu hanya seekor kidang besar. Tampak kidang itu memandang Sanggoan Armas dengan tajam. Sanggoan Amas berlari menjauh dari binatang itu. Mereka terus berlari hingga kehilangan arah. Sanggoan Amas tidak dapat menemukan jalan pulang menuju pondok mereka. Mereka tersesat di tengah hutan rimba. Sanggoan Amas berusaha menenangkan adiknya yang terus menangis. Di sepanjang perjalanan, tampak la berpikir keras. Apa yang telah terjadi. la kembali teringat kata-kata ayahnya untuk tidak pergi kemana-mana. Namun, la mengabaikannya. la sungguh menyesal. la juga teringat perkataan ibunya dulu bahwa di hutan ini ada satu binatang yang bisa menjelma menjadi manusia. la yakin, binatang yang mereka lihat hari ini adalah wujud binatang yang telah menjelma menjadi ayahnya.Di tengah hutan, Sanggoan Amas dan Bunga Sio Amas beristirahat sejenak di bawah pohon yang rindang. Tampak buah-buahan segar di atas pohon tempat mereka berlindung."Adikku, Bunga Sio Amas. Engkau pasti sudah lapar. Tunggulah sebentar di sini. Abang akan memetik buah yang ada di atas pohon ini. Lihatlah, buah-buah yang ranum itu, pasti segar rasanya," kata Sanggoan Amas."Lapar... mau makan...," kata Bunga Sio Amas mengerti.Kemudian Sanggoan Amas pun memanjat dan memetik buah-buah yang segar itu dari pohonnya. Setelah itu mereka pun makan buah-buah itu untuk mengganjal rasa lapar."Adikku, kini kita seorang diri saja tanpa ayah dan ibu bersama kita. Kau janganlah rewel. Kita harus bisa mencari jalan pulang dan kembali berkumpul bersama keua orangtua kita," kata Sanggoan Amas."Iya abang Ki-ta ha-rus pu-lang. Aku ta-kut abang...", kata Bunga Sio Amas terbata-bata."Tenang adikku. Abang akan melindungimu. Jangan kemana-mana tanpa abang.” Sanggoan Amas dengan peralatan seadanya, memutuskan membuat pondok yang kecil dapat digunakan sebagai tempat berteduh. la juga membuat peraplan untuk menghangatkan badan dan mengusir binatang-binatang buas dari mereka. Untuk makanan, Sanggoan Amas mengambilnya dari hutan yang dekat dengan pondok kecil mereka. la tidak pernah meninggalkan adiknya sendirian. Kemanapun ia pergi, Bunga Sio Amas selalu di bawa bersamanya.Sementara itu, sekembalinya Ama' Si Buku Tabu ke pondok mereka alangkah terkejutnya ia karena pondok telah kosong. la mencari mereka selama berhari-hari ke dalam hutan, tetapi hasilnya nihil. Dengan perasaan sedih, ia pun memutuskan kembali ke rumah karena ia khawatir akan istrinya yang di tinggal sendirian di rumah. Kepulangan Ama' Si Buku Tabu tanpa anak-anaknya membuat Be' Karatan Sare makin bersedih. la yang awalnya sudah mulai sehat kembali jatuh sakit. Hatinya begitu pilu mengenang kedua buah hatinya. Namun, ia sangat yakin jika kedua anaknya itu masih hidup dan berjuang menaklukkan kerasnya hidup di dalam hutan. Rasa kecewanya sangat dalam kepada Ama' Si Buku Tabu sehingga ia tidak mau berbicara pada suaminya itu.Suaminya merasa sangat bersalah kepada istrinya karena kehilangan kedua buah hatinya. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah bagaimana menyembuhkan istrinya dan mendapatkan maaf dari istrinya. Setiap hari istrinya terus menangis pilu sampai air matanya kering. la tidak mau menyentuh makanan selam beberapa hari. Ama' Si Buku Tabu membujuk istrinya agar mau makan. Namun, hal itu tidak pernah digubris oleh Be' Karatan Sare. Hati keduanya sangat berduka. Semenjak kehilangan kedua buah hatinya, Ama' SI Buku Tabu mengalami masa-masa yang sangat sulit dari sebelumnya. Sudah berhari-hari Be' Karatan Sa tidak menyentuh makanan dan minuman. Begitupun dengan Ama' Si Buku Tabu. Tidak ada gunanya la makan jika Istrinya tidak mau makan. Hingga tubuh keduanya makin lemah dan jatuh sakit. Melihat Ama' Si Buku Tabu jatuh sakit, Be' Karatan Sare menjadi sangat kasihan. la tidak ingin melihatnya suaminya sakit seperti dirinya. Hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk makan dan mengajak suaminya makan bersama. Be' Karatan Sare berpikir, jika mereka pulih mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari kedua buah hati mereka. Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Roda waktu terus berputar. Dua Amas bersaudara kini tumbuh dewasa. Sanggoan Amas tumbuh menjadi laki-laki yang berparas rupawan. Lukisan Tuhan yang maha sempurna di wajahnya. Badannya tinggi kekar, kulitnya kecokelatan karena sering terbakar sinar matahari. Begitu pun dengan Bunga Sio Amas yang tumbuh menjadi gadis elok berparas ayu. Badannya tinggi semampai. Rambut lurusnya yang panjang terurai menambah sempurna ciptaan Sang liahi. Kedua bersaudara ini berkelana di dalam hutan. Mereka hidup bebas. Namun, bahagia bersama indahnya alam. Mereka telah menyatu dengan alam dan bersahabat dengan binatang-binatang yang hidup di hutan.Suatu hari, Sanggoan Amas sedang memetik buah segar di atas pohon yang sangat tinggi. Buah-buah yang ranum terdapat di puncak pohon itu hingga ia terus memanjat sampal ke puncak pohon. Alangkah terkejutnya Sanggoan Amas ketika melihat satu bangunan yang sangat tinggi dan besar berada di tengah hutan. Bangunan yang berkilau-kilau seperti emas itu menarik hatinya dan membuatnya penasaran. Segera la turun dari pohon itu dan memberitahukan adiknya Bunga Sio Amas. Keduanya penasaran, la mengajak adiknya itu untuk melihat bangunan itu lebih dekat. Medan yang ditempuh untuk mendekati bangunan itu sangat berat. Keduanya harus melewati hutan belantara dan batang sungai yang mengalir deras. Namun, mereka tidak putus asa untuk mencapai bangunan itu. Setelah berhari-hari melewati hutan belantara itu, akhirnya tibalah mereka di dekat bangunan yang dindingnya berkilau seperti emas itu.Namun, dari kejauhan, mereka mendengar suara dengkuran yang sangat keras berasal dari dalam bangunan. Ternyata bangunan itu adalah rumah yang memiliki ukuran yang sangat besar dan tinggi. Dengan sangat hati-hati, mereka berjalan perlahan mendekati bangunan itu."Bunga Sio Amas, tunggulah di sini sebentar. Aku akan melihat keadaan di dalam rumah itu," perintah Sanggoan Amas."Baiklah abangku, Sanggoan Amas. Hati-hatilah." Sanggoan Amas berjalan perlahan untuk melihat isi rumah itu, Alangkah terkejutnya Sanggoan Amas melihat wujud yang sangat besar dan panjang sedang tidur berbaring di lantai rumah yang terbuat dari batu pualam itu. Itu adalah wujud Baki Antu Longke, sesosok makhluk yang sangat besar dan tinggi yang memiliki wajah yang sangat menakutkan Ternyata rumah itu merupakan rumah yang didiami oleh makhluk raksasa yang sangat mengerikan. Sanggoan Amas melihat makanan yang melimpah ruah memenuhi sebagian besar ruang di dalam rumah itu.Sanggoan Amas berjalan perlahan-lahan masuk ke dalam rumah karena la takut membangunkan Bold Antu Longke. Setelah melihat sekeliling romah itu, Sanggoan Amas segera berlari menghampiri Bunga Sio Amas dan memberitahukan apa yang ada di dalam rumah itu. Beberapa saat kemudian, tampak Baki Antu Langke keluar dari rumah itu. Saat kakinya melangkah, tanah berguncang dengan hebat seperti gempa."M...mm bau manusia...," Baki Antu Langke tampak mengendus-endus sambil melihat sekelilingnya. Sanggoan Amas dan Bunga Sio Amas bersembunyi di balik pohon yang besar.Sanggoan Amas segera punya ide untuk menjebak raksasa itu. Ia pun segera keluar dari persembunyiannya. Baki Antu Langke melihat Sanggoan Amas, dan darahnya berdesir-desir hebat melihat anak manusia di depannya. Segera raksasa itu mengejar Sanggoan Amas. Badan yang sangat tinggi dan besar membuat lari Baki Antu Langke lambat, dan sesampainya di tepi jurang Sanggoan Amas berseru kepada Boki Antu Langke."Hei raksasa buruk rupa, ke sini.. tangkap aku... seru Sanggoan Arnas. Baki Antu Longke menjadi sangat marah. Tanpa berpikir panjang ia segera mengejar Sanggoan Amas yang sudah menunggunya di tepi jurang. Malangnya, raksasa itu hanya fokus melihat Sanggoan Amas, ia tidak melihat Jurang. Saat ia sudah mendekat ke Sanggoan Amas, Sanggoan Amas mengelak... dan... jatuhlah badan Baki Antu Longke ke dalam jurang yang sangat dalam. Saat jatuh, tanah seperti gempa dengan kekuatan tinggi mengguncang seisi hutan itu. Matilah raksasa itu. Setelah kematian raksasa itu, dua Amas bersaudara tinggal di rumah ajaib yang berisi makanan yang sangat melimpah ruah. Mereka kini hidup bahagia di dalam rumah yang sangat besar itu.Singkat cerita, Sanggoan Amas sangat suka bermain bola yang terbuat dari daun kelapa. Saat la menendang dengan sekuat tenaga, bola itu terjatuh pada sungai Tamambaloh dan terbawa arus hingga ke hilir sungai. Sementara itu, Ama' Si Buku Tabu dan Be' Karatan Sare sedang mencari Ikan di sungai menggunakan perahu. Semenjak kehilangan anka-anak mereka, mereka kini berkelana ke hulu sungai berharap bertemu dengan anak- anak mereka. Mereka heran ketika melihat banyak bola yang hanyut terbawa arus sungai. Mereka berpikir jika di hulu sungai ini pasti ada perkampungan sehingga mereka pun mengikuti arus sungai ke arah hulu. Keajaiban pun terjadi, Ama' Si Buku Tabu dan Be' Karatan Sare melihat rumah besar yang ditinggali oleh Sanggoan Amas dan Bunga Sio Amas. Alangkah terkejutnya mereka melihat pemilik rumah itu. Perasaan seorang Ibu tidak bisa menolak untuk percaya bahwa itu adalah kedua buah hati yang telah lama dinantikan. Akhirnya keluarga kecil ini dipertemukan kembali di satu masa yang sangat indah.. Mereka kini hidup bahagia tanpa kekurangan makanan di rumah nan besar dan megah.Pesan Moral:Jangan lupa bersyukur kepada Tuhan Sang Pencipta.KosakataTamambaloh: Suku Dayak yang mendiami perkampunganBubu: Penangkap ikan tradisional yang terbuat dari bambuSampulo: TuhanParipuk: daun pandan yang digunakan untuk membuat tikar,Sampulo Padari: Tuhan Sang PenciptaNama Penulis: Laurensiana Maria Renny, S.Pd.Asal Sekolah: SMP Kristen Immanuel PontianakNarasumber: Ule'-ule'an lisan suku Dayak TamambalohPenutup : Alm. Kakek Mikael Jambel
Baca
Nek Kinoh Ngan Kijok Amas
Tersebutlah sebuah kampung bernama Pakúnam. Dahulu Kampung Pakúnam, merupakan satu di antara beberapa nama kampung yang ada di daerah Sakawokng yang kini disebut Singkawang, Di kampung itu, hidup seorang nenek bernama Nêk Kinoh. la adalah seorang janda yang hidup sebatang kara. Suami dan anak-anaknya telah lama meninggal dunia, karena terserang wabah penyakit berbahaya yang menimpa kampung itu beberapa tahun silam. Nék Kinoh begitulah biasa orang-orang kampung menyebutnya, ia adalah seorang nenek yang memiliki rambut yang sangat panjang dan berwarna putih, Rambutnya yang sangat panjang tersebut membuat ia dikenal di seluruh kampung, Ñêk Kinoh memang sudah tua, tetapi ia tetap rajin merawat rambutnya yang panjang tersebut. Menurutnya, rambut adalah mahkota berharga yang harus dijaga dan dipelihara. Jadi, pada hari-hari tertentu, Nék Kinoh pergi ke hutan untuk mencari langir buah kayu manyaitnl yang akan dijadikan sebagai ramuan untuk mencuci rambut (baángir) miliknya. Nêk Kinoh tergolong wanita yang tegar, rajin, dan selalu bersemangat, Setiap pagi, Ñêk Kinoh harus berangkat ke ladang untuk merawat dan mengawasi padi-padinya yang sedang memasuki tahap babuntikng bini (hamil perempuan), padi milik Nêk Kinoh sudah mulai berbuah. Namun, belum tampak karena masih berada di(Sejenis tanaman hulan yang digunakan untuk belaneir atau mencuci rambut kepala pada Wanita Dayak Salako Garantukng)dalam batangnya, yang ditandai dengan batang padi yang mulai tampak membesar. Dengan hati yang sabar, ia berdoa kepada Jubato2 agar padi miliknya tetap subur dan bebas dari hama pengganggu seperti tikus, ulat daun, walang sangit, dan burung pipita Nêk Kinoh juga meminta kepada arwah para leluhur supaya menjaga ladangnya tersebut dari hantu-hantu yang kelaparan Nêk Klnoh percaya arwah Ieluhur selalu ada di sekitarnya, walau tidak kelihatan secara nyata. Selain menanam padi, Nék Kinoh juga membuat anyaman tikar yang dikerjakan ketika ada waktu luang. Saat-saat santai, setelah selesai mengerjakan ladang miliknya, ia gunakan untuk mengayam tikar - pandan. Anyaman tikar yang dibuat berasal dari daun sakék3 yang ia cari di hutan. Anyaman tikar yang dibuat berbentuk persegi panjang, berukuran panjang 3 meter dan lebar 2 meter. Tikar tersebut tersusun dari pita-pita daun sakék. Daun-daun tersebut diraut dan dibuang durinya, lalu dibelah berdasarkan ukurannya masing-masing dengan menggunakan jangkók sakék4, kemudian dijemur di bawah panas terik matahari hingga siap dibawa ke tahap berikutnya, yaitu pewarnaan. Nêk Kinoh memanfaatkan beberapa jenis tanaman hutan dan tanaman miliknya sebagai pewarna alami yang digunakan untuk mewarnai tikar pandan miliknya. Warna merah (meróh) dihasilkan dari potongan kayu sapókng (kayu Secang), warna kuningdihasilkan dari rimpang kunyit (unyit) yang di tumbuk halus (i-tutuk) dan dicampur dengan kapur sirih, sedangkan wama hitam (itópm) ia menggunakan arang kayu (arôk) yang ia campur dengan biji pinang (begék pinangk) dan kulit manggis (kuit mangis), sedangkan warna coklat dihasilkan dari kulit akar Jati (kuit akar jati). Bahan-bahan tersebut ia rebus, lalu dijemur (i-rongké) kembali dan dipadu-padankan sesuai tradisi nenek moyang, hingga terbentuklah selembar tikar dengan motif khas Dayak Salako yang indah dengan perpaduan warna merah, kuning, hitam dan coklat yang indah. Nantinya, tikar-tikar tersebut akan digunakan sebagai alas tidur, alas duduk di ruang tamu, ataupun alas untuk menyimpan barang-barang upacara ritual adat yang dilakukan oleh Nêk Kinoh bersama warga kampung (sa kampuk). Nêk Kinoh memang seorang nenek tua yang rajin, meskipun sudah disibukkan dengan beragam pekerjaan, tetapi ia juga masih harus mencari sayuran hutan. Nantinya, sayur-sayuran tersebut dijajakan kepada warga yang tinggal di ujung bantang5, Kala itu, kegiatan tukar-menukar barang masih dapat terlihat di kampung Nék Kinoh, Sayur miliknya, ditukar dengan (garopm) garam, jarúk, ba-acot, dan salé ikót. Nantinya barang-barang yang ditukar tersebut digunakan Nêk Kinoh untuk memenuhi kebutuhnnya sehari-hari. Pada saat terjadi proses tukar menukar memaksa dengan warga. Ada warga yang mau menukarkan barang mereka, tetapi juga ada yang tidak mau, terkadang, ada warga yang benar-benar membutuhkan Sayurannya, tetapi orang tersebut tidak memiliki barang untuk ditukarkan, maka tidak segan-segan ia memberikannya Secara cuma-cuma tanpa meminta balasan. Hal ini dilakukan karena Nêk Kinoh mempunyai prinsip hidup yang diajarkan oleh leluhurnya untuk bisa berbagi dengan orang-orang yang berkekurangan, Nêk Kinoh senang bisa membantu orang-orang yang berkesusahan, walaupun dirinya juga hidup dalam kesusahan. Kala itu, hari masih pagi, Nêk Kinoh bermaksud untuk pergi ke hutan mencari sayur. Kebetulan hari itu ia tidak berangkat ke ladang karena sehari sebelumnya, ladang miliknya sudah ia pasangi pagayo umo sehingga hari itu ia bebas untuk mencari sayur ke hutan. Sebelum berangkat, Nêk Kinoh mempersiapkan 'tangkitn ojot, pau-puk, amóuk, ca-akong, dan tabok. Setelah peralatan tersebut dipersiapkan, maka berangkatlah ia ke hutan Adapun hutan yang ia tuju saat itu, yakni Hutan Bukit Saboh yang tergolong angker di Bantang Pakunam, Hutan tersebut dipercaya oleh masyarakat bahwa ada sejumlah awo pamo (hantu/makhluk halus/roh leluhur) yang bersemayam yang sangat di takuti oleh warga sekitar tempat Nâk Kinoh tinggal. Warga menganggap Hutan Bukit Saboh merupakan tempat yang angker, tetapi bagi Nâk Kinoh tempat tersebut merupakan tempat yang indah dan damai layaknya Subayotn tempat Jubato bersemayam. Hal inilah yang membuat Nâk Kinoh merasa betah jika berada di tempat itu, meski orang-orang menganggap tempat tersebut sebagai tempat yang menyeramkan dan berbahaya untuk manusia (taino), Hutan Bukit Sabah, terletak di lereng gunung yang terjal, dengan kemiringan 70 derajat. Di tempat itu terdapat beragam binatang baik liar maupun langka seperti uar şowo (ular piton), book (burung hantu), kolang kulit (burung malam), kasui (harimau akar), ucik batu (kucing batu), tangiik (trenggiling), kijok (kijang), binau (elang), rangook (enggang), tangkarabak (tupai besar seukuran kucing), sapotn (tupai beşar berwarna warni), untek (sejenis kera) dan sebagainya. Binatang-binatang tersebut saling bercengkrama tanpa adanya rasa takut maupun ancaman berbahaya dari manusia pengganggu. Nek Kinoh memulai perjalanannya ke Hutan Bukit Saboh, Di tengah perjalanan terasa kakinya sangat kaku dan sulit untuk digerakkan, Lalu ia memutuskan untuk berhenti dan merebahkan tubuhnya yang keriput pada onggokan batu hitam yang berlumut hijau tempat la berhenti. la juga merasa sangat lelah (ka nga nguót) dan haus. (apun mengambil air yang ada di dalam tabek, dan meminum air tersebut. Entah kenapa, setelah minum air tersebut, ia merindukan anak-anaknya serta sang suami yang telah menghadap Jubato. Iapun berkata,"Ngameo kitók ningót akú? Anók gék kitók ale ka aku a? umak ale ka kitok, pok ko, pók oo, Rasoé akú anyian maók nyosolók kitók ka Subayotn nàun".(Mengapa kalian meningalkan aku? Tidakkah kalian merindukanku? Ibu sangat merindukan kalian, anakku, suamiku. Rasanya aku ingin menyusul kalian ke sana, ke surga).Tatkala rasa rindu berada dibenaknya, tiba-tiba seekor burung (burúkng) hinggap kira-kira 50 cm dari posisi Nék Kinoh berada. Iapun terkejut, lalu burung tersebut mengibas-ngibaskan ekorya, seakan-akan minta dijamah dan dielus-elus. Ñêk Kinoh heran, lalu mendekati dan menjamah burung itu. lapun berkata,"Donók, gagas sidi burukng nyian. Kapalo ngu’, bulu ngú, ekók ngú, seap ngú, poho ngú, samoe e gagas sidi. Kaú nyian burúkng gék awo pamo ato antu a? Ke améo kaú baík dari seketkú?, Mun kaú awo pamo ato gék antu dari jak dih, amé samakngík akú. Akú anyion taino, akú agik bagago makot ka doop udas nyian. Amé ngecóuh akú boàh."(Ya ampun, indah sekali burung ini, Kepalamu, bulumu, ekormu, sayapmu, kakimu, semuanya indah. Kamu ini apakah benar-benar burung, rob leluhur atau hantu? Kok, Mengapa kamu tidak mau pergi dari dekatku? Jikalau kamu, roh leluhur ataupun hantu, pergilah kamu dari sini tak usah dekati diriku. Aku sedang mencari makan di hutan ini. Tolong Jangan ganggu aku).Tiba-tiba burung itu menjawab Nek Kinoh,“O.. Nek tuho, aku nyian agik ka susohot. Maok gek kitok nu-ukngik aku?"(Wahai Nenek tua, aku sedang mengalami kesulitan. Sudikah kau membantuku?)Mendengar hal itu, Nek Kinoh kaget bukan kepalang (takajut). la heran dan hampir syok. Ia belum pernah melihat, seekor burung yang dapat berbicara seperti manusia. Sejenak la terkagum, serasa bermimpi menyaksikan seekor burung nan indah yang bisa berbicara layaknya manusia. Kemudian, "Nek Kinoh pun menjawab,"Donok, ke kau pane bakato dahayo taino? Kau anyian burukng gék antu? Nok suoh ku nanang burukng nang dahayo kau pane bakato. Sidi nok suoh, Baruk ari nyian oku nanang burukng pane ngalakar ba taino. Sagåk kau anyian antu ato gék awo pomo nang nyarubo ka burukng, Sidi anok, Mun kau antu, ngaméo payo kaü kasusohot a?"(Ya ampun, kok kamu bisa berbicara seperti manusia? Kamu ini burung atau hantu ? Tidak pernah, melihat burung sepertimu yang dapat berbicara, Aku benar-benar tidak pernah, baru sekarang aku melihat ada seekor burung Yang pandai bercakap-cakap dengan manusia. Sepertinya kamu ini hantu, ataupun roh nenek moyang yang menyerupai seekor burung, benar tidak ? Dan jikalau karnu hantu, mengapa kamu mengalami kesulitan?)Sahut burung itu,"Akü anyian taino Nék o, macamok kitok ugok. Aku i-Jubato ngutuk karano dulyo aku anyian bongkok ka binatang ngan taino. Aku pagéo, nyiksoik sigale nak laok. Jadi kaniok nange aku ngaraso iyo jadi burukng. Tuuk ngik aku Nék o. Aku maök jadiok taino agik," (Nek, aku ini manusia sama seperti nenek. Aku dikutuk oleh Jubato karena dulu aku seorang yang jahat selalu menyiksa binatang dan manusia. Jadi sekarang aku baru merapkanpya, berwujudkan seekor burung. Tolonglah aku, Nek. Aku ingin menjadi manusia lagi).Lalu jawab Nék Kinoh,"Alok ngu, antu ségnyo kau nian nang mok munuhok aku"(Bohong, mungkin kamu ini hantu yang hendak mencelakai saya)Burung itu menjawab,"Sidi Nék o„, Aku nyian taino. Aku i-Jubato ngutuk.(Benar Nek saya ini manusia. Saya dikutuk Jubato).Lalu jawab Nék Kinoh,“O.. Jako gék, auklah mun jako. Jéklah dirik puok ka bantang Nenék," (Oh ya kah, baiklah kalau begitu. Marilah kita ke rumah nenek). Nék Kinoh membawa burung tersebut pulang ke rumahnya. Meskipun sebenarnva kakinya telah pegal dan tidak sanggup lagi untuk berjalan, tetapi demi niat menolong sesama makhluk hidup, ia pun akhirnya berbaik arah menuju rumah untuk membawa burung tersebut. Setibanya di rumah, Nek Kinoh mengelus bulu burung tersebut sambil membersihkan bagian-bagian kaki burung yang kotor lalu meletakkan burung tersebut ke dalam sangkar (raban). Nek Kinoh berkata, “Aku nyimpan kau i-sio dohok bah kau ame ampus kamae- mae.”Sahut burung itu, “Auklah Nek oo, tapi kitok ampusok kamae dahok Nek?(Baiklah Nek, tapi nenek hendak pergi kemana?)Jawab Nek Kinoh,“Aku nganuok ampohot ka doop udas, ngaguok nak sigale amidik, pakuk, kuat, karekek, rabuk, dauk abuot, pokok e sigale dauknang bio i-juo ka dengan. Ingat boh kau ame jayo ka jauh.”(aku ingin mencari sayuran di hutan, seperti pakis, pucuk paku, cendawan, daun sirih, rebung, dauh simpur, dan semua jenis dedaunan yang bisa dijual kepada warga. Ingat kamu jangan pergi ke mana-mana.)“Auklah Nek o, baik-baik jak kitok kamarago boh. Ingat Nek o, ame kitok puok maam giok, i-naun tagahe awo pamo.”(Baiklah Nek, berhati-hati nenek di perjalanan. Ingat ya nek, jangan pulang terlalu malam karena di sana banyak terdapat roh halus). Berangkatlah Nek Kinoh ke hutan, meski ia agak khawatir meningalkan burung itu sendirian dirumahnya. Ia terus berjalan menuju hutan bukit saboh. Ia berharap untuk segera mendapatkan sayuran dimaksud setelah itu untuk dapat segera ke sana.Setibanya di hutan Bukit Saboh, ia pun mulai memetik pucuk-pucuk pakis, pucuk daun simpur yang dapat dia jual dengan warga. Dia terus memetik pucuk-pucuk pakis di sekitar Hutan Bukit Saboh Itu dengan riang gembira. Ucapnya dalam hati,"Epo sidi mun tiap ari jayo, ngatesík ogo-ogo pakúk ngan amidik. Pasti dangan maók mali iy””. (Senang sekali Jika tiap hari seperti ini, memetik pucuk-pucuk tanaman paku dan pakis- Tentulah warga mau membelinya)Dia terus memetik pucuk-pucuk sayuran hutan dan terus berjalan menyusuri hutan hingga tak sadar, bahwa ia telah jauh masuk tengah hutan. Lalu ucapnya,"Donók, Kamaé nong akú nyian? Déh, Kamaé akú nyian? Ambatok, yamaé nang akú puokók nyian, ha?”(Ya ampun, Di mana aku sekarang? Waduh, Aku berada di mana? Ya ampun, bagaimana aku bisa pulang ke rumah?)Nêk Kinoh telah tersesat ke tengah hutan. la mencoba mencari cara atau sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk untuk pulang ke rumah. Nék Kinoh me lihat-lihat hutan di sekelilingnya Lalu, la melihat ada sebuah gua kecil, dan mendekati gua tersebut, la mencoba untuk masuk, tetapi gua itu cukup dalam dan gelap ia takut, jika di dalam gua tersebut terdapat binatang yang berbahaya seperti ular teduog (uao tadúk), kalajengking (kalo Jangkék), dan lipan (nyaipot) yang bisa membahayakan dirinya. Selain itu, penglihatan Nêk Kipoh juga súdah tidak normal, sehingga ia pun memutuskan untuk beristirahat di bibir gua itu. Sejenak ia berpikir untuk mencari cara agar bisa pulang ke rumah. Namun, saat itu cuaca mulai tidak bersahabat. Angin kencang bertiup di sekitar gua itu. Pohon-pohon bergoyang, dedaunan melambai-lambai sambil menari, dahan-dahan tua berjatuhan (sempouk), binatang-binatang hutan mulai bersuara seakan menertawakan Nek Kinoh yang sedang kebingungan (ringanoh-ringangoh). Hari semakin gelap, matahari sudah pergi ke peraduan, udara dingin perlahan mendekati Nek Kinoh yang sedang bersusah hati. Di dalam ketakutan, Nek Kinoh berseru kepada Jubato,“Adanek o Jubato aku anyian taino aku anyian sasat, ameklah aku sadikit peridupot. Aku bangagok makot, bagagok rajaki ka kitok, bapintok kasalamatot ka kitok, Ooo, Jubato nang ando ka tanah, ka aik, ka udas, ka angit, ka bukit, ka nak sigale nagari, antat puok aku ka bantangku. Ame amek aku nak sagale panyakit nang biso nabanan aku ka dunio sontok sarantok. O Jubato dengar sampok ku nyian.”(Ya ampun, wahai Jubato, aku ini manusia. Aku tersesat, berilah aku jalam agar bisa kembali ke rumah. Berikan aku kesempatan hidup . aku bekerja untuk mencari makan, kepada-mu wahai Jubato yang menguasai tanah, air, hutan , bukit, ke seluruh negeri, antarilah saya pulang ke rumah. Jangan bekali aku dengan sakit penyakit yang bisa membawa aku pada kemiskinan dan kemelaratan. Wahai Jubato, dengarlah permohonanku ini.)Saat Ñék Kinoh ketakutan, burung yang ada di rumah menunggu ke pulangan Ñêk Kinoh. Burung itu tidak tenang, terbang kesana-kemari di dalam sangkar sehingga membuat sangkar burung itu terjatuh, dan pintu sangkarnya pun terbuka. Burung itupun lepas. Namun, burung tidak lari. la terbang (tarabók) mengitari bantang Nék Kinoh. Ucap burung itu sambil memanggil-manggil sang nenek"Ooo..Nêk, Kamoé kitàk nek? Ari dah gumarék, ngaméo ke kitôk napék puôk-puôk? Amo sidi boh kitok Nêk. Kamaé aúk nenék ampus?"Ooo... Nenek ada di mana? Hari sudah sore nek, kok mengapa nenek belum pulang juga? Nenek lama sekali, Kemana ya nenek?) Burung itupun terbang keluar dari bantang Nêk Kínoh. la melihat-lihat di sekitar bantang, tetapi tidak ada tanda-tanda Nêk Kinoh akan segera pulang. Kemudian, ia pun terbang agak jauh dari bantang tersebut dan mulai menyusuri gelapnya malam, tetapi Nêk Kinoh tetap tidak ditemukan. Akhirnya, ia pun terbang ke tengah hutan, menuju tempat Nêk Kinoh mencari sayuran yakni, di hutan Bukit Saboh, la mulai memasuki hutan, melihat-lihat situasi yang ada di sana, Meskipun penglihatannya sudah mulai terhalang oleh gelapnya malam, namun itu bukan masalah, Baginya menolong Nêk Kinoh sangatlah penting, Kemudian ia mencoba untuk bertanya dengan burung-burung yang ada di sekitar hutan, tetapi tak ia jumpai satu pun burung-burung di situ, Burung-burung sudah tertidur pulas dan tak satu pun yang keluar dari sarangnya, Lalu ia terbang Iagi ke tempat yang lebih dalam, Di sana, ia mendengar suara burung hantu sedang bernyanyi ria bersama anak-anaknya. la pun bertanya pada burung hantu tersebut. Burung hantu mengatakan bahwa si nenek berada di arah utara tempat ini. Lalu bergegaslah burung itu menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh burung hantu. Udara semakin terasa dingin karena embun malam telah turun. Angin malam Juga bertiup kencang menambah seramnya suasana di tempat itu. Suara burung hantu bersahut-sahutan, ditambah Iagi suara lolongan anjing hutan yang membuat bulu kuduk berdiri. Suasana malam itu sungguh menyeramkan, suara tokek juga bersahutan di atas pohon-pohon tengkawang yang besar seakan-akan berpesta ria menyambut kedatangan Sang Dewi Malam. Walaupun suasana di tempat itu terasa seram dan berbahaya, tetapi burung itu terus saja mengepakkan kedua sayap indahnya untuk mencari Nék Kinoh. Burung itu terus menyusuri gelapnya malam tanpa mengindahkan ancaman berbahaya dari reruntuhan dahan pepohonan yang rapuh tertiup angin malam.Dari kejauhan, terdengar suara burung memanggil Nêk Kinoh,"Kamoé kitàk Nêk? Nêk, o Nêk, kamaé kitôk ampus o..” (Nenek, kemana ya? Nek, oh nenek, kemana pergi nenek?) Burung itu terus memanggil-manggil Nék Kinoh, hingga beberapa binatang malam terbangun dari tidurnya saat mendengar suara yang mengusik telinganya di tengah dinginnya udara malam.Di tempat lain, Nêk Kinoh menggigil kedinginan, Suhu tubuhnya mulai turun dinginnya malam Nêk Kinoh sudah tidak mampu bertahan dengan cuaca dingin yang tidak bersahabat. Ia merasa dirinya hampir mati saja karena sebagian pembuluh darahnya sudah tidak berfungsi. Ucapnya dalam dinginnya malam"Donók, dingin Sidi utôt nylan. Pane-pane aku botok i-sio. O... Jubato, bantúklah gagontok Sidi tubuhkú anyian.”(Ya ampun, dingin sekali tempat ini bisa-bisa saya mati di sini. Oh Jubato, bantulah saya. Tubuhku ini sudah teramat dingin.)Nêk Kinoh berusaha memohon perlindungan kepada Jubato sambil menutupi tubuhnya dengan kain penutup kepala (ca-àkong) agar dapat terhindar Tubuh rentanya yang keriput pembuluh darahnya pun secara Perlahan mulai berhenti perlahan, Nêk Kinoh pun pingsan karena dinginnya malam.Di semak-semak belukar tak jauh dari tempat Nek Kinoh pingsan, muncul seekor kekuningan. Tubuh kijang itu indah dan menyilaukan mata bagi Terangnya cahaya, membuat bibir gua tempat Nek Kinoh pingsan menjadi terang-benderang. Cahanya tubuh kijang itu, membuat Nêk Kinoh hangat kembali. Kijang itu meniupkan nafas ke hidung Nêk Kinoh. Perlahan-lahan, jantung wanita, tua itu kembali berdetak, pembuluh darahnya juga kembali berfungsi. siuman, Saat membuka mata seekor binatang bertanduk indah Kinoh terkejut, ia heran dengan hadapannya, 'tampak scekor kijang menyilaukan mata. Cahaya itu laksana cairan emas dua puluh empat karat yang melebur oleh panasnya api sehingga mengeluarkan cahaya kekuningan.Lalu ucap Nêk Kinoh dengan polosnya pada Kijang itu, "Adanók, Jubato. Ambatók, anyian kówokan Kijok Amas nang dangan nyaritoòt kówo. Améo tang ando i-sio? O, Kijòk Amas, kitòk gék nang nolong akú? Kijòk amas, akú anyian sasat. Akú anók nahuík marago puókkok, bukék akú singajo taamók i-sio boh. Améo agik munuhiók binatang i-sio. Akú i-sio bagagók ampohot, bukék maksut atikú ngarumayaiyók utôtn i-sio ba nàk sigale laok i-sio."(Ya ampun, Jubato. Itukan Kijang Emas yang orang- orang ceritakan. Kenapa kok ada di sini? Wahai Kijang Emas, engkaukah yang telah menolongku? Kijang Emas, aku ini tersesat. Aku tidak tahu jalan untuk pulang ke rumah, dan bukannya saya sengaja masuk ke tempat ini apalagi untuk membunuh binatang-binatang yang ada di sini. Saya hanya mencari sayuran di sini, dan tidak bermaksud untuk merusak hutan serta segala jenis binatang yang ada di sini.)Tiba-tiba Kijang Emas itu menjawab Nék Kinoh, "Ó.. Nêk tuho, ngaméo payo kitòk dah maàm masih nyarohík útôt anyian? Útôt anyian barampúk Nêk ó, manyak awo pàmo i-sio nang biso nyasatòt kitők." (Wahai nenek tua, kenapa nenek sudah malam begini masih menyusuri hutan ini? Hutan ini angker Nek, ada banyak makhluk halus di sini yang bisa menyesatkan nenek.)Nêk Kinoh keheranan, lalu bertanya,"Deh, améo kitók pané bakato ha? Kitôk anyian améo boh sabanare?" (Waduh, Kok kamu bisa berbicara? Kamu ini sebenarnya siapa?)Lalu jawab kijang itu, “Aku anyian taino, tapi i-Jubato angit ngutuk, Nek Oo”“(Aku ini manusia, Nek Namun terkena kutukan Jubato langit.)Mendengar hal itu Nék Kinoh teringat dengan nasib yang dialami Oleh burung Yang ia temukan saat akan berangkat ke hutan Bukit Saboh. Cerita Yang dialami Oleh Kijang Emas dengan Burung itu memiliki kemiripan. Kemudian Nék Kinoh menceritakan peristiwa yang telah ia alami kepada Kijang Emas itu, termasuk saat menemukan seekor Burung ketika hendak berangkat.Lalu kijang itu pun berkata "Kamaé burük köwo, Nék?" (Dimana burung itu, Nek?)Jawab Nék Kinoh, Oo ado ka bantangku. Aku nabanan iyo puok." (Oh„ Dia ada di rumahku. Aku membawanya pulang) Lama mereka bercerita dibibir gua itu, Nék Kinoh yang tadinya lemas dan tak bisa bergerak tiba-tiba pulih kembali. Sendi-sendi kakinya dapat bergerak kembali, Nék Kinoh merasa lebih enteng saat bergerak. Setelah dirasa telah segar kembali, lalu Nék Kinoh mengajak Kijang itu untuk pulang bersamanya ke bantang. Nék Kinoh berjalan di depan sambil diikuti Oleh Kijang Emas. Ketika melangkah pada jarak beberapa meter, tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar yang dapat memecahkap gendang telinga."Duar„.." bunyi suara gemuruh disertai tanah runtuh dan batu-batu Yang jatuh bergelimpangan, Tempat yang baru saja mereka tinggalkan, tiba-tiba longsor."Donók, améo kówo nang babunyi? adanók, tonohrontok" ucap Nek Kinoh. (Ya ampun, apa itu yang bersuara? Ya ampun, ada tanah longsor.)Sahut Kijang Emas,"Auk Nêk óo. Jék nang dirík ganceh-ganceh dari, tingoót tampat anyian,"(Benar Nek. Ayo Nek kita bergegas lari dari sini, tinggalkan tempat ini)Tiba-tiba tanah yang mereka pijak pun mulai bergerak. Pohon-pohon tumbang dan berpatahan. Buah kelapa jatuh bergelimpangan, batu-batu besar mengelinding, bergerak dari puncak gunung (oncòk bukit) melewati jurang menuju lembah datar. Tiba-tiba keluar seekor ular besar (nabo) berwarna kuning dari dalam tanah. Ular besar (nobo) itulah yang menggoyang- goyangkan seluruh tanah di sekitar hutan itu. Melihat hal itu, Nék Kinoh sangat ketakutan. Namun, Kijang itu tetap berusaha untuk melindungi dan menemani Nek Kinoh agar tidak dimangsa oleh ular tersebut. Ucap Kijang Emas,"Nêk, kitok ta-apík ekókkú, boh. Dirík mók batalàmók-ók gancang-gancang."(Nek, Nenek pegang ekor saya ya. Kita akan berlari kencang.)Dengan sekuat tenaga, Kijang Emas itu berusaha membawa Nêk Kinoh keluar dari hutan itu. Kijang Emas tidak mau jika Nek Kinoh menjadi mangsa berikutnya, setelah 100 tahun masa bertapa ular itu selesai. Maklumlah, setelah 100 tahun bertapa dan berpuasa, ular besar tersebut kelaparan. la mencari mangsa untuk mengisi perutnya yang kosong. Nek Kinoh dan Kijang Emas terus berlari, tetapi tiba- tiba dari gelapnya malam muncul seekor burung. Burung tersebut memancarkan cahaya merah, yang menyambar kepala ular besar tersebut. Ular besar (nabo) itu tampak menggeliat kesakitan. Kedua bola matanya yang merah disembur nyala api yang keluar dari mulut burung itu. Ketika ular itu lengah, secepat kilat burung itu langsug mematuk kepala ular hingga remuk. Burung tu mencengkram tubuh ular tersebut dengan kedua cakarnya, dan membuang ular tersebut ke jurang yang dalam. Lalu, burung itu terbang ke puncak gunung dan menggelindingkan sebongkah batu besar berbentuk persegi. Batu tersebut menggelinding ke arah ular besar yang jahat dan menimpa tubuh ular tersebut hingga menyatu dengan bumi. Setelah keadaan terasa aman, burung itu pun menyambangi Nêk Kinoh dan Kijang Emas. Tatkala burung itu mendekat, Nek Kinoh terkejut saat melihat burung tersebut. Ternyata burung itu adalah burung yang ia jumpai saat hendak pergi ke hutan. Lalu ucap burung,"Ó Nêk. Kitòk anók meo-meokan?"(Oh, Nek. Nenek baik-baik sajakan?)Sahut Nêk Kinoh,"Auk, akú anók meo-meo. Sukurlah kau atók nuukngik kami. Mun kaú nók anceh atók nuukngik kami, pastilah kami dah i-nabo kowo makotnik. Kami dah barusoho dari. Kami bagelèh samaaman ka dóp utôtn nyian ngagók marago sák puókkók. Tapi boh nók namu. Basukur sidi ka Jubato, ka ando atók nang nuukngik kami i-sio.”(Saya baik-baik saja, bersyukurlah kamu datang menolong kami. Seandainya kamu tidak cepat datang membantu, tentulah kami telah dimangsa oleh ular besar Itu. Kami telah berusaha untuk lari. Semalaman kami berlarian di tengah hutan ini mencari jalan untuk pulang ke rumah. Puji syukur kepada Jubato, kamu bisa datang tepat waktu untuk menolong kami di sini.)Saat melihat Nêk Kinoh bersama Kijang Emas, burung Itu merasa heran. Namun, sebelum ia lebih lanjut menanyakan hal tersebut, Nek Kinoh langsung menjelaskan siapa sebenarnya Kijang Emas itu yang tidak lain adalah suami dari jelmaan burung itu. Lalu ucap Kijang Emas pada Burung itu,"Akú dah nangar samué-e dari Nêk Kinoh. ló dah matakik ka akú, kau ado ka bantang ngé. lo ugók dah manyák nyuritoôt koú ka akú. Rupaé kau anyian saamikotku. Sukurlah kau ganceh atók nuukik kami, jadi kamí anók i-uar kowo toôt, sampe akiré dirik biso batamu agík i-sio."(Saya telah mendengar semuanya dari Nêk Kinoh. Dia sudah memberitahuku bahwa kamu ada di rumahnya. Dia juga telah banyak bercerita tentang dirimu padaku, dan ternyata kau adalah istriku. Syukurlah kamu cepat datang sehingga kami tidak menjadi mangsa ular besar itu hingga akhirnya kita bisa bersua kembali di sini).Sungguh, malam itu menjadi malam istimewa bagi Kijang Emas dan Burung. Saat yang telah dinanti sejak ratusan tahun, terkabulkan atas kehendak Jubato Yang Berkuasa. Mereka berdua dipertemukan di tengah hutan bersama manusia tua bernama Nêk Kinoh. Malam pun berlalu begitu cepat, kemudian mereka pulang ke bantang Nék Kinoh. Di sana, mereka saling bercerita dan bersenda gurau bersama, walau wujud mereka berdua masih belum sempurna seperti manusia, masih berupa kijang dan burung. Walau begitu, mereka semua tetap tertawa dan bahagia.Malam itu pun tiba, tatkala malam ketiga belas menghampiri kedua makhluk Tuhan itu, sang rembulan di langit bercahaya terang benderang. Cahaya rembulan menebarkan pesonanya di atas pondok Nek Kinoh. Tiba- tiba terdengar suara entah dari mana asalnya,"Ó...... Kijók Amas ngan Burukng Rué, Kaniòk waktué kitòk puôk ka asal kitòk agík, baruboh sásuai ujúd kitòk samulo, jadi taino tapi kitok harus ampus ka subayotn karano kitok dah bamatiatník. I-maé kitok atok, i-kówolah kitòk puôk ka asal, i-maé kitok imajawat, i-kówolah kitòk puôk. Puôk, puôk, puôk nang ka Subayotn. Binuo anyian bukék tampat kitok agík."(Wahai Kijang Emas dan Burung Ruai, sekarang waktunya kalian kembali lagi ke khayangan. Berubahlah sesuai wujud kalian semula menjadi manusia tetapi kalian harus pergi ke surga karena kalian telah meninggal dunia. Di mana kalian datang, dari situlah kalian berasal, di mana kalian diciptakan dari situlah kalian akan kembali. Pulang, pulang, pulanglah ke surga. Tempat ini bukan tempat kalian lagi.)Suara itu mengajak Sang Kijang Emas dan Burung untuk kembali ke asal mereka, ke alam subayotn.Tubuh mereka pun seketika berubah menjadi manusia setengah Jubato. Tampak seorang laki-laki berwajah tampan dan bercahaya dengan pakaian yang indah, sedangkan makhluk yang lain berubah menjadi seorang wanita cantik berambut Indah dengan pakaian dan perhiasan di tubuh Indahnya. Hal yang aneh, mereka bisa terbang (tarabok) walau tidak memiliki sayap (seap).Sebelum keduanya pergi ke subayotn, laki-laki Itu berpesan pada Nêk Kinoh supaya menjaga binatang serta tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan. Selain itu, taino (manusia) harus menjaga sikap dan tutur bahasa apabila masuk ke hutan tersebut. Apabila hutan tersebut dirusak akan datang bencana besar yang akan menimpa kampung Itu. Jika adab kesopanan dilanggar akan timbul wabah penyakit kutukan yang akan sirna pada keturunan ketujuh. Kemudian, laki-laki itu memberi sebongkah batu berwarna hitam pada Nêk Kinoh. Batu itu diberikan sebagai tanda persahabatan manusia (taino) dan kijang (kijók), serta sebagai bentuk ucapan terima kasih.Setelah beberapa saat, tiba-tiba batu tersebut berubah menjadi bongkahan emas. Melihat hal itu, Nék Kinoh terkejut. la pun bermaksud mengembalikannya karena menganggap pemberian tersebut sangat berlebihan dan ia menolong dengan ikhlas. Namun, keduanya tetap memohon agar Nêk Kinoh menerima pemberian tersebut sebagai tanda persahabatan yang abadi.Akhirnya, Kedua insan itu pun pergi menuju subayotn dengan perasaan bahagia. Keduanya takkan terpisah lagi, dan akan selalu bahagia walaupun mereka tidak lagi menjadi manusia seperti awal kehidupan mereka. Tak ada lagi kesedihan dan penderitaan di antara keduanya. Kedua telah abadi menjadi penghuni subayotn sedangkan Nek kinoh harus berjuang dengan waktu untuk menyelesaikan sisa hidupnya.Kini Nék Kinoh hidup sendiri lagi, di rumah sendiri, ke ladang pun sendiri. Semua aktivitas harus dikerjakan sendiri, tanpa ada tawa canda dari Burung dan Kijang Emas. Di sisa hidupnya, Nêk Kinoh tetap akan mengenang peristiwa yang telah dialami.Bongkahan emas milik Nék Kinoh tetap tersimpan hingga akhir hayatnya di hutan itu. Kini, bongkahan emas milik Nek Kinoh tidak diketahui keberadaannya. Menurut Informasi dari warga setempat, bongkahan emas itu telah berubah menjadi anak Kijang Emas. Kijang Emas tersebut menjadi barang buruan oleh orang-orang yang tamak, terutama pemburu harta karun. Anak Kijang Emas itu diperkirakan bersemayam di atas puncak Bukit Saboh, dan oleh masyarakat setempat menyebut kijang itu sebagai Kijók Jubato yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang yang tulus hatinya.SELESAIPesan MoralDari cerita yang berjudul Nek Kinoh Ngan Kijek Amas, dapat diambil pesan moral, yaitu:manusia harus giat bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnyasetiap pekerjaan yang dilakukan tidak lepas dari berbagai tantangan, dan oleh sebab itu kerjakanlah dengan hati.yang tulusmenolong sesama merupakan suatu kewajiban dan perbuatan mulia yang yang dapat dilakukan oleh setiap orangpergunakanlah waktu dengan bijak karena waktu yang telah terbuang tidak akan kembalisetiap makhluk yang berasal dari Tuhan, suatu saat pasti akan dipanggil untuk kembali ke asalnya dan mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di duniamanusia harus bersyukur atas berkat dan anugerah yang telah diberikan oleh Tuhansetiap jalan kehidupan manusia telah digariskan- Nya, oleh karena itu perbuatan baik akan menentukan masing-masing nasib seseorangpeliharalah lingkungan alam selama masih ada waktu untuk dapat menjaga dan memeliharanyaharta dunia bukanlah sesuatu yang abadi, oleh karena itu, carilah harta yang berasal dari Tuhan; dan berilah penghormatan untuk orang-orang yang telah berjasa dalam hidup kita.Nilal Pendidikan KarakterDari cerita yang berjudul Nek Kinoh Ngan Kijak Amas, nilai-nilai pendidikan karakter meliputi: nilal kasih sayang, rasa kasih sayang, rela berkorban, kejujuran, kepedulian, kerajinan, keingintahuan, terbuka, inisiatif, cermat, tepat waktu, tahu berterima kasih, keberanian, antisipatif, tabah, kesetiaan, kesediaan, kritis, perhatian, menghormati, disiplin, takwa, ketulusan hati, mandiri, pengambilan risiko, kecerdasan/panjang akal, reflektif, integritas, analitis, ulet, menghargai waktu, lugas, kukuh hati, pengabdian, empati, bertanggungjawab, peduli lingkungan, ketaatan, cinta damai, pemurah.Dari beberapa nilai pendidikan karakter di atas diharapkan dapat digunakan dalam upaya penanaman, pembinaan, dan pengembangan pendidikan karakter pada generasi muda, terutama bagi peserta didik di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari di rumah dan lingkungan masyarakat.Nama Penulis: HendrasiusAsal Sekolah : SD Negeri 13 SingkawangNarasumber : Bapak Bahari bin Loson bin Nampo (Alm.)
Baca
Ucik Karamat
Di sebuah Binuo, berbatasan antara bukit Padagi dan Saboh ada scbuah keluarga, Keluarga itu hanya terdiri dari seorang nenek dan seorang cucunya yang sudah menjadi yatim piatu sejak kecil. Meskipun tubuh sang nenek sudah renta, bukan alasan baginya untuk bermalas-malasan. Setiap hari sang nenek ditemani cucunya menyusuri jalan setapak menuju umo (ladang). Di tengah umo saat menjelang senja, selalu muncul seekor hewan liar. Hewan itu berekor panjang dan berbulu lebat. Bulunya indah menyerupai bulu macan. Mereka menyebutnya ucik ulot (kucing hutan). Ucik utot selalu muncul tiba-tiba dari atas pohon. Kadang seperti sengaja mengejutkan sang nenek dan seperti mengajaknya bercanda. Jarak antara bantang dan umo sangat jauh, hal itu terjadi karena hutan-hutan yang tidak jauh dari bantang sudah dibuka untuk ba-umo (berladang) oleh masyarakat lainnya, Oleh karena itu tidak ada pilihan buat sang nenek untuk membuka lahan di hutan yang belum bertuan, Sang nenek dan cucunya sering bermalam di umo agar tidak menyita waktu. Selama bermalam di umo sang nenek memperhatikan tingkah laku di licik utot, ternyata itu adalalı seekor kucing yang bersahabat. Ucik utot, itu selalu mengitari tanaman padi. Semua hewan pengerat batang padi motot (padi gunung) ditangkapnya. Demikian juga dengan binatang lain, seperti babi hutan dan scbagainya. Ekosistem di tenıpat itu sangat seimbang. Hingga tiba masa panen, ucik utot selalu setia membantu sang nenek menjaga tanaman padi dan menghalau hama perusak tanaman padi. Usai panen sang nenek kembali ke bantang, ucik ulot ternyata mengikuti mereka hingga bantang dan tinggal bersama mereka. Kini hewan liar itu menjadi hewan kesayangan mereka. Suatu hari ucik utot menghilang. Sang nenek mencari kesana kemari menyusuri tempat-tempat dan semak belukar. Sampailah sang nenek disuatu tempat, di mana sekelompok pemuda sedang berpesta rusa panggang. Terdengar sekelompok pemuda menyebut seekor kucing sambil terus tertawa.Tanang ucik kode, dah kunabakot ka doop aik.” (Lihatlah kucing itü sudalı kulempar ke dalanı air)"Aku gaik lo ngicok laok dirik ha.. ha.. ha.” (Aku takut dia mencuri daging kita ha.. ha.. ha). Para pemuda itu tidak menyadari bahwa pembicaraan mereka ada yang mendengar. Dug! jantung sang nenek berdegup lebih kencang. la khawatir tentang keberadaan hewan kesayangannya.Pandangan nenek mengitari sekeliling tempat itu. Samar-samar terdengar suara. "meong... meong...meong." la mencari sumber suara itu. Pandangannya tertuju kearah telaga. Betapa sedihnya sang nenek. la melihat hewan kesayangannya basah kuyup di dalam air sedang bersusah payah mencari pegangan untuk naik ke atas. Sang nenek berlari dan mengambil hewan kesayangannya. Dipeluknya hewan itu. Air matanya berlinang. la begitu sedih melihat hewan itu menggigil. "Meong," terdengar suaranya seperti minta perlindungan.Sekumpulan pemuda itu menyadari kehadiran sang nenek. Seketika tawa mereka terhenti. Namun kembali mereka bersuara."Oo, Nek Ngameo ‘o’k nolong ucik kowo. Muang-muang ari ajók. Io kahe jukut nang anok baguno.”(Oo, Nek, Untuk apa nenek menolong kucing itu. Buang-buang waktu, Dia hanya sebuah barang yang tidak berguna),Kemudian pemuda lain menimpalinya,"Mukin angko ucik karamat nek, ha ha. "(mungkin itu kucing keramat nenek, ha… ha).“Mun angko ucik karamat ngameo io anok pane naik pas diri nabak nyo ‘o, ha… ha… ha.”(jika itu kucing keramat kenapa dia tidak bisa naik waktu kita melemparnya, ha.. ha.. ha). Hati sang nenek terasa teriris mendengar semua perkataan pemuda-pemuda itu. la diam seribu bahasa, "Biarlah Jubato yang nıengadili mereka.” Bisiknya. la berusaha menjauhi mereka.Selang waktu yang tidak lama tiba-tiba terdengar suara gemuruh angin dari atas bukit. Gludug, gludug, sraak, sraakk! beberapa bongkah batu raksasa seolah berkejar-kejaran menuju ke bawah. Sang nenek berusaha menghindar. la khawatir bongkahan batu-batu raksasa itü mengenainya. Sungguh ajaib batu itu terhenti disekitar pemuda-pemuda itu. Salah satu batu yang paling besar menimpa pemuda-pemuda itu. Tanpa terdengar teriakan dan suara sedikitpun. Pemuda-pemuda itü lenyap tertimpa bongkahan batu raksasa itu. Alam kembali tenang. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Sang nenck berjalan ke arah bongkahan batu itu dengan hati-hati. Sungguh aneh dan sungguh ajaib. Sang nenck heran sekali. Api, rusa panggang dan segala benda yang dimiliki pemuda-pemuda itu turut lenyap tak berbekas. Oh, Jubato, ampuni mereka lindungi kami semua." la mendekap erat hewan kcsayangannya. Kemudian bergegas pulang ke bantang.Sesampainya di bantang ia memanggil cucunya. Sang cucu menyambuat dengan gembira.“Oo, Nek kamae kitok namu io?” tanya sang cucu.(Oh, Nek, dimana nenek menemukannya)."Ka baroh bukit saboh," ujar Nenek.(Di lereng bukit Saboh) Kemudian ia menceritakan peristiwa yang dialaminya di tempat ia menemukan kucing hutan itu. Sang Nenek dan cucunya yakin bahwa hewan yang bersama mereka selama ini bukan sekedar kucing liar tapi hewan itu merupakan ucik karamat (kucing keramat). Mereka memelihara kucing itu dengan baik. Hingga saat ini masyarakat di sekitar bukit Saboh dan Padagi tidak pernah mengganggu kucing. Mereka selalu menyayangi kucing dan memeliharanya dengan baik.SELESAI DITUTURKAN OLEII:Nek Amuk bin Usur cucu Nek Nyabukng.NILAI PENDIDIKAN KARAKTERDari cerita yang berjudul ucik Karamat terdapat beberapa nilai pendidikan karakter yang dapat diajarkan dan digunakan dalam pembinaan dan pengembangan pendidlkan karakter pada generasi muda saat ini. Nilai pendidikan karakter yang terdapat pada cerita di atas adalah Disiplin, kerja keras, sikap saleh, iman dan takwa, rasa sykur. dapat menghormati sang pencipta dan sesama ciptaan Tuhan, kewaspadaan. cekatan, empati, rendah hati, mau berbagi. mandiri, kerajinan, kepedulian, ketaatan, saling menyayangi (kasih sayang). bertanggung jawab, kewaspadaan. keberanian, kehati-hatian, keingintahuan, perhatian. kemanusiaan, inisiatif.PESAN MORALPesan moral dari cerita tersebut adalah:Manusia harus menghargai Sang Pencipta, mengandalkan-Nya dalam setiap berusaha.Manusia harus bekerja dan tidak mudah putus asa agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi.Manusia diajarkan untuk patuh, menghargai, menyayangi dan menaruh rasa hormat kepada orangtua.Manusia harus menjaga adab, adat dan marwah budaya bangsa.Manusia diajarkan untuk selalu rendah hati dan saling menyayangi sesama makhluk ciptaan Tuhan
Baca
Inte Ngan Asu Ako
Gik baharek (konon dahulu kala) ada sebuah bantang tidak jauh dari pesisir pantai bernama Bantang Sadinik. Suatu hari, suasana di bantang itu lengang. Tubuh-tubuh momo terbujur kaku dan tak terurus. Menurut kisah urokng bahare' (orang jaman dulu), momo merupakan tubuh yang sudah meninggal atau rohnya sudah tidak bersemayam di dalam raganya. Di sebuah sudut bilik bantang itu, tampak seorang gadis kecil menangis terisak pilu. Di sampingnya, terbaring seorang wanita yang tak Iain adalah inti’ e (ibunya). Tubuhnya lemah, kurus, dengan wajah yang sangat pucat. Disamping inu 'e, terbujur seorang pria dan dua balita yang tak lain adalah bapo '(ayah) dan adi'e (adiknya). Ketiganya sudah meninggal dunia, mereka mengembuskan nafas terakhir dua hari yang lalu. Mereka pergi ke alam subayotn (alam orang mati), menyusul para penghuni bantang Iain yang telah mendahului.Inle' terus-menerus tersedu di samping ibunya yang kini mulai sulit berbicara."Mak, ganeeh samuh boh. Aku ngaguok tatamo ka doop utot sak nyamuhotok kitok. ‘Inte’ terisak sambil terus menguatkan ibunya.(lbu Iekas sembuh, aku akan mencari obat ke hutan untuk menyembuhkan ibu. Bertahanlah ibu)Butiran bening dan hangat terus membanjiri pipinya yang mungil. Batinnya berkecamuk. Nalarnya belum bisa menerjemahkan dan memahami peristiwa yang menimpa penghuni bantang belakangan ini."Inte', ampuslah dai bantang anyian sanapek kau tasarang awo pamo nang nabanan panyakit anyian nang napek ando tatamoe. " suara sang ibu terdengar terbata-bata.(Inte', pergilah dari bantang ini sebelum kamu terserang roh pembawa penyakit pes, Wabah penyakit ini belum ada obatnya)"Mamak pasli samuh" Inte' berusaha meyakinkan dan menguatkan sang ibu. (Ibu pasti sembuh)"Sttt, ame anok nangar kalo, mamak nang labih nang nahuik samue e. " Jawab sang ibu lirih.(Sttt, jangan membantah anakku, ibu lebih tau apa yang terjadi)"Aku arus ampus kamae mak? " Inte ' merasa bingung. (Kemana aku harus pergi ibu)Kemudian sang ibu berusaha berbisik scmakin lirih namun masih jelas terdengar ditelinga Inte',“lnte….. Kau kamudok nang baik ngan pamarani, tantulah jubato marakatik kau. Ampuslah, tingoot bantang anyian sa napek matoari tarabit. Tunaan ririsot bukit-bukit naun. Nano kau namuok kaluarga barahu i-naun. Dangar boh nasehat umak. Mamak baik, panunggu bantang anyan porok ” Ucap sang ibu lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir.(Inte’.... kamu anak baik dan berani pasti selalu dalam lindungan Jubato, Oleh karena itu pergilah, tinggalkan bantang ini sebelum matahari terbit. Ikuti barisan bukit-bukit, nanti kamu akan menemukan keluarga baru disana. Turutilah nasehat ibu. lbu tidak ingin penghuni bantang kita habis)Inte' tersedu, diambilnya beberapa helai pakaian yang terbuat dari kulit kayu. Pakaian-pakaian itu mulai usang. Perlahan-lahan ditutupinya tubuh kedua orang tuanya dan kedua adiknya. la menuju ke bilik-bilik Iain dan melakukan hal serupa kepada seluruh penghuni bantang Iain. Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk silih berganti tanpa berwujud,“Ampus gi!!, Ampus!! Ganceh ampus!” Mungkin itu suara roh-roh leluhur dan orang-orang yang sudah lebih dulu menuju alam subayotn.(Pergilah!! Pergilah!! Pergi cepaaaaatt!) 'Auk aku pane ganceh ampus". la memohon perlindungan kcpada Jibato dan penghormatan terakhir kepada keluarga serta seluruh penghuni batang. Dengan rada sedih yang mendalam. Ia menuruni tangga keluar dari batang. Kini. Penghuni bantang itu abo’ (habis) Inte’ pun menjauhi bantang itu sesuai amana ibunya dan perintah awo pamo. Setelah kepergiannya, bantang itu pun telah menjadi timawok abo’ (bekas lokasi pemukiman yang penghuninya musnah semua).la berjalan menyusuri rimba dari barisan melanjutkan perjalanannya yang satu ke butit lainnya. Tak seorang pun yang ia jumpai. Inte’ terus melanjutkan perjalannya yang panjang, sesekali ia singkah di bawah air terjun untuk melepas dahaga dan menikmati dedaunan serta buah buahan hutan."Krakkk, kraakkkk, " terdengar suara menghentikan langkahnya. "Wusss," seekor burung tampak hinggap di bawah pohon tidak jauh dari Inte. ' Bulu-bulu burung itu Sangat panjang, terutama pada bagian ekornya, seperti ukuran yang sangat indah. Dulu inu' ngan bapo '(ibu dan ayah) pernah bercerita tentang seekor burung yang digambarkan dengan ciri-ciri seperti yang ada dihadapannya. Mereka menyebutnya Rue (sejenis burung yang hidup di atas tanah). Rue itu masih berada tidak jauh dihadapan Inte’, ekornya bergerak bagai tarian, sungguh sangat indah. Naluri kekanakannya, membuat Inle' ingin mendekati Rue itu. Sesaat, ia lupa dengan segala letih dan duka yang dialami. la berlari tanpa menoleh kekanan dan ke kiri demi menyongsong Rue. Tapi nahas, ia tidak melihat jurang yang ada didepannya. Kaki kirinya terperosok di sisi jurang, sehingga tidak mampu untuk menahan keseimbangan tubuhnya. "Aaaaaa!"terdengar suara Inte’ menggema di setiap sisi jurang hingga belantara. Penghuni udas (hutan rimba) seolah mengetahui peristiwa yang menimpa anak manusia itu. "Sraakkkk, " tubuhnya tersangkut pada dahan sebuah pohon raksasa yang berada di lereng jurang. la melihat ke bawah, ternyata ia belum sampai kedasar jurang yang sangat dalam itu. Inte' berusaha naik keatas, tapi sulit baginya. la pun merasa lelah dan terjebak di sana. Suara kampio (monyet pagi) mengakhiri keheningan kehidupan malam dihutan rimba. Surya pagi membelai halus pucuk-pucuk daun rimba yang tinggi. Tak terasa berhari-hari Inle' terjebak di dahan pohon di lereng jurang itu. Sesekali ia melihat ular berukuran sangat besar dan panjang melintas didasar jurang, tak ada rasa takut dalam hatinya, karena selama ini sudah terbiasa menyatu dengan alam. Sejak ia lahir, kedua orang tuanya telah mengajarkan bahwa ia harus menyerahkan jiwa raganya kepada Jubato. Anak-anak monyet pun kadang datang mendekatinya untuk memberikan buah-buahan hutan. la bersyukur kepada Jubato, hingga saat ini dirinya masih selamat."Rupae panunggu utot anyian baik, mukinlah anak untek angko ngiro aku sabanso ba nyoo pas aku gik enek, padahal aku banso taino. ”gumam Inte.(Ternyata pcnghuni hutan ini bersahabat, mungkinkah anak untuk itu mengira aku sebangsa dengan mereka karena aku masih kecil, padahal aku bangsa taino (manusia).Inte' berdoa memohon pertolongan kepada Jubato. Hingga ia lelah dan terlelap sambil memeluk erat dahan iłu. Dałam lelapnya, samar-samar ia seperti mendengar suara inu ' baponya berbicara. Inte’ asu ako nanok atok nu 'k kau, sabar boh,”(Inte', seekor anjing besarkan datang menolongmu. Sabarlah anakku)Suara iłu menghilang ditelan suara angin rimba. Tiba-tiba terdengar suara binatang. “Grrrrrr, ko.... ko…, ko… "Inte' terkejut dan terbangun, la memandang ke atas, tampak hewan berbulu hitam,"Ko, ko, ko. biso gek kau nolong aku? "Inte' berusaha berkomunikasi dengan suara yang serupa. (Ko…, ko… ko… bisaka kamu menolongku)“Huuuuu, ia menyeru sekali lagi berharap binatang itu dapat menolongnya.“Ko…, ko..., ko..., grrrrr." Tiba-tiba hewan itu lari dan menghilang dari pandangannya. Inte' merasa sedih.Inte' terus berdoa dan memohon kepada Jubato berharap agar hewan itu kembali dan membawa orang untuk menolongnya. "ko..., ko..., ko…,” terdengar kembali suara binatang itu. Binatang itu datang dengan membawa akar kayu di mulutnya. Srakkk, akar kayu itu jatuh tepat didepan Inte', kemudian ia meraihnya dan menariknya. Akar kayu tersebut cukup kokoh. Inte' berusaha naik keatas dengan hati-hati sambil bergelantungan mencari pijakan kanan kiri sambil berpegangan pada akar kayu. Inte ' berhasil naik ke atas, lalu ia memberanikan diri untuk menghampiri binatang yang sedari tadi menunggunya. Inte' membungkukkan tubuhnya. Sepertinya binatang itu cukup bersahabat. la mengucapkan terima kasih kepada binatang itu. Binatang yang kini ada dihadapannya mengingatkan kepada suara yang ia dengar ketika ia sedang terlelap."Terimakasih Astu' ako, maukah kamu menjadi sahabatku?" Kata Inte. Hewan itu mendekati Inte' dan mengelus-eluskan kepalanya dikaki Inte', la mengelus kepala hewan itu dengan penuh kasih sayang. “ko…, ko…, ko…,” Hewan itu berjalan ke arah timur, hilir mudik sambil mengibas-ngibaskan ekornya yang pendek, hanya seukuran jempol jari tangan orang dewasa. “Sepertinya Asu' ako mengajak Inte’ untuk mengikutinya. Inte' beranjak mengikuti hcwan itu. Sesuai dengan suaranya hewan itu ia panggil dengan nama Asu ako. Tidak ada bekas manusia yang menginjakkan kaki di hutan itu. Inte' dan Asu' ako memang berada di udas (hutan rimba). Mereka berjalan mengikuti anor (bekas jalan yang dilalui binatang). Sampailah mereka disebuah bantang, Inte' memberanikan diri mendekati bantang itu. Tampak anak-anak kecil seusianya sedang bermain. Mereka menatap Inte' dan hewan yang dibawanya. Semuanya terkejut dan takut. Asu' ako, asu' ako.” Semua anak kecil itu berteriak menyebut anjing yang bersama Inte (anjing besar, anjing besar).Kemudian mereka berhamburan menghentikan permainannya dan masuk ke bantang. Sepengetahuan mereka, dari cerita-cerita orang, anjing itu sangat liar. Mereka baru pertama kali melihat anjing sebesar itu. Inte' merasa tidak nyaman. Sepertinya kehadirannya mengganggu orang-orang di bantang itu. Inte' mengambil langkah seribu meninggalkan bantang itu. la bingung, ke mana ia harus mencari keluarga baru scsuai pcsan inu'nya. Tersebarlah diseluruh bantang bahwa telah datang seorang gadis kecil bersama seekor asu' ako (anjing besar). Timanguk pun merasa penasaran. Diutuslah beberapa orang yang memiliki bakunto (kemampuan bela diri), untuk mencarinya. Di tengah perjalanan, Utusan Timanguk mendengar suara "ko…, ko…, ko...„ grrrr.” Mereka mendengar suara asur’ ako. Suara anjing itulah yang memudahkan orang-orang utusan Timanguk untuk menemukan Inte'."Ooo kamudok enek, jek puok tunaan kami. Timanguk kami maok batamuok, " Rombongan utusan Timanguk membujuk Inte ' untuk ikut bersama mereka (Gadis kecil, ikutlah bersama kami. Timanguk kami ingin bertemu."Inte ' tak punya pilihan Iain. Tapi ia bimbang dengan keberadaan Asu ' ako sahabat barunya. la pun mengajukan permohonan kepada para utusan Timanguk untuk mengikut sertakan Asu' ako. Mereka pun setuju. Kini mereka menuju ke bantang. Sesampainya di bantang, tampak sudah ramai orang menunggu kedatangan rombongan utusan Timanguk bersama Inle' dan asu' ako. Semua pandangan tertuju kepada Inle' dan asu ako. Timanguk mempersilahkan mereka masuk setelah mereka masuk, Timanguk pun mempuyai asal usul Inte’. Inte’mendangarkan semua pertanyaan yang menimpa keluarga dan seluruh penghuni batang ditempat asalnya Inte ' juga menceritakan semua amanah inu 'ya serta semua yang ia alami selama dalam perjalanan. Semua yang hadir di bantang itu mendengarkan cerita Inte’ dengan seksama. Semua yang hadir ditempat itu merasa terharu dan kagum, tak sadar mereka meneteskan air mata. mereka seakan tidak percaya, bagaimana mungkin seorang gadis kecil begitu tabah dan berani menghadapi bencana dan menempuh perjalanan yang sangat panjang untuk memenuhi amanah orang tuanya."Kasih sidi nanang kau anyiam. Kau memang kamudok nang babakti. Kau anyiam i-milih jubato sak atok isio. Kami repo kau biso ngatok ngik kami ka bantang nian.” kata Timanguk.(Sungguh anak yang berbakti kamu nak, kasihan sekali kamu. Kamu adalalı anak pililıan yang diutus Jubato ke bantaııg ini, kami bangga padamu)Semua keluarga yang ada di bantang itu menginginkan Inte' untuk menjadi bagian dari keluarganya. Demi keadilan mereka pun bermusyawarah. Akhirnya, hasil musyawarah memutuskan bahwa Inte’ ikut pasangan suami istri yang belum dikarunai anak. Kini inte’ hidup bahagia bergama keluarga barunya, perangainya sangat terpuji, dan mencerminkan orang tua dan asal usulnya. la rajin dan cekatan meskipun masih kanak-kanak. Semua orang tua mengharapkan anak-anak mereka Yang perempuan berperangai seperti Inte’.Sejak kehadiran Inte' anjing-anjing hutan banyak yang datang ke bantang itu. Ada yang bertubuh kecil ada yang bertubuh besar. Mereka menjinakan satu persatu dan memeliharanya. Anjing-anjing itu sangat membantu mereka untuk menjaga bantang dan menemani mereka merambah hutan dan harta benda yang mereka miliki. Masyarakat suku dayak Salako Garantukng Sakawokng sangat menyayangi anjing, mereka selalu bersikap tulus dan ramah kepada siapapun. Hingga saat ini, mereka berprinsip "Asu' atok i-tarimo' ibare' makot, kamu' agi Taimo" (Anjing datang pun diterima dan diberi makan, apalagi manusia)SELESAINILAI PENDIDIKAN KARAKTERDari cerita yang berjudul Inte Ngan Asu' Ako, terdapat beberapa nilai pendidikan karakter yang dapat diajarkan dan digunakan dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan karakter pada generasi muda saat ini. Nilai pendidikan karakter Yang terdapat pada cerita di atas adalah: syukur, menghormati sang pcncipta, kewaspadaan, cekatan, empati, rendah hati, mau berbagi, mandiri, kepedulian, ketaatan, saling menyayangi (kasih sayang), rnenghormati, bertanggung jawab, patuh, waspada, keberanian, kehati-hatian, keingintahuan, ulet/gigih, teliti, perhatian, kemanusiaan, inisiatif, suka bermusyawarah.PESAN MORALPesan moral dari cerita tersebut adalah:Manusia harus menghargai Sang Pencipta, dan mengandalkan-Nya dalam setiap berusaha.Manusia diajarkan untuk patuh, menghargai, menyayangi dan menaruh rasa homat kepada orangtua.Manusia harus mencari solusi terhadap masalah yang terjadi, baik secara pribadi maupun bermusyawarah, dan tidak mudah putus asa.Manusia harus berpegang teguh pada amanah dan kebenaran.Manusia harus menjaga adab, adat, marwah keluarga dan budaya bangsa.Manusia harus mengedepankan sikap kerjasama, musyawarah dan bergotong royong dalam kehidupan keluarga maupun bermasyarakat.
Baca
Boro Tawok Sakawonkg
Di sebuah hutan tidak jauh dari muara sungai hiduplah sepasang suami istri. Sang istri sedang mengandung. Suatu hari Sang istri menginginkan sebutir telur buaya. Sang suami terkejut mendengar pemintaan istrinya. Karena orang-orang tua dulunya melarang kita mengganggu telur buaya. Ia ingin menggantikan pemintaan istrinya dengan sebutir telur ayam hutan, namun sang istri tetap menolaknya. Sang suami pergi menyusuri hutan mencari telur burung-burung hutan yang telurnya menyerupai telur buaya. Berhari-hari ia melakukan pencarian namun tak kunjung menuai hasil. Suatu malam ketika seisi hutan sedang tertidur lelap, sang suami gelisah. Akhirnya ia dapat memejamkan matanya. Dalam lelapnya ia bermimpi bertemu seorang kakek berjenggot putih. Kakek berjenggot putih itu berbicara kepada sang suami.“Kembali ke tepi muara sungai, berjalanlah 100 langkah ke arah timur. Di balik semak berawa kamu akan bertemu dengan seekor buaya bcrsama 90 butir telurnya, jangan kamu beritahukan kcpada siapa pun perihal ini sebelum kamu bertemu dengan buaya itu dan mendapatkan telurnya”Setelah berbicara kakek berjcnggot putih dalam mimpi menghilang begitu saja. Keesokan harinya sang suami berpamitan kepada istrinya untuk kembali mencari telur buaya. Ia tidak menceritakan perihal mimpinya. Ia berusaha menuruti semua amanah kakek berjenggot putih itu. Sesampainya ditempat yang ditentukan ia menuju arah yang ditunjukkan oleh kakek berjenggot putih. Perlahan-lahan ia menghitung langkah kaki. Tepat pada hitungan ke-100 tatapannya tajam mengarah kepada benda di depannya. Sang suami sangat terkejut dan menghentikan langkahnya. Ia melihat seekor buaya yang sangat besar terbujur disamping telur-telurnya yang cukup banyak jumlahnya. Sang suami merasa sangat takut. Ia hendak mundur beberapa langkah, tapi ia teringat istrinya yang sedang menantikan telur buaya. Rasa takut menghantui sang Suami, apalagi sorot mata buaya itu sangat tajam dan tertuju ke arahnya. Sang suami tak dapat mengendalikan rasa takutnya, ia segera membalikan tubuhnya dan bemaksud melarikan diri."Tunggu!!.” terdengar suara dari arah buaya.Sang suami terkejut, rasanya tidak percaya. Ia terpaku sambil terus mengamati buaya itu.“Bagaimana mungkin buaya dapat berbicara bahasa manusia?” gumamnya. “Aku tahu maksud kedatanganmu.” Sang buaya kembali berbicara.Sang suami memberanikan diri bicara kepada buaya untuk meminta sebutir telur.“Oh buaya bolehkah aku minta sebutir telur.”“Ambillah, tapi dengan syarat .” jawab sang buaya“Katakanlah apa syaratnya.” jawab sang suami.“Suatu hari jika telur - telurku menetas, kalian jangan pernah mengganggu anak cucu yang naik ke daratan dan ingin melihat manusia dari jarak yang dekat. Jika mereka datang perlakukan mereka layaknya tamu.” Sang suami paham dan menyetujui syarat yang di ajukan sang buaya, ia berjanji akan selalu menepati janjinya. Sesampainya di rumah sang suami memberikan telur buaya, kemudian ia menceritakan semua yang dialami bersama buaya dan menyampaikan segala syarat dan pesan kepada sang istri menerima dengan suka cita. Tibalah masanya, telur buaya itu menetas, jumlah 89 ekor. Jumlahnya sangat banyak. Suatu hari air sungai meluap, tampak anak-anak buaya bermunculan silih berganti di muara sungai hingga mendekati daratan. Orang -orang yang melihatnya tak satu pun mengganggu keberadaan buaya-buaya itu. Bahkan mereka selalu memberi makan buaya-buaya itu. Masyarakat di sekitarnya sudah terbiasa dengan keberadaan buaya yang selalu muncul. Karena mereka yakin bahwa buaya-buaya itu hanya ingin melihat bangsa manusia dari jarak yang sangat dekat.SELESAINILAI PENDIDIKAN KARAKTERDari cerita yang berjudul Boro Tawok Sakawokng, terdapat beberapa nilai pendidikan karakter yang dapat diajarkan dan digunakan dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan karakter pada generasi millenial saat ini. Nilai pendidikan karakter yang terdapat pada cerita di atas adalah:Bertanggung jawab, amanah, sikap saleh, syukur, dapat menghormati sang pencipta dan ciptaanya, kewaspadaan, cekatan, empati, rendah hati, mau berbagi, mandiri, kerajinan, kepedulian, ketaatan, saling menyayangi (kasih sayang), patuh, keberanian, kehati - hatian, keingintahuan, gigih, teliti, perhatian, daya upaya/ usaha, kemanusiaan.PESAN MORALPesan moral dari cerita tersebut adalah:Manusia harus bertanggung jawab, saling mengasihi dan berbagi antar sesama ciptaan Tuhan sebagai wujud rasa syukurManusia harus bersikap jujur, amanah, dan tidak mudah putus asa.Manusia diajarkan untuk patuh, menghargai, menyayangi dan menaruh rasa homat kepada orangtua dan semua ciptaan Tuhan.Manusia harus mencari solusi terhadap masalah Yang terjadi, dan pantang menyerah.Manusia harus menjaga keseimbangan alam dan turut melestarikan lingkungan alam.Manusia harus berpegang teguh pada amanah dan kebenaran.
Baca
Bayukng Ngan Tangkitn
Alam suatu hutan yang lebat, tinggallah sekelompok makhluk, nene-nene bahare’ (leluhur) menyebutnya manusia. Mereka hanya bergaul dengan sesamanya saja, mereka jarang bertemu dengan kelompok makhluk yang lainnya. Kebiasaan mereka sehari-hari menebang pohon-pohon di hutan itu. Bekas pohon-pohon yang ditebang tersebut akan mereka gunakan untuk ba-umo (berladang). Untuk menumbangkan pohon yang berukuran kecil saja, mereka memerlukan waktu berhari-hari, sedangkan untuk pohon-pohon yang besar dibiarkan saja berdiri tegak ditengah ladangnya. Peralatan batu yang mereka miliki belum mampu untuk merobohkan pohon-pohon yang berukuran besar tersebut. Suatu hari manusia-manusia itu pergi ke hutan, seperti biasa mereka akan menebang pohon untuk membuka ladang. Ketika mereka berada di sana, tiba-tiba mereka melihat ada makhluk lain seperti diri mereka. Makhluk-makhluk tersebut mampu merobohkan pohon-pohon besar, hanya dalam waktu yang singkat.Pikir mereka, “Aneh, mereka Pasti bukan manusia, tidak mungkin manusia dapat melakukan pekerjaan secepat itu.” gumam mereka. Mereka keheranan dan berpikir, bahwa hanya hantu saja yang dapat melakukan pekerjaan secepat itu. Pekerjaan yang berat bagi manusia namun sangat ringan buat makhluk-makhluk aneh seperti yang mereka saksikan dengan mata kepala. Di hari yang lain, mereka berangkat lagi ke hutan. Di sana, mereka melihat hasil pekerjaan makhluk aneh tersebut. Hasil pekerjaan yang luar biasa, yang belum pernah mereka lihat dan kerjakan. Ujar mereka,“Ya ampun, rapi sekali hasil kerja makhluk-makhluk itu. Pohon-pohon besar mereka tumbangkan, batu-batu besar juga habis mereka disingkirkan.” Lainnya pun menyahut,“Ya benar sekali, seperti mereka memang bukan manusia sebangsa kita. Sudah tentu, mereka memiliki ilmu yang tinggi melebihi kita. Kita saja yang sudah lama berdiam dihutan ini, belum mampu menebangi semua hutan beserta rawa-rawa yang ada disini”. Mereka semakin dibuat penasaran oleh makhluk-makhluk tersebut. lalu mereka berniat untuk mencari cara agar dapat mengetahui kelebihan yang dimiliki oleh makhluk tersebut, Dengan sangat hati-hati, mereka mengintip para makhluk yang menurut mereka aneh itu bekerja di ladang. Ketika makhluk-makhluk itu selesai berladang, mereka pun pulang ke bantang, namun mereka menyimpan besi dan langkitn-nya di pondok ladang. Setelah makhluk-makhluk pulang, manusia itu pun mendatangi pondok itu dan mengamati alat-alat besi itu dengan seksama, ia merasa tidak puas jika hanya melihat sebentar. Lalu di antara mereka berinisiatif untuk membawa pulang benda-benda tersebut.“Ayo kita mengambil benda-benda ini. Kita mencobanya di ladang kita, siapa tau pekerjaan kita akan secepat mereką juga. Waktu bertanam juga sudah tidak lama lagi, seandainya terlambat bisa-bisa tidak dimakan seperti tahun lalu hingga tidak bisa menikmati padi baru”.Mereka pun pulang ke bantang dengan membawa benda-benda tersebut.Keesokan harinya, manusia-manusia itu menebang pohon-pohon besar menggunakan alat-alat besi milik makhluk-makhluk aneh. Dengan alat-alat besi itu tidak ada lagi pohon-pohon besar yang berdiri di tengah-tengah ladang. Beberapa hari kemudian makhluk-makhluk aneh itu datang ke ladangnya. Mereka heran mendapati orang-orang yang berladang di sebelah ladangnya sudah mampu menebang pohon-pohon di ladangnya dengan waktu yang singkat. Makhluk-makhluk aneh menemui orang-orang itu. Makhluk-makhluk aneh itu mengatakan bahwa mereka, manusia telah mencuri alat-alat besi mereka. Namun, orang itu tidak mengakui itu semua.“Kami tidak mencurinya.” ujar manusia.Jawab Makhluk aneh. “Benarkah kalian tidak mengambilnya. Jikalau begitu ayo kita beradu. siapa yang menang dan siapa yang kalah. Seandainya kalian menang berarti kalian tidak mencuri barang-barang kami. Tapi jika kalian kalah berarti memang kalianlah yang telah mengambilnya semua barang-barang kami yang hilang tersebut.”Lalu jawab manusia.“Baiklah, ayo!”Jawab ,Mahkluk itu lagi,“Ada lagi sarat yang lain, seandainya kami yang menang, kalian harus mengembalikan semua yang telah kalian ambil. Namun jika kami yang kalah maka dengan rela hati kami akan memberikannya kepada kalian”. Mereka sepakat untuk beradu ketahanan untuk bajago (tidak tidur sepanjang malam). Makhluk-makhluk itu berjanji akan memberikan bayukng dan tankitn kepada orang-orang tersebut jika kalah. Namun, jika makhluk-makhluk itu menang. Bayukng (beliung) dan takitn itu akan dikembalikan secara utuh. Mereka pun sepakat dengan perjanjian tersebut. Kemudian kedua belah pihak masing-masing memilih wakilnya satu orang untuk beradu. Mereka memilih duduk di bawah banir sebatang pohon yang besar dan rindang. pertarungan dimulai saat matahari terbenam, Posisi duduk mereka bertolak belakang, yang satu di depan batang dan yang lainnya di belakang batang. Menjelang pagi, manusia mulai mengantuk dan telungkup ke tanah. Makhluk-makhluk itu melihatnya dan mengatakan bahwa manusia sudah mengantuk dan kalah. Meskipun manusia itu mengantuk dan hampir tidur, namun ia masih mendengar suara teman-teman mahkluk itu. Dia mengatakan bahwa dia tidak mengantuk tetapi dia telungkup ketanah hanya mendengarkan suara-suara cacing yang sedang bernyanyi merdu. Tidak lama kemudian manusia itu terantuk pada banir di kedua sisinya karena mengantuk. Tetapi dia tidak mengakuinya bahwa dirinya mengantuk. la mengatakan bahwa pohon besar itu minta kakinya dipukul-pukul (tikopm) karena merasa pegal dan lelah menyaksikan mereka berdua.Hari telah pagi, Matahari bersinar cerah. Makhluk-makhluk itu tertidur lelap, sehingga makhluk itu pun dianggap kalah. Orang-orang itu bersuka ria mendapatkan.Alat kerja yang terbuat dari besi, tapi sayang sebagian besar dari mereka tidak dapat menggunakan peralatan yang terbuat dari besi tersebut. Oleh karenanya makhluk-makhluk itu memutuskan untuk mengajari orang-orang itu bagaimana cara membuat tangkai bayukng (beliung) dan mengikatkan mata beliung itu pada tangkainya. Sejak saat itu manusia yang tak lain adalah kelompok Salako awal, dan makhluk-makhluk itu mulai berhubungan sosial yang erat. Mereka hidup berdampingan dalam satu komunitas.SELESAINILAI PENDIDIKAN KARAKTERDari cerita yang berjudul Bayukng Ngan Tangkitn, terdapat beberapa nilai pendidikan karakter yang dapat diajarkan dan digunakan dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan karakter pada generasi muda saat ini. Nilai pendidikan karakter yang terdapat pada cerita di atas adalah: syukur, kewaspadaan, cekatan, empati, mau berbagi„ kepedulian, saling menolong, menghormati,bertanggung jawab, kehati-hatian, kcingintahuan, ulct/gigih, teliti, perhatian, daya upaya/usaha, kemanusiaan, inisiatif, inovatifiPESAN MORALPesan morał dari cerita tersebut adalah:Manusia diajarkan untuk menghargai, menyayangi dan menaruh rasa hormat kepada sesamanya.Manusia harus mencari solusi terhadap masalah yang terjadi, dan tidak mudah putus asa.Manusia harus berpegang teguh pada kejujuran, amanah dan kebenaran.Manusia harus bekerja sama dan menjalin kerukunan antar sesama makhluk ciptaan Tuhan.Manusia harus mengedepankan musyawarah dałam menyelesaiakn suatu persoalan dałam kehidupan sosial.
Baca
Batu Saboh
Suatu hari di binuo diadakan pesta. Menurut adat dan kcpercayaan setempat, acara tersebut harus dihadiri oleh seluruh warga di kampung. Pesta itu begitu meriah karena keluarga yang menyelenggarakan pesta tersebut adalah orang yang sangat kaya raya dan terpandang di kampung itu. Semua masyarakat di kampung itu diundang untuk hadir dan menikmati hidangan sesuka hatinya. Seluruh masyarakat bersuka ria. Orang tua, muda dan anak-anak semua terlibat dalam acara pesta tersebut.Selain hidangan yang melimpah, pesta itu juga menyuguhi iringan musik. Di saat semua orang hanyut dalam pesta tersebut, tiba-tiba seorang anak kecil masuk di antara tamu-tamu itu. Anak kecil yang tampak asing. Mungkin karena ia jarang bergaul dengan penduduk binuo tersebut, sehingga ia tampak asing. Tapi tak menjadi masalah karena pesta ini memang diperuntukkan untuk seluruh rakyat. Anak kecil itu mcnghampiri salah satu orang yang sedang menikmati hidangan di acara pcsta, la tampak dekil dan kurus.“Aku sangat lapar, bolchkan aku mcminta sepiring nasi?” kata anak ituLalu diambilkanlah si anak kecil sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk yang tersedia. Tampak anak kecil menikmati hidangan tersebut. Setelah iłu ia mengucapkan terima kasih dan pamit untuk pulang.Selang beberapa saat tampak anak kecil yang sama datang dan menghampiri tamu semula.“Aku sangat lapar, bolchkan aku mcminta sepiring nasi?” kata anak ituLalu diambilkanlah si anak kecil sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk yang tersedia. Tampak anak kecil menikmati hidangan tersebut. Setelah itu ia mengucapkan terima kasih dan pamit untuk pulang. Selang beberapa saat ia kembali lagi dan seperti semula ia mendapatkan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk yang tersedia. Seusai makan ia dibekali nasi dan lauk pauk yang cukup banyak untuk dibawa pulang. Maka pulanglah ia. Suasana pesta masih meriah, semua hadirin semakin hanyut dengan suasana pesta tersebut. Tampak anak kecil yang tidak asing lagi datang kembali kc pcsta tersebut. Seperti semula ia pun minta sepiring nasi kepada orang yang sedari tadi memberikan dan melayani permintaannya. Dan ia mendapatkan yang ia minta. Rupanya beberapa orang yang hadir di acara tersebut memperhatikan gerak-gerik anak kecil itu dari awal. Mungkin mereka merasa aneh. Salah seorang menghampiri anak kecil tersebut dan bertanya.“Apakah kamu tidak merasa kenyang dengan makanan sebanyak itu yang kamu makan?”“Tidak, saya tidak merasa kenyang. Makanan ini sangat enak, karena baru pertama kali kami menikmati makanan seenak ini.” jawab anak kecil itu.“Kami? Siapakah kami yang kamu maksud” Orang itu kembali bertanya.“Ya, tadi scmpat membawa pulang scbagian makanan ini dan meberikan kcpada adik dan ibuku. Dan mereka sangat mcnikmati makanan selezat ini " jawab anak kecil itu.Orang tersebut tersenyum sinis. Setelah selesai makan si anak kecil pulang dengan dibekali sebagian makanan oleh orang tersebut. Hari mulai senja, pesta itu semakin meriah. Tampak anak kecil tadi kembali datang dan meminta sepiring makanan. Salah seorang yang sedari tadi memperhatikan dan merasa aneh kembali menghampiri si anak kecil yang sedang menikmati suapan terakhir di piringnya. Orang itu berkata,“Hei anak kecil, sebelum kamu pulang tunggulah di sini. Aku akan membekalimu daging yang sangat enak”.Kemudian orang tersebut tersenyum sinis dan menuju ke belakang. Dan ia kembali dengan membawa sebuah bingkisan. Diberikanlah bingkisan tersebut kepada si anak kecil. Anak kecil itu pun pulang dengan sumringah.“Sungguh baik hati orang itu.” gumamnya.Ia tak sabar untuk memakan bingkisan tadi, di tengah perjalanan anak kecil itu membuka bingkisan dan memakannya. Ia tampak menikmati benda pemberian orang yang ada dalam pesta tadi. Sesampainya di rumah anak kecil itu masih tampak menggigit dan mengunyah benda itu dengan susah payah. Sang ibu merasa heran dan memperhatikan anaknya. Dalam rasa heran dan penasaran, sang ibu mendekati sang anak. Sang ibu memperhatikan dengan seksama. Sang ibu duduk disamping si anak kecil.“Apa yang kamu makan, Nak?” tanya sang ibu.“Ini daging ibu.” jawab asang anak.“Dari mana kamu mendapatkannya?” kembali sang ibu bertanya“Aku mendapatkannya dari salah seorang yang ada di pesta itu.”Sang ibu meraih benda yang sedari tadi dimakan anaknya. Diamatinya benda itu. Alangkah terkejutnya ternyata benda yang sedari tadi dimakan anaknya adalah getah kulit kayu yang menggumpal. Sang ibu sangat marah. Dihempaskannya benda itu keluar.Tega sekali mereka memperlakukan kamu seperti ini nak. İni sebuah penghinaan yang luar biasa. Ibu tidak terima dengan perlakuan mereka terhadapmu. “Oh, Jubato. Aku sama sekali tidak menyangka mereka begitu kejam terhadap kami yang miskin ini!”Sang ibu merasa sedih dan berlinanglah air matanya membanjiri pipinya. Sedih dan marah berbaur menjadi satu. Hati seorang ibu mana yang tidak sedih melihat anaknya dipermainkan dengan hina. Sang ibu tampak hilir mudik mencari sesuatu sambil berseru,” omeeeengggg, omeeeeng, di manakah kamu.” Rupanya Sang ibu mencari kucing kesayangannya. Dan seckor kucing berbulu indah datang menghampirinya. Diraihnya kucing itu. Dielusnya dengan penuh kasih sayang. Tampak ia melampiaskan rasa kesal, marah dan kesedihannya kepada sang kucing. Sang anak memperhatikan ibunya. Ia merasa bersalah, karena kesedihan dan kemarahan sang ibu berawal dari dirinya. Tiba-tiba kucing itu melompat dari pangkuan sang ibuKucing itu menggigit sehelai kulit kayu usang yang tersangkut di dinding. Dibawanya menuju sang ibu, Sang ibu heran. “meooong... meoooonggg" kucing itu terus mengeong seperti menghendaki sesuatu. Seperti paham dengan bahasa hewan itu. Sang ibu membentuk kulit kayu Yang sudah usang itu menyerupai pakaian pada zaman itu, kemudian memakaikannya ke tubuh kucing itu. Lalu sang ibu bergegas menuju ke tengah pesta. Semua orang Yang hadir dipesta itu terkejut. Karena tiba-tiba seorang wanita yang tampak kumal dan berpakaian sangat sederhana datang membawa seekor kucing. Dan hadir di tengah-tengah mereka. Apalagi tak lama hadir seorang anak kecil yang tak asing lagi bagi mereka. Anak kecil itu menyongsong wanita itu sambil berseru, “Ibuuuu”. Rasa terkejut yang dialami orang-orang di acara pesta tersebut berubah menjadi tawa yang sangat riuh. Kini perhatian mereka tertuju kepada seekor kucing berbaju kulit kayu seperti manusia. Semua orang yang hadir tertawa terbahak-bahak melihat kucing berbaju. Hal itu tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Hahahaha…..!!!, suara gelak tawa tak terbendung. Semua terpingkal-pingkal dan tak sedikit Yang tertawa sampai mengeluarkan air mata saking gelinya. Di tengah pesta dan tawa yang hiruk pikuk. Tiba-tiba terdengar guntur dan petir saling menyambar, Angin kencang merobohkan sebagian tenda di pesta itu dan banyak pohon yang bertumbangan. Energi angin scperti badai yang menyapu alam. Hujan turun bagai air terjun yang siap membanjiri alam. “Darrrr!!!” suara petir dan kilatan menghantam satu persatu orang yang sedang tertawa di pesta itu. Tiba-tiba semuanya menjadi diam membisu, tak lagi ada gelak tawa tak ada lagi terdengar suara musik tradisional khas daerah itu. Tak ada lagi gerak tari gemulai bujang dan gadis yang menghibur orang berpesta, semua diam, seiring berhentinya hujan, guntur dan angin badai. Hening, malam pun semakin sunyi. Hanya titik—titik air hujan yang tersisa. Sebuah batu besar yang merupakan kumpulan orang berpesta teronggok tak bertuan. Batu itu terdapat di lereng bukit. Orang menyebutnya batu Saboh.SELESAINILAI PENDIDIKAN KARAKTERDari cerita yang berjudul Batu Saboh, terdapat beberapa nilai pendidikan karakter yang dapat diajarkan dan digunakan dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan karakter pada generasi muda saat ini. Nilai pendidikan karakter yang terdapat pada cerita di atas adalah:Sikap saling menghormati, sikap saleh, iman dan takwa, syukur, dapat menghormati sang kewaspadaan, cekatan, empati, rendah hati, mau berbagi, mandiri, kepedulian, saling menyayangi (kasih sayang), bertanggung jawab, keberanian, kehati-hatian, ulet/gigih, teliti, perhatian, daya upaya/usaha, kemanusiaan, inisiatif, kreatif.PESAN MORALPesan moral dari cerita tersebut adalah:Manusia harus memiliki rasa syukur atas karunia Tuhan yang maha Esa dan selalu bergantung pada-Nya.Manusia diajarkan untuk mau berbagi, menghargai, menyayangi, saling menghormati, menaruh rasa hormat kepada orangtua dan semua ciptaan Tuhan.Manusia harus menjaga keseimbangan alam dan turut melestarikan lingkungan alam.Manusia harus menjaga adab, adat dan marwah budaya bangsa.Manusia diajarkan untuk selalu bersangka baik, tapi disamping itu harus selalu waspada.
Baca
Bariakak
Menurut ceritera nene '-nene (leluhur) kita, kehidupan di alam dahulu ini sangat nyaman. Dalam mencukupi kebutuhan hidupnya saat itu manusia hanya berburu di hutan belantara dan meramu berbagai jenis tumbuhan yang bisa dimakan. Saat itu manusia belum mengenal ba-umo batahutn (berladang jenis padi tahun). Mereka hanya berladang kecil-kecilan di rompo (hutan semak), untuk menanam umbi-umbian, sayuran, sirih dan lain-lain yang bibitnya mereka ambil dari hutan. Ne' Ido (mereka) masih makan kulat (jamur), sagu dari pohon ano (aren), ketela rambat (teo), keladi, daun-daun hutan, buah-buahan dari hutan, daging dari hasil bcrburu didarat, sungai maupun laut. Peralatan mereka pada saat itu terbuat dari bayukug (batu yang diasah tajam). boekng (tonıbak) yang tcrbuat dari pohon nibukng, sumpadoh (sumpit).Pada zaman itu ada scpasang suami istri yang dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat cantik. Mereka memanggilnya Andaro. Dia adalah seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Setiap hari Andaro selalu ikut membantu kedua orang tuanya mengumpulkan bahan makanan dari hutan. Andaro dan kedua orang tuanya selalu menyusuri hutan rimba di lereng gunung untuk berburu dan meramu. Mereka tidak menyadari bahwa salah satu penghuni hutan rimba itü sudah bertahun-tahun mengamati mereka. Hal itu dilakukan penghuni hutan itu sejak Andaro masih kecil, hingga Andaro tumbuh menjadi gadis yang cantik. Penghuni hutan itu berwujud bariakak (ular berkaki empat). Rupanya kecantikan dan kebaikan hati Andaro telah memikat hati bariakak dan makhluk gaib di hutan itu. Keinginan mercka untuk membawa Andaro ke dunianya semakin lama semakin besar. Bariakak berpikir keras unluk mendapatkan Andaro."Apa Yang harus kuperbuat untuk mendapatkan gadis itu? Bagaimana pun aku harus mendapatkan gadis itu!" ucapnya bertekad dałam hati. Pada saat itu lereng gunung merupakan udas (hutan rimba), yang memiliki banyak tanjakan dan batu - batu yang berukuran sangat besar. Di balik bongkahan batu besar itulah, Bariakak selalu mengamati Andaro dan kedua orang tuanya pada saat lewat, untuk mencari rotan dan bahan makanan dihutan. Kadang kala Bariakak melilitkan tubuhnya di sebuah pohon untuk mengamati aktifitas anak manusia di hutan itu. Andaro dan kedua orang tuanya tidak pernah menyadari keberadaan makhluk itu. Di tengah perjalanan, mereka berhenti di bawah air terjun, untuk menyegarkan tubuh. Mereka pun membersihkan tubuh dan menghilangkan rasa lelah. Dipetiknya sehelai daun yang berukuran lebar untuk mengambil air minum, Saat itulah Sang ibu menjerit, melihat ada Barakiak di belakang Andaro. Sang ayah dengan sigap melompat ke arah anak semata wayangnya untuk memberi perlindungan, Andaro penasaran, kemudian ia melihat ke belakang, dan ia sangat terkejut melihat seekor ular besar berkaki empat, Andaro sangat panik berlari kencang ke arah air terjun. "Byuuuurrr, ” Andaro terjatuh di pemandian, di bawah air terjun. Sang Ayah masih menghadapi makhluk itu dengan waspada tidak ada tanda– tanda bahwa makhluk itu akan mengadakan perlawanan. Pandangannya tertuju ke aralı keberadaan Andaro. Sepertinya yang ia tuju satu–satunya hanya Andaro. Sementara sang ibu sibuk memanggil Andaro yang sedari tadi tidak muncul ke permukaan air. Tiba - tiba makhluk itu berbicara.“Hei manusia! Jangan takut, aku menginginkan putrimu. Aku tidak akan nıenyakiti kalian”.Kedua orang tua Andaro saling berpandangan. Mereka sangat heran, karena ternyata makhluk yang ada di hadapannya bisa berbicara seperti manusia. Mereka hanya diam tidak berani bersuara. Terdengar lagi Makhluk itu berbicara.“Serahkanlah anakmu untuk ke alamku. Kami tidak akan menyakitinya. Justru kami akan melindungi kalian dan anak cucu kalian. Tapi jika kalian tidak menurut permintaanku, aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian dari makhluk lain yang sejenisku”. “Apa yang bangsamu lakukan terhadap kami.” Sang ayah memberanikan diri untuk berbicara.“Bangsa kami juga seperti bangsa kalian, ada yang baik dan ada yang jahat. Yang baik akan menolong kalian, dan yang jahat akan mengganggu manusia” Jawab Makhluk itu.Kemudian sang ayah bergerak ke arah pemandian. Ia memanggil-manggil putri tercintanya, ia hendak terjun ke pemandian tersebut. Namun makhluk itu melarangnya.“Percuma kalian membawanya pulang. Karena jiwanya sudah kubawa.” Makhluk itu memberitahukan keadaan Andaro kepada kedua orang tuanya.Kedua orang tua Andaro diam membisu, Mereka seperti dua orang tawanan yang tidak bisa berbuat apa-apa, karena rasa takut dan bingung. Kedua orang tua Andaro berseru memanggil putri satu-satunya. Berulang kali mereka berseru memanggil anaknya, Tapi tak ada jawaban. Andaro raib begitu saja bersama raibnya makhluk itu. Mereka sangat sedih, Di raihnya Ojol (keranjang dayak) yang berisi barang bawaan Andaro, Tiba-tiba kabut putih berasal dari tempat di mana Andaro terjatuh melayang-layang naik ke permukaan air. Benda itu melayang-layang terus ke atas kemudian berhenti di puncak gunung. Bersamaan dengan itu pula Barakiak pun menghilang. Kedua orang tua mencoba menuruni air pemandian. Mencoba mencari tubuh Andaro di setiap sisi dan dasarnya. Hingga menjelang malam kedua orang tua Andaro masih termangu di tepi pemandian. Mereka masih berharap anaknya akan kembali. Hati dan perasaan keduanya dirundung rasa duka yang sangat dalam. Keduanya terus memandang ke arah air tempat di mana anaknya terjatuh, kemudian sekali-kali ke arah puncak gunung. Mereka duduk di atas batu besar, masih berharap keajaiban akan membawa Andaro kembali ke pangkuan mereka. Saking lelahnya mereka tertidur di hutan itu. Keduanya tersadar saat mendengar banyak suara orang hiruk pikuk orang-orang memanggil ayah dan ibu Andaro disertai suara gong bertalu-talu dan lolongan anjing. Dung, dung, dung, Pak Darooooo, mak daroooooo .... Gukk, gukk, gukk. Rupanya para penghuni Bantang menyadari bahwa masih ada dua orang penghuni bantang yang belum pulang hingga jauh malam. Oleh karenanya mereka berinisiatif mencarinya bersama-sama. Keberadaan anjing-anjing yang mereka miliki juga sangat membantu pencarian. Akhirnya para penghuni bantang menemukan kedua orangtua Andaro. Mcreka mengadakan pencarian terhadap tubuh Andaro hingga pagi hari. Mereka sangat senang, kedua orangtua Andaro merasa bersyukur karena akhimya para penghuni bantang yang lain dapat menemukan keberadaannya. Kemudian kedua orangtua Andaro menceritakan peristiwa yang mereka alami. Semua orang menaruh bela sungkawa atas peristiwa yang menimpa Andaro. Siang harinya seluruh penghuni bantang itu berkumpul untuk mengadakan ritual adat di tempat munculnya Bariakak dan raibnya Andaro, di lereng gunung. Usai mengadakan ritual mereka masih terus mencoba menyebar menyusuri setiap tempat di sekitar lereng bukit itu, Karena rasa kasihan dan turut berbelasungkawa yang dalam, kedua orangtua Andaro disuruh beristirahat dan menenangkan diri di tempat semula. Usaha pencarian itu dilakukan hingga sore hari. Menjelang senja, semua penghuni bantang yang berada di tempat itu berkumpul untuk beristirahat, Di saat semuanya beristirahat, tiba-tiba terdengar bunyi dedaunan kering yang terinjak-injak, ”sreekkk, sreeekkk”, Tampak berjalan ke arah puncak gunung. Karena saking takutnya bcbcrapa orang hampir jatuh pingsan. Beberapa saat kcrnudian, tiba-tiba gumpalan kabut tampak melayang turun dari arah puncak gunung. Gumpalan kabut itu berputar-putar di atas mereka, tiba-tiba terdengar suara yang tidak lagi di telinga mereka.“Ayah, ibu, pulanglah. Hari sudah mulai gelap. Jagalah diri kalian baik-baik. Jika merindukan aku, datanglah ke tempat ini. Lihatlah kabut-kabut yang menyelimuti puncak gunung dari tempat ini. Aku ada di antaranya”. Setelah itu kabut itu tampak bergerak perlahan seperti akan menjauh dari mereka. Sang ibu berlari mendekati kabut itu. la menyentuhnya perlahan. Disentuhkannya seluruh jari-jari tangannya pada benda itu. Sejuknya terasa ke seluruh tubuh sang Ibu. Kemudian sang ayah pun menyusul untuk melakukan hal yang sama. Orang-orang yang hadir pun merasa penasaran dan melakukan hal yang serupa. Mereka yakin, bahwa kabut putih itu adalah wujud lain dari Andaro. Mereka sangat yakin bahwa yang ada di hadapannya adalah lain dari Andaro. Tiba-tiba gumpalan kabut itu raib tak berbekas. Kini mereka semakin yakin bahwa Bariakak merupakan penunggu gunung, dan Andaro sudah dibawah ke alam lain untuk turut menjaga puncak gunung dengan wujud awan dan kabut putih. Sebenamya sudah lama mereka mendengar cerita tentang Bariakak (ular besar berkaki empat) yang menguasai hutan dan gunung di lereng-lereng gunung di tempat itu. Tapi baru sekarang mereka yakin tentang keberadaan makhluk itu, setelah melihat langsung.Hingga saat ini banyak orang mempercayai tentang munculnya kabut putih di puncak dan lereng Gunung saat orang membuka ladang berarti pertanda baik. biasanya kabut itu menampakkan diri kepada orang-orang yang masih satu klan dengan dirinya. Sesekali ia menemui orang-orang yang rajin berladang dan berhati mulia.SELESAISUMBER CERITA:Kinah anak Usup cucu NyabukngNILAI PENDIDIKAN KARAKTERDari cerita yang berjudul Bariakak terdapat beberapa nilai pendidikan karakter yang dapat diajarkan dan digunakan dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan karakter pada generasi muda saat ini. Nilai pendidikan karakter yang terdapat pada cerita di atas diantaranya solidaritas, kasih sayang, berbakti pada orang tua, menjaga kebersihan, bergaya hidup sehat, kerja keras, kewaspadaan, cekatan, empati, rendah hati, mau berbagi, menghormati, bertanggung jawab, berani, inisiatif, kreatif dan inovatif.PESAN MORALPesan moral dari cerita tersebut adalah:Manusia harus bekerja agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhiManusia harus Inemupuk rasa solidaritas, kcbcrsamaan dan rasa persatuan antar sesama manusiaManusia diajarkan untuk patuh, menghargai, menyayangi dan menaruh rasa hormat kepada orangtua.Manusia harus mencari solusi terhadap masalah yang terjadi, dan tidak putus asaManusia harus menjaga keseimbangan alam dan turut melestarikan lingkungan alam
Baca
Asal Mula Burung Tinggang
Thang hang Raya merupakan salah satu negeri diwilayah Tampun Roban atau Tampun Juah. Terdapat air yang berasal dari ketinggian pegunungan yang mengalir dan membentuk empat anak sungai seperti sebuah pohon silsilah keluarga. Anak pertama ke arah barat yang disebut Kapuas, anak kedua ke arah timur yang disebut Mahakam, anak ketiga dan keempat ke arah tengah dan selatan yang disebut Barito. Keempat anak sungai tersebut mengemban misi untuk menghidupi alam yang dilalui dan kepungnya. Sebab itulah, maka daratan yang dilalui oleh keempat sungai tersebut disebut KALIMANTAN, yang bermakna "Kali" berarti sungai dan "Monton" berarti besar. Selanjutnya, diturunkanlah manusia dari langit yang ketujuh oleh Ranying Mahatalla Langit atau Tuhan Yang Maha Esa. Manusia ini diturunkan ke dunia dengan wadah emas atau Palangka Bulau yang dihiasi dengan Kalingkang atau kain bersulamkan emas di empat tempat berturut- turut, yaitu: 1. Di Tantan Puruk Pamatuan di hulu Kahayan dan Barito, yaitu di puncak Bukit Pamatuan, yang merupakan suatu dataran tinggi antara hulu sungai Kahayan dan sungai Barito. Atas kehendak Ranying Mahatalla Langit maka diturunkanlah seorang lelaki bernama Antang Bajela Bulau atau Tunggul Garing Janjahunan Laut. 2. Di Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting, Ranying Mahatalla Langit menurunkan lagi Palangka Bulau dan Kalingkang sehingga terciptalah manusia yang bernama Karangkang Ambam Penyang. 3. Di Datah Takasiang Rákaui Sungai Malahui, yaitu di atas sebuah batu granit hitam di hulu sungai Rakaui yang bermuara di sungai Malahui atau yang sekarang disebut sebagai Sungai Melawi di daerah Kalimantan Barat. Ranying Mahatalla Langit menurunkan dua butir telur burung yaitu telur burung Tinggang dan burung Elang. 4. Di Puruk Kambang Tanah Siang Hulu Barito, terciptalah seorang putri bernama Nyai Sikan. Burung Tatu Hyang kemudian terlogatkan menjadi Burung Tinggang atau Burung Enggang. Burung Tinggang, ketika menetas dari telurnya, terbang kesana kemari untuk mencari air kehidupan. Pencarian air kehidupan itu merupakan perintah dari Ranying Mahatalla Langit agar Burung Tinggang dapat menjelma menjadi seorang manusia yang akan mengabdi dan menjaga alam dan kehidupan di bumi. Burung Tinggang terbang menyusuri Sungai Malahui atau Sungai Melawi mengikuti petunjuk dari Ranying Mahatalla Langit. Hingga disuatu wilayah yang tertutupi oleh kabut hitam, Burung Tinggang mendapat petunjuk untuk turun ke wilayah tersebut. Namun Burung Tinggang tidak mampu untuk turun ke wilayah tersebut akibat kabut yang terlalu hitam. Burung Tinggang merasakan sesak dan kesakitan ketika berusaha menembus kabut hitam tersebut. Meski dalam kondisi kesakitan, Burung Tinggang terus berusaha untuk menembus kabut hitam tersebut guna menunaikan perintah Ranying Mahatalla Langit mencari air kehidupan. Hingga akhirnya Burung Tinggang menjadi tidak berdaya, ia kehabisan tenaga dan kepakan sayapnya mulai melemah. Perlahan-lahan tubuh lemahnya mulai terbawa angin dan ia menjadi semakin tidak berdaya. Ketika situasi semakin sulit, dengan kondisi Burung Tinggang semakin lemah dan tidak berdaya, maka Burung Tinggang mendapat petunjuk dari Ranying Mahatalla Langit untuk mengucapkan kata-kata dalam bahasa Sangen atau bahasa Sangiang yaitu "Mukel Hyang". Maka atas kehendak dari Ranying Mahatalla Langit, kabut hitam yang menghalangi, perlahan-lahan memudar tertiup angin dan menghilang. Dan terlihatlah oleh Burung Tinggang sebuah daratan dengan aliran sungai yang airnya berwarna hitam namun dihiasi kelipan cahaya. Kelipan cahaya dari air sungai yang berwarna hitam itu adalah kelipan Intan yang membentang didasar sungai. Pada daratan itu, terlihat pula pancaran cahaya disebuah tempat. Dengan sisa-sisa tenaganya, Burung Tinggang segera turun ke daratan itu dan langsung menuju ke tempat dimana pancaran cahaya tersebut terlihat. Sesampainya ditempat pancaran cahaya itu, terlihatlah oleh Burung Tinggang bahwa pancaran cahaya tersebut adalah sebuah mata air yang bening dan indah. Burung Tinggang segera meminum dan mandi di mata air tersebut. Selepas Burung Tinggang meminum dan mandi di mata air itu, ia merasakan tubuhnya semakin pulih dan kuat. Sakit dan sesak yang dirasakannya menghilang dan tubuhnya yang lemah telah sehat sedia kala. Selanjutnya, Burung Tinggang perlahan-lahan mulai menjelma menjadi seorang laki-laki yang kemudian bernama Litih atau Tiung Layang. Didaratan tersebut, Litih atau Tiung Layang merasakan sangat nyaman dan tentram. Kondisi alamnya yang dingin dan indah dengan pancaran cahaya dari mata air kehidupan membuatnya sangat betah dan tidak ingin meninggalkan tempat tersebut. Litih kemudian melakukan Balampah dan mengabdikan dirinya kepada Ranying Mahatalla Langit untuk menjaga alarg dan kehidupan atau menjadi Jata yang menjaga dunia atas dan alam bawah. Daratan tempat sumber mata air kehidupan tersebut kemudian disebut Mukei Hyang yang kemudian terlogatkan menjadi Moncank atau Mengklang. Dan pada riwayat yang lainnya ada yang mengatakan bahwa Moncank artinya dingin karena kondisi alamnya yang dingin dengan sumber mata air yang tidak pernah kering. Adapun Burung Elang, ketika masih berbentuk sebutir telur, dan ketika diturunkan oleh Ranying Mahatalla Langit di Datah Takasiang Rakaui Sungai Malahui, yaitu disebuah batu granit hitam, maka telur itu menetas. Dari telur yang menetas itu terciptalah seekor burung yang disebut sebagai Sang Hyang yang berarti Penjaga Nenek Moyang. Burung Sang Hyang kemudian terlogatkan menjadi Burung Antang atau Burung Elang. Adapun Burung Tinggang ketika terbang kesana kemari mencari sumber air kehidupan, sempat singgah di Negeri khayangan Atas dan Negeri Khayangan Bawah. Kedua Negeri Khayangan itu tertutupi awan. Di Negeri Khayangan Atas, Burung Tinggang melihat wujud dirinya yang sedang bertahtah diatas sebuah batu granit hitam berhiaskan intan. Burung Tinggang kemudian turun untuk bertemu dengan dirinya sendiri. Negeri Khayangan Atas dalam bahasa Sangen atau Sangiang disebut Mengkah Hyang, yang artinya Singgasana Nenek Moyang atau Negeri Khayangan Atas. Nama Mengkah Hyang kemudian terlogatkan menjadi Mengkayang, atau yang sekarang disebut Bengkayang. Sedangkan di Negeri Khayangan Bawah, Burung Tinggang melihat cermin dirinya yang sedang bertahtah diatas sebuah batu granit hitam berhiaskan intan. Negeri Khayangan Bawah disebut Kenyah Hyang, yang artinya Cermin Nenek Moyang atau Negeri Khayangan Bawah. Kenyah Hyang kemudian terlogatkan menjadi Kenyalang, atau yang sekarang disebut Serawak.Selanjutnya, setelah bertahun lamanya Tiung Layang melakukan Balampah dan mengabdikan diri kepada Ranying Mahatalla Langit di Tanah Mengkiang, maka terbitlah rasa kerinduan yang amat sangat dalam diri Tiung Layang untuk berjumpa langsung kepada Ranying Mahatalla Langit. Rasa rindu itu sangat bergejolak, sehingga Tiung Layang selalu mengucapkan kata-kata pujian dan sanjungan dengan ucapan, "Diing' D'oo' Hyaa Kaiinangaxaii zaa'oona' rhiinayith", yang artinya "Langit dan Bumi Keduanya, Tuhan Yang Maha Permulaan dan Maha Berkuasa Menciptakan Kehidupan". Setelah sekian lama selalu memuji dan menyanjung Ranying Mahatalla Langit, akhirnya terbitlah petunjuk bahwa Ranying Mahatalla Langit mengetahui rasa rindu Tiung Layang yang ingin bertemu langsung dengan-Nya. Maka Ranying Mahatalla Langit memberi petunjuk kepada Tiung Layang untuk meminum dan merendam tubuhnya ke dalam sumber air kehidupan.Setelah mendapatkan petunjuk dari Ranying Mahatalla Langit, Tiung Layang segera meminum dan merendam tubuhnya dalam sumber air kehidupan di Tanah Mengkiang. Atas kuasa dari Ranying Mahatalla Langit, maka tubuh Tiung Layang menjelma menjadi pencampuran antara tubuh manusia dengan Tatu Hyang atau Burung Tinggang yang memiliki sayap-sayap emas dengan berbagai intan dan permata yang menghiasi tubuhnya. Selanjutnya Tiung Layang mendapatkan lagi petunjuk dari Ranying Mahatalla Langit untuk melakukan ritual ibadah yang dalam bahasa Sangen atau Sangiang disebut Malah Hyang yang artinya jalan menuju kedamaian. Dalam ritual ibadah Malah Hyang tersebut, Tiung Layang harus melalui tahapan yang disebut "Sandukui Malahui Rakui Ka' Sampai, Rakui Malahui Sandukui Ka' Sampai", yaitu Tiung Layang harus pergi ke puncak paling atas di Sandukui, kemudian Malahui atau berkeliling kemudian turun di Rakui atau tempat permulaan Tiung Layang diturunkan ke muka bumi, kemudian singgah di Mengkah Hyang atau tempat wujud dirinya, singgah di Kenyah Hyang atau tempat cermin dirinya, turun ke Meki Hyang atau tempat sumber air kehidupan di Mengkiang untuk minum dan mandi, kemudian berhenti di tempat perenungan. Setelah mendapatkan lagi petunjuk demikian, Tiung Layang langsung mengepakkan sayapnya untuk melakukan ritual ibadah Malah Hyang. Tiung Layang melakukan ritual ibadah Malah Hyang tersebut sebanyak tujuh kali secara berturut-turut. Sepanjang Tiung Layang melakukan ritual Ibadah Malah Hyang tersebut, Tiung Layang terus menerus mengucapkan kata-kata pujian dan sanjungan kepada Ranying Mahatalla Langit dengan ucapan "Diing' D'oo' Hyaa Kalinangaxaii zaaʼoona' rhiinayith" tanpa henti-hentinya. Setelah tujuh kali Tiung Layang melakukan ritual ibadah Malah Hyang, maka Tiung Layang duduk merenung di Ka' Sampal. Kata-kata pujian dan sanjungan masih terus diucapkannya hingga bertahun-tahun lamanya. Hingga akhirnya terbitlah lagi petunjuk kepada Tiung Layang bahwa ia harus naik ke Puruk Sandukui karena Ranying Mahatalla Langit akan menemuinya ditempat tersebut. Selanjutnya Tiung layang segera naik ke puncak Puruk Sandukui, yaitu sebuah gunung batu yang besar dan tinggi. Sesampainya Tiung Layang di puncak Puruk Sandukui, maka bertemulah Tiung Layang dengan Ranying Mahatalla Langit. Pertemuan itu melepaskan kerinduan yang selama ini telah dipendamnya. Dalam pertemuan itu, Tiung Layang menyampaikan keinginannya untuk naik ke langit ke tujuh, namun Ranying Mahatalla Langit tidak mengijinkannya. Ranying Mahatalla Langit tidak mengijinkannya naik ke langit ketujuh karena Tiung Layang harus menjaga alam atas dan alam bawah di bumi hingga ada yang menggantikannya bertahtah di puncak Puruk Sandukui. Adapun manusia yang dapat menggantikannya untuk bertahtah di puncak Puruk Sandukui adalah manusia yang terlahir dari rahim seorang wanita yang telah meminum dan mandi air kehidupan dari Tanah Mengkiang. Maka menunggulah Tiung Layang selama bertahun-tahun yang tidak terhitung lagi lamanya hingga ada anak manusia yang ditakdirkan Ranying Mahatalla Langit lahir dari rahim seorang wanita yang telah meminum dan mandi sumber air kehidupan dari Tanah Mengkiang. Adapun anak-anak manusia yang tertakdirkan minum dan mandi sumber air kehidupan di Tanah Mengkiang yang kemudian menjadi pewaris Tiung Layang sejak terciptanya bumi hingga sekarang ini untuk menggantikannya bertahtah di puncak Puruk Sandukui yang kemudian dikenal sebagai Panglima Burung adalah Rantanan Pinang, Darahan Tatun Antang, Langit Lumbah, Tambun Baputi, Sangiang Garing Malatar Langit, Antang Patih Pelang, Antang Riak Mihing, Antang Tampurahei, Nyagun Tinggang, Lilang Panjang Kasau Langit, Lilang Nyahu Entai, Lilang Rintih Langit, Tangkurajan Sanglang, Nyumping Tapang, Hatingang Sawang, Hatingang Dohong, Hatingang Riwut, Sambung Maut, Sababaling. Langit, Miharaja Rahadyan Bunu, Miharaja Rahadyan Aban, Miharaja Rahadyan Anum, Miharaja Rahadyan Abal, Miharaja Rahadyan Ma'Anyan dan Miharaja Rahadyan Aju.
Baca
Asal Mula Ba Umo
Dahulu kala bumi dan langit jaraknya hanya sebatas pandang. Menurut cerita nene'-nene' (leluhur), setiap makhluk di permukaan bumi dengan mudah dapat menjangkaunya. Konon ada sebuah tangga yang selalu dapat digunakan untuk naik menuju langit. Di masa itu kehidupan manusia sangat menyatu dengan alam jagad raya ini. Semua manusia dapat berkomunikasi dengan segala makhluk. Disebuah Binuo ada sepasang suami istri Nek Inang bersama suami dan ketiga anaknya. Sang suami sudah lama terbaring sakit, sehingga kesedihan selalu meliputi keluarga tersebut. Lelaki yang tampak lebih tua dari usianya sudah berhari-hari hanya bisa terbaring lemah di bilah bambu. Tubuhnya kian melemah. Lelaki itu selalu tersenyum, ketika ada orang yang datang menjenguknya. Namun senyumnya tak dapat menyembunyikan rasa sakit yang bersarang di tubuhnya. Pagi itu, hujan masih deras, padahal dari semalam belum reda. Sang ayah memanggil kedua anak dan Istrinya. Si Sulung, si Tengah dan si Bungsu, Mereka duduk di samping sang ayah, Mereka tak dapat menyembunyikan rasa kescdihan Yang mendalam. Mereka menatap sang ayah. Rasanya tak ingin kehilangan satu momen pun bersama sang ayah yang tampak sangat lemah. Dan hanya tampak tulang berbalut kulit yang digerogoti oleh penyakit tidak diketahui. Padahal ritual badukun sudah berulangkali dilaksanakan. Bahkan banyak pamane dari binuo lain yang sudah berusaha mengobatinya. Ketiga anaknya menahan rasa sedih yang mendalam.”oo, kamudo, ”ucap sang ayah dengan suara yang tersendat.(Anak-anakku)Ketiga anaknya menatap sang ayah. Mereka tak ingin kehilangan satu huruf pun yang keluar dari mulut sang ayah."Nenek dah nyaru bapo, ” ucap sang ayah lagi.(Nenek dan kakek kalian sudah memanggil ayah)Ketiga anak dan istrinya terisak. Sang ayah berusaha tersenyum namun air matanya tampak berlinang di pipinya. ”Semua ‘e udah di tatapot Jilbato, kasio samak bapo,” Sang ayah tampak mengatur nafas yang kian tersendat. (Semua sudah ditetapkan Sang Jubato, mari mendekatlah kalian kepadaku). Ketiga anaknya semakin mendekat.”Dengar, kitok arus taboh niti marago Taino nyiam, Oo..... kamudo amai' bakalahi, inuk ngu. "Ujar sang ayah perlahan dengan nafas yang seinakin tersendat. (Dengarlah wahai anak dan istriku, tegarlah kalian dalam menjalani kehidupan ini. Anak-anakku kalian harus rukun galah ibu kalian dengan baik)Di suasana keheningan, hanya terdengar suara nafas sang ayah. Sesaat keheningan itu pecah menjadi tangisan pilu. Sang Ayah sudah menuju subayoln (alam orang mati). Isak tangis sang istri beserta ketiga anaknya sangat pilu dan menyayat hati. Suara petir mengggelegar, hujan semakin deras. Kesedihan merebak di hati ketiga anak dan istrinya. Setelah kepergian sang suami, Nek Inang dan ketiga anaknya dirundung kesedihan. Mereka selalu menghibur dirinya dan berusaha melupakan semua duka yang mendera setelah kehilangan sosok pahlawan keluarga. Mereka tidak ingin terus larut di dalamnya."Suatu hari, hari masih terlalu pagi, matahari belum bersinar. Alam masih tampak gelap. Seperti biasanya, sebelum pergi merambah hutan, untuk mengumpulkan bahan makanan, seperti biasanya, Nek Inang selalu menyempatkan diri lereng bukit untuk diri. Setelah selesai, Nek Inang bergegas mengemasi semua barang-barang bawaannya di atas gundukan batu di sisi pohon besar, kemudian beranjak pulang diiringi hembusan angin pagi. Langkah Nek Inang terhenti sesaat, karena tiba-tiba saja, Nek Inang mencium aroma semerbak harum, yang menyeruak ke dalam hidungnya. Nek Inang mencoba mencari sumber aroma harum tersebut, "Wusss, tiba-tiba sesosok wanita belia sudah berdiri di hadapannya. Wanita dengan pakaian indah yang tidak biasa. Nek Inang terperanjat dan ketakutan. la merasa itu adalah mahluk asing yang berasal dari tempat yang jauh. Rasa bingung, takut dan was-was berkecamuk menjadi satu di hati Nek Inang. Keringat dingin bercucuran tanpa ia sadari. Tubuhnya terasa akan membeku. la menggigil sambil memohon keselamatan kepada Sang Jubato."OOO ... Jubato. Lindungi diri. "Nek Inang terus menyebut dan memanggil Jubato memohon keselamatan.(Oh, Jubato Lindungi kami) Nek Inang pasrah dan memberanikan diri untuk mengamati sekujur tubuh wanita itu, Pikirnya."Aneh, ka Ulot macam nian ado andaro sorokng, anok barayuk, munkin ajoio sabangso Jukut?" Lama ia tertegun dengan rasa takut.(Áneh, di hutan seperti ini ada wanita sendirin, tidak ditemani siapapun. Mungkin dia sebangsa hantu) Suasana hening terasa mencekam."Amegaik, o’Nek "suara perempuan langit itu memecah kesunyian. (Jangan takut)"Kau nianantu atowo Manusio, "tanya Nek Inang memberanikan diri (Kamu hantu atau manusia) "Amegaik o’Nek,"suara perempuan langit itu menyadarkan Nek Inang yang terpana. (Jangan takut, Nek)"Aku nyian atok dari angita’ nahuik sanso’ kitok. Aku atok mere kitok bege ajaib. Sanape nenek tarimo, ado pantangan nang anok muih kilok langgar. Dangarlah, tanam bege nyian ka tempatte, kitok piraro, ame nyabok, ame bongko bege nyian baparuopm bapajaji sampe anak cucu kitok. Kitok biso di makotbuahe. Ame boh ngalanggar pantangan pantangan kowo. Mun ngalanggar, buahe jadi baserakan jadi enek-enek sidi. Kitok harus karajo karas, nunguik lamo supayo namu 'an buah kowo. Mun mauk, icoklah. Tanamlah baseket batok." Nek Inang menangguk tanda setuju kemudian menerima pemberian sang bidadari berupa bungkusan yang didalamnya terdapat 3 biji.(Aku datang dari langit. Aku mengetahui kesulitan yang kalian alami. Untuk itu, aku datang ingin memberi biji ajaib. Namun scbclum ncnck tcrima ada pantangan yang tidak boleh dilanggar. Dengarlalı, tanamlah biji ini pada tempnt yang baik, peliharalah dengan baik, jangan dinodai dengan perkataan yang kasar. Biji ini berkembang dan menjadi banyak secara ajaib, hingga anak cucu nenek nanti. Jagalah pantangan itu. Jika melanggar maka biji ini maupun buahnya nanti akan berhamburan menjadi sangat kecil. Apakah nenek setuju? Jika setuju, ambilah. Nenek dapat menanamnya di sekitar bantang. Suatu hari ia tumbuh dan berbuah seperti ini) Kemudian wanita langit itu naik ke angkasa semakin lama semakin menghilang. Hanya lambaian tangannya yang masih terlihat. Semakin lama semakin menghilang di balik awan. Menyadari peristiwa nyata yang barus saja di alami, Nek Inang tak sabar untuk membawa pulang biji pemberian wanita langit, kemııdian ia bergegas pulang ke bantang. Sesampainya di bantang, Nek Inang menyimpan biji-biji itü ke dalam tampayot (tempayan). Pada malam harinya, barulah Nek lnang nıemanggil ketiga anaknya, kemudian menceritakan peristiwa yang baru saja dialami. Keesokan harinya mereka menanam biji-biji itu dengan suka çita. Tidak sulit menanam dan memelihara tanaman itu, Beberapa bulan biji itu tumbuh dengan subur, dan menghasilkan buah yang sama berupa biji raksasa, yang mirip dengan bijinya, akan tetapi ukuran sangat besar. buah itu menyerupai umbi-umbian yang berukuran besar, bentuknya lonjong seperti bola tangan. Nek Inang beserta ketiga anaknya mencoba memetik buah itu. la tidak sabar ingin segera tahu tentang rasa dan khasiatnya, seperti yang dikatakan Oleh sang bidadari. Satu biji buah raksasa itu dapat dikerat menjadi beberapa bagian. Setiap bagian dapat memenuhi kebutuhan makanan keluarga. Oleh karenanya, satu biji raksasa itu dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Kini Nek Inang beserta anak-anaknya memiliki sumber makanan baru.”Umak, kowo rupae makanan ampat ka angita nyaman Sidi rasae.” Kata anak-anak Nek Inang. (lbu, ternyata buah langit enak sekali rasanya)”Auk nak, tapi ame kau poot dirik harus basyukur ka Jubato, sau ingat pasot urok angita panabanan bege nyian. ” Kata Nek Inang.(Iya, tapi jangan lupa Kita harus bersyukur dan selalu ingat pcsan orang langit yang membawa biji ini) Suatu hari Nek Inang memetik buah yang masih tersisa satu di pohonnya. Pohon itu sangat ajaib, setiap kali dipetik, pada esok harinya selalu muncul buah baru lebih banyak. Oleh karena itu, Nek Inang beserta penghuni bantang Iain tidak pernah kekurangan bahan makanan.Dengan suka cita Nek Inang membawa masuk biji raksasa itu dan menuju ke arah depan tungku. Seperti biasa dengan posisi nyarong kokng (jongkok atau duduk di lantai), ia membuat beberapa keratan, si Bungsu membantu mengemas peralatan masak, sementara si Sulung dan si Tengah menyiapkan ranting dan kayu bakar. Kali ini Nek Inang membuat keratan lebih banyak dari biasanya, karena beberapa tamu dari Binuo lain akan berkunjung. Nek Inang tampak serius dan tergesa-gesa membuat keratan biji raksasa itu. Hingga Ia sedikit mengabaikan pertanyaan si Bungsu.“Oo mak, ari nian sangapeo karat kito ' nyuman jukut ko, tanya Si Bungsu. (Oh, ibu hari ini berapa kerat buah itu yang akan kita masak).Sang ibu tidak menjawab hingga beberapa kali sang anak mengulang pertanyaan itu dengan nada suara yang lebih tinggi."Oo, Mak!, ari nian sangapeo karat kito’ nyuman, tiga atau dua!! ” Si bungsu mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali,(Oh, ibu hari ini berapa banyak kita akan masak).Namun sang ibu tidak mendengarnya. Dan si bungsu Yang sedikit temperamental berteriak memanggil sang ibu,“Oooo…… Maaaaaaaakkkkk!!!!,” Teriak si BungsuSaking terkejutnya Nek lnaııg berucap,"Adanok…adanok, udah ku padoh duo ... tiuw udah cukup. (udah ibu bilang dua tiga kerat sudalı cukup).Tanpa sengaja, tangan Nek Inang terkena mata bayukng (beliung) yang tajam. "Krasss,” darah pun bercucuran bersamaan dengan itu pula, tanpa disangka biji raksasa berderai berhamburan memenuhi dapur dan tungku. Biji raksasa itu kini berubah menjadi butiran— butiran kecil. Angin bertiup kencang, terdengan suara gemuruh seperti petir. Padahal tidak sedang hujan. Entah dari mana sumbernya, sayup-sayup terdengar suara memanggil Nek Inang."Nek Inang, kitok udah ngalanggar pantangan kowo. Mulai kandiok bııkolah utot unluk nanam bege nang baserakan, supayo jasi banih dan mayak, supayo kitok biso nyukupi keperluan kitok sampe anak cııcu nano, bare namo bege kowo padi, karena asal mula bege kowo dari angila.(Nek Inang, kalian sudah melanggar pantangan itu. Mulai saat ini bukanlah hutan untuk menanam biji-biji yang berserakan itu, agar menjadi benih dan berkembang biak. Dengan, demikian, kalian dapat memenuhi kebutuhan hingga anak cucu kelak. Berilah nama biji padi, karena asal mula biji itu dari langit) Kemudian suara itu menghilang melewati tingko 'otn (jendela atap). Angin kembali bertiup semilir seperti sedia kala. suara gemuruh telah hilang. Alam kembali tenang. Nek Inang dan si Bungsu saling bertatapan. "Umak, maaf boh. Gara-gara aku nyiam semuae diri jadi jayo. dirik pasti nano susoh payoh nanam bege-bege nyiam, kitok nungguik lamosupayo jadi manyak supayo dirik biso makot jukut kowo.(Oo, ibu maafkan aku ya. gara-gara aku semua jadi begini. Kita akan bersusah payah memungut dan menanam biji-biji itu, kita akan menunggu lama supaya menjadi banyak dan kita bisa memakannya)Nek Inang terdiam sambil memegangi luka di tangannya. Kedua anaknya yang lain segera membereskan barang-barang dan memunguti bulir-bulir padi yang berserakan dan memasukannya ke dalam tempayan."Tahatnik bege-bege nyian bak-baik. Ampagi dirik baumo nanam io.” Nek Inang membuka percakapan.(Simpanlah baik-baik biji-biji padi itu. Beşok kitli akan segera membuka lahan untuk menanam padi itu).Kini mereka berkumpul di serambi. Membicarakan peristiwa yang baru dialami. Nek Inang berpesan kcpada anaknya. jangan membuat marah orang tua, dan harus selalu sabar dalam bekerja. Ketiga anak Nek Inang mengangguk minta maaf kepada ibunya."Dah waktue karajo koat, nano Pun kitok baranak cucu, makae dirik harus nanam samuae’ bege nyiam supayo biso isud lebih manyak. Dirik saling bantu sabayo bayo ba urokg bantang." Kata Nek Inang.(Saatnya kita bekerja keras. Nantinya juga kalian akan beranak cucu jadi kita harus menanam semua biji ini agar dapat berkembang biak menjadi banyak. Kalian harus bergotong royong dengan penghuni bantang lainnya) Beberapa hari kemudian Nek Inang sekeluarga dan penghuni bantang lainnya mengadakan ritual untuk bapadoh (memberitahu) dan memohon ijin dan restu kepada para jubato, awo pamo dan roh-roh lainnya bahwa mereka akan mulai ba-umno. bergotong-royong membuka hutan untuk lahan tempat menanam biji padi. Mereka merawatnya hingga panen tiba dengan diawali ritual sesuai tradisi di tempat itu. Sebagian benih padi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka dan sebagian benih yang berbulir terbaik ditanam kembali. Begitulah seterusnya, setelah panen mereka membuka hutan baru sebagai lahan untuk membuat ladang baru, Lahan bekas ladang lama dihijaukan kembali menanaminya dengan tanaman buah-buahan dan tanaman lain sebagai tanda bahwa lahan itu merupakan bekas garapan mereka. Sesuai tradisi lahan itu menjadi milik si pembuat ladang secara turun temurun, Itulah asal mula suku Dayak Salako Garantuk Sakawokng bercocok tanam padi ladang, yang dikenal dengan istilah Ba-umo.SELESAINILAI PENDIDIKAN KARAKTERDari cerita yang berjudul Asal mulo Ba-Umo, terdapat beberapa nilai pendidikan karakter yang dapat diajarkan dan digunakan dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan karakter pada generasi muda saat ini. Nilai pendidikan karakter yang terdapat pada cerita di atas adalah,’Amanah, berbakti pada orang tua, bergaya hidup sehat, kerja keras, sikap saleh, iman dan takwa, rasa syukur, cekatan, empati, mau berbagi, kerajinan, kepedulian, ketaatan. saling menyayangi (kasih sayang), mcnghormatí, bertanggungiawab, keberanian. keingintahuan, ulet/gigíh, kemanusiaan, kreatif dan inovatif.PESAN MORALPesan moral dari cerita tersebut adalah:Manusia harus menghargai Sang Pencipta, dan mensyukuri karunia Tuhan.Manusia harus bekerjakeras agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi.Manusia diajarkan untuk patuh, menghargai, menyayangi dan menaruh rasa hormat kepada orangtua.Manusia harus menjaga keseimbangan alam dan turut melestarikan lingkungan alam.Manusia harus berpegang teguh pada amanah dan kebenaran.
Baca
Andoro Si Anak Mambang
Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng, dusun Pakunam, kehadiran si anak Mambang sangatlah penting. Hal itu sangat tampak, terutama dalam hal pengobatan nonmedis dan ritual adat badukun. Sejak dahulu, masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng apabila mengalami musibah atau mendapat masalah, maka harus mengadakan ritual badukun. Acara itu dipimpin Oleh seorang pamane yaitu dukun kampung atau orang yang dianggap ahli dalam pengobatan tradisional dan memiliki suprenasi tinggi. Pamane dibantu Oleh tujuh anak mambang. Tersebutlah Andaro ngan tujuh ayuknge (seorang gadis dan tujuh orang temannya), gadis-gadis belia dari pakunam. Ia dan kawan-kawannya selalu mendampingi seorang Pamane, setiap diadakan ritual badukun di tempat itu. Anak mambang berasal dari keluarga si pamane dan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya harus Seorang gadis dianggap suci atau masih perawan di mata manusia, awo pamo (Roh-roh leluhur), Roh-roh lain seta Jubato. Acara ritual badukun biasanya diadakan manakala ada masyarakat yang mcngalami suatu pcnyakit, namun tak kunjung sembuh, akibat tcrkena guna-guna atau sihir jahat. Hal itu dilakukan dalam rangka mengusir roh jahat atau tolak bala. Selain itu, masyarakat juga mengadakan ritual badukun jika salah seorang anggota keluarganya ada yang meninggal dunia. Ritual dilaksanakan setelah tiga hari, dan hari ketujuh setelah meninggal (nyarak). Menurut kepercayaan mereka hingga hari keempat puluh, arwah anggota keluarga yang meninggal masih sering pulang ke bantang atau tempat tinggalnya sewaktu hidup. Pada hari ketujuh, biasanya arwah yang bersangkutan akan membawa teman-temannya dari alam subayotn (dunia orang mati). Oleh karena itu, anggota keluarga yang masih hidup dianjurkan untuk mengadakan ritual nyarak (ritual mengantar roh pulang ke alamnya agar tenang) dalam rangka mengusir roh-roh Iain yang mungkin mengancam keselamatan keluarganya yang masih hidup maupun anggota keluarga Iainnya yang sudah menuju Subayot. Untuk menjauhkan dari ancaman roh-roh jahat yang ikut serta roh atau arwah anggota keluarga yang sudah meninggal maka perlu dibuat acara ritual badukun di hari kctiga maupun hari ketujuh (nyarak) untuk orang yang meninggal. Dalam ritual tersebut pamane (dukun kampung) meminta pihak keluarga yang menadakan ritual agar menyiapkan huis (sesaien) seperti ayatn, babi, pulut, beras putih yang diletakan di dalam apar (nampan bulat), daun sirih. tembakau, korek api, daun nipah, kemenyan, betas kuning, tuak, daun juang, lemang, tumpik, mayang pinang. batang pisang dan nyiur.’ Sebelum memulai acara ritual badukun, segala perlengkapan dan persyaratan harus disiapkan dengan lengkap dan serapi mungkin sesuai permintaan sang Pamane. Sang Pamane ditemani oleh tiga sampai tujuh anak mambang. Semua anak mambang mengelilingi buis (sesajen) dan pohon ancak (benda menyerupai pohon yang terbuat dari batang pisang dan mayang pinang). Sang Pamane memberi arahan kepada anak-anak mambang bahwa ritual akan berlangsung. "Hai anak Mambang, acara akan segera kita mulai. Aku akan pergi ke alam lain. Jika sudah lama aku tak kunjung sadar tolong bernyanyi dan menarilah sambil membacakan mantra-mantra." Seluruh anak Mambang mengangguk tanda mengiyakan. Ritual badukun pun dimulai, tampak Pamane komat-kamit membaca mantra dan sepertinya sang Pamane mulai berada di alam lain. Rasanya sudah lama sekali sang pamane belum juga sadarkan diri, Kali ini lampak pingsan, anak Mambang tampak saling bepandangan, Mereka berpikir mungkin ada yang salah dengan syair, tarian atau mantra yang dibacakan. Mereka berusaha berhati-hati mengulangi mantra, syair dan gerakan tarian. Anak Mambang menari sebaik-baiknya sambil menghamburkan beras kuning. Sesekali salah satu di antara mereka menghamburkan beras banyu (beras putih), ratok-rati (padi yang disangrai) yang lain memberi rokok dan beberapa teguk tuak. Pamane seperti sadar dan tampak komat-kamit sambil memejamkan matanya. la tampak bicara dan menyebutkan pesan dari alam gaib tak kasat mata yang harus ditaati oleh semua orang yang hadir di acara tersebut, terutama bagi anggota keluarga atau masyarakat yang mengadakan ritual badukun. Semua pesan yang terucap dari bibir sang Pamane terbukti secara nyata serta dapat disaksikan oleh semua yang hadir. Pada suatu hari, di acara ritual badukun, sang Pamane berpesan bahwa anak gadis pemilik rumah tidak boleh mandi menjelang malam disungai belakang rumah. Namun, mereka lupa dengan pesan sang pamane. Tak lama beberapa hari sang gadis belia membasuh tubuhnya di sungai kecil di belakang rumahnya, tiba-tiba ia melihat gargasi yaitu sosok hitam besar dan berbulu hitam dengan wajah menyeramkan. Malam harinya sang gadis demam tinggi dan setiap hari mengigau bicara tanpa arah, kemudian diadakan lah ritual badukun. Setelah mengadakan ritual badukun dengan berbagai persyaratan, gadis itu pun sembuh seperti sedia kala, Suatu ketika ada salah satu masyarakat yang bernama Nek Boak kehilangan barang yang sangat berharga. Ia tak tau lagi harus mencari ke mana barang berharga tcrscbut. Maka ia mendatangi Pamane untuk mengadakan ritual badukun agar barangnya dapat ditemukan. Kemudian diadakan lah ritual badukun. Acara ritual badukun itu diadakan di rumah Nek Boak atas permintaan Nek Boak. Sebenarnya acara ritual itu bisa diadakan di rumah Pamane. Ritual badukun pun diadakan di rumah Nek Boak. Seperti biasanya Pamane mengatakan bahwa pencurinya tidak jauh dari tempat tinggal orang yang kehilangan tersebut. Dalam jangka waktu beberapa hari pencuri akan mengembalikan barang curiannya. semua orang yang hadir tidak sabar ingin membuktikan pesan dari sang Pamane. Tidak berapa lama tiba-tiba barang berharga milik Nek Boak terbungkus rapi berada di biliknya. Itulah keajaiban dan kehebatan dari sang Pamane yang terkadang sulit diterima akal sehat. Tapi kepercayaan itu sudah turun temurun diyakini oleh sebagian masyarakat. adat Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Tcrutama di dusun pakunam. Pada saat ritual berlangsung sebagian masyarakat yang hadir bisa menanyakan perihal yang ingin diketahuinya. Misalnya tentang perjodohan, mendeteksi penyakit medis maupun nonmedis, gangguan roh awo pamo dan lain-lain. Keberhasilan dan pamor sang Pamane tak lepas dari jerih payah anak Mambang. Jasa anak Mambang sangat besar dalam pengadaan ritual badukun dalam masyarakat adat Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Oleh karena itu, asal usul Anak Mambang biasanya berasal dari keturunan atau kerabat sang Pamane. Untuk menentukan seseorang menjadi Anak Mambang maka sang Pamane lebih ahli dalam menentukkan dan menobatkan seseorang menjadi anak Mambang secara temurun. Selain berasal dari kerabat atau keturunan sang Pamane, seorang anak yang akan dinobatkan sebagai anak Mambang juga harus seorang yang berperangai baik dan berbudi luhur. Tidak cacat adat (melanggar adat istiadat setempat), Semua itu adalah ketentuan dari roh leluhur maupun Jubato yang selalu terlibat dalam ritual badukun. Karena anak Mambang selain sebagai penari, penyair dan membaca mantra-mantra, peran anak mambang yang utama adalah sebagai penerjcmah bahasa roh kc dalam bahasa manusia. Keahlian, bakat dan kemampuan Andaro nganayuknge sebagai anak Mambang sudah tampak sejak kecil. Diantara mereka, ada yang sudah menampakkan ciri - ciri sebagai anak Mambang sejak dalam kandungan. Tapi ada juga yang baru menampakkan ciri-ciri dan kemampuan maupun bakatnya setelah melewati masa kanak-kanak. Keterampilan menari dan menyanyi, dari semua anak-anak Mambang perlu dilatih. Hal itu dikarenakan, agar pada saat Si anak Mambang terlibat dalam acara ritual badukun, mereka sudah mahir. Dalam melatih dan mengasah kemampuan supranatural anak Mambang tidaklah sulit. Karena mayoritas diantara mereka memang sudah memiliki bakat alami yang diberikan oleh Jubato. Dari hasil kegiatan acara ritual badukun, jika Sang Pamane mengatakan hasilnya sesuai keinginan dan harapan maka Sang pamane akan mengatakannya. Sebaliknya jika Sang Pamane tidak sanggup menyelesaikan masalah yang diharapkan si tuan rumah atau orang yang mengadakan ritual badukun, maka Sang Pamane akan mengatakan dengan jujur dan berterus terang bahwa ia tidak sanggup untuk melakukan ritual tersebut, Jika tetap dipaksakan juga, maka akan menimbulkan celaka baik bagi tuan rumah maupun Sang Pamane sendiri. Contohnya seorang yang sudah meninggal tak mungkin bisa dihidupkan kembali. Kecuali penyebab meninggalnya dikarenakan sengaja dibuat Olch manusia melalui kekuatan roh halus. Kekuatan dan motivasi Pamane dalam ritual badukun juga tergantung kepada anak mambang. Semakin bersemangatnya anak mambang dalam menari dan melantunkan syair, nyanyian maupun mantra, maka semakin kuat dan semakin termotivasi pula sang Pamane dalam mengetahui masalah tuan rumah maupun orang - orang yang hadir untuk ingin mengetahui berbagai hal. Tarian anak mambang sangat indah dan dapat memukau semua orang yang hadir di acara ritual badukun tersebut. Seorang anak mambang biasanya memiliki aura yang berbeda dengan anak-anak Iain seusianya. Karena keelokan dan keindahan tarian anak manlbang, banyak orang yang terpukau dan seolah terhipnotis oleh kepiawaian anak mambang. Oleh karenanya tak jarang seusai acara ritual banyak masyarakat yang ingin dihibur dengan tarian-tarian anak mambang yang elok dan santun. Bahkan ada juga yang memberi hadiah berupa uang, pakaian dan barang-barang berharga. Ada juga sebagian masyarakat yang meminta air lawar (istilah untuk air yang diyakini bertuah) untuk berbagai keperluan sesuai keyakinan terhadap fungsinya. Hingga kini sebagian masyarakat dayak di Binuo Garantukng Sakawokng Andaro si anak Mambang.
Baca
Asal Mula Padi (Kisah Ne'ja'ek Dan Ne'Baruakng Kulup)
Pada mulanya manusia sejati yang tinggal di bumi ini, makanan pokoknya adalah "kulat karakng' yaitu jamur yang tumbuh di pohon karet yang sudah mati. Sedangkan makanan orang di Kayangan adalah nasi. Tokoh cerita yang terkenal bernama Maniamas. Mereka suka berperang dan saling membunuh yang disebut “ngayau”. Prihatin melihat kehidupan manusia yang saling bermusuhan satu sama lain, Ne'Panitah mengutus putranya yang bernama Ne' Ja'ek ke bumi. Ne' Ja'ek bersembunyi di rumput bambu aur ketika ditemukan Oleh Maniamas yang sedang pergi mengayau. Semula Maniamas akan membunuh Ne' Jaek, Tetapi setelah melihat Ne' Ja'ek terjepit tidak berdaya di rumput, mendengar bahwa Ne' Ja'ek mengaku bahwa dirinya tidak mcngetahui siapa orang tuanya, maka Maniamas jatuh kasihan padanya dan tidak jadi membunuh Ne' Ja'ek. Bahkan dibawanya pulang ke rumahnya dan tinggal bersama Maniamas. Karena tingkah lakunya yang halus ditambah lagi dengan postur tubuhnya yang ganteng, adik Maniamas yang bernama Dara Amutn Jatuh Cinta pada Ne' Ja'ek. Maniamas tidak keberatan dan Ne' Ja'ek pun menikah dengan Dara Amutn yang cantik itu dan melahirkan anak-anak yang bernama: Tumbaklasop, Gantang Timah, Garugu' Kase, Tongkor Labatn dan Buruk Batakng. Karena perbedaan temperamen antara Maniamas vang suka ngayau dan Ne' Ja'ek yang lemah lembut, maka lama kelamaan Maniamas kurang suka pada Ne' Jaek. Ia bermaksud membunuh Ne' Ja'ek secara diam – diam. Maka pada suatu hari diajaknya lah Ne' Ja'ek pergi mengayau. Hal ini diketahui oleh Ne' Pangadu ibunya yang masih tinggal di Kayangan bersama Ne' Panitah, ayah Ne' Ja'ek. Untuk mencegah agar Ne' Ja'ek tidak membunuh, sebab pekerjaan membunuh itu adalah dosa, maka Ne' Panitah memerintahkan burung pipit menerbangkan setangkai padi untuk dibawa kepada Ja'ek.Di tengah perjalanan Ne' Ja'ek melihat seekor burung pipit yang terbang di depannya dengan membawa setangkai padi. Maka dikejarnya lah pipit itu hingga tidak terasa sudah begitu jauh berpisah dengan rombongan Maniamas. Setelah melewati lembah dan bukit-bukit, Ne' Ja'ek dan pipit keletihan. Ne' Ja'ek bertanya kepada pipit: “Mengapa engkau mencuri padi ayahku?”Pipit menjawab: "Saya bukan mencuri padi ayahmu melainkan disuruh oleh ayahmu membawa padi ini kepadamu, karena ayahmu tidak ingin kamu menjadi pengayau, Tetapi saya tidak akan memberikannya kepadamu. Padi ini milikku."Maka bertengkarlah Pipit dengan Ne' Ja'ek. Sementara pipit berbicara, lepaslah tangkai padi tadi dari paruhnya dan jatuh ke dalam lobang di sela-sela batu,Saat itu munculah tikus dan bertanya: "Apa yang kalian berdua pertengkarkan?”Ne' Ja'ek menjawab: "ltulah Si Pipit tidak mau memberikan padi kepada saya. Padahal padi itu milik ayahku yang dikirim untukku mclalui pipit.”“Oh….gampang„.." sahut tikus. "Biar aku yang mengambilnya" lanjut tikus.Setelah padi itu diambil oleh tikus dari dalam lobang batu, tikus pun berkilah juga tidak mau memberikan padi itu kepada kepada Ne' Ja'ek. Pipit pun marah kepada Tikus.Dengan bijaksana Ne' Ja'ek memberikan pendapat: "Kalau padi itu kau bawa ke rumahmu, pasti habis kau makan" tunjuknya pada tikus. "Demikian pula kalau padi itu diserahkan padamu, pasti habis juga kau makan" kata Ne' Ja'ek pada pipit.Kalau saya yang membawanya, padi ini akan saya tanam dan menghasilkan buah, maka ia akan berkelanjutan. Jadi kita bisa terus-menerus memakannya" kata Ne' Ja'ek menjelaskan. Pendapat ini diterima oleh pipit dan tikus.Kemudian Ne' Ja'ek memberikan batasan peraturan:"Jika padi ini ditanam terlalu cepat dari musim tanam, maka tikuslah yang mempunyai bagian. Tetapi jika ditanam terlalu lambat dari musimnya, maka tanaman itu adalah bagian pipit. Supaya kita sama-sama mendapat bagian, maka padi ini akan saya tanam pada pertengahan musim, supaya pada awalnya tikus dapat makan, pada pertengahan saya dapat makan dan akhirnya pipit pun dapat makan. Dari cerita ini maka pertengahan musim tanam itu ditetapkan jatuh pada bulan Agustus sampai dengan September dan pada bulan April sampai dengan Mei musim tanam. Di luar bulan itu menanam padi, menurut kepercayaan mereka akan habis dimakan tikus atau pipit.Setelah perundingan dan mencapai kata sepakat, Ne' Ja'ek pun pulang. Sementara itu ia telah mendengar teriakan rombongan Maniamas yang telah pulang dari mengayau. Mereka pulang sambil menari – nari membawa tengkorak. Kecuali Ne' Ja’ek.Sesampai di rumah, orang-orang kampung sudah ramai. Dara Amutn dengan riang menyambut suaminya pula. Tetapi ia sangat kecewa dan marah ketika melihat yang ada di dalam otot suaminya bukan tengkorak, melainkan setangkai "bunga rumput" katanya.Dara Amutn masuk ke dalam bilik. Diambilnya kain sarungnya yang lagi basah, lalu dipukulknnnya ke muka Ne'Ja'ek, sambil mengatakan bahwa Ne' Ja'ek tidak malu tidak membela nama baik keluarga. Lalu Ne Ja’ek diusirnya,Ja'ek pun pulang ke negeri Kayangan sambil membawa setangkai padi yang dikira bunga rumput oleh Amutn. Di Negeri Kayangan Ne' Ja'ek mcnikah lagi dengan Ne' Pangingu dan melahirkan anak laki-laki yang dibcri nama “Baruakng” Ketika Baruakng menginjak masa kanak – kanak, ia suka bermain “pangka' gasikng" di halaman rumahnya. Ketika itu ia melihat banyak anak-anak lain bermain gasing di bumi. Ia pun pergi bermain dengan anak-anak itu. Setelah berkenalan ia mengetahui nama teman-temannya, yaitu: Tumbak Lasop, Gantang Timah, Garugu' Kase, Tongkor Labatn, Buruk Batakng. Baruakng pun memperkenalkan diri. Setelah letih bermain, mereka istirahat makan. Ketika Baruakng membuka bekalnya, anak-anak tadi keheranan melihat makanan Baruakng seperti ulat. Tumbak Lasop pun membuka bekalnya yang disebut “kulat karakng" oleh Baruakng. Menurut Baruakng, yang dibawanya adalah nasi, sedangkan "kulat karakng" adalah sayur bagi mereka di negeri Kayangan. Baruakng mempersilahkan kelima anak itu untuk mencicipi nasinya. Karena keenakkan kelima anak ini seakan-akan pingsan.Ketika datang ke rumah, kelima anak ini bercerita tentang kejadian tadi kepada ibunya Dara Amutn. Mendengar cerita anak-anaknya Dara Amum meminta, jika Baruakng datang lagi, agar Baruakng diajak ke rumah. Pada keesokan harinya Baruakng pun makan ke rumah mereka. Dara Amutn pun dipersilahkan mencicipi makanan. Baruakng, dan pingsanlah Dara Amutn karena keenakkan. Setelah sadar, Dara Amutn bertanya tentang asal-usul Baruakng dan orang tuanya. Dari cerita itu Dara Amutn yakin bahwa ayah Baruakng adalah suaminya, yang berarti ayah dari kelima anak-anaknya juga. Untuk itu Dara Amutn sangat senang karena anak-anaknya dapat bermain dengan akrabnya. Dara Amutn berpesan agar Baruakng membawakan benih padi. Baruakng berjanji akan membawakan benih padi, walaupun Baruakng tahu bahwa ayahnya tidak akan mengizinkannya.Baruakng mencoba membawa benih padi dengan sembunyi-sembunyi. Tetapi senantiasa ketahuan oleh ayahnya, karena bulir-bulir padi itu mengeluarkan sinar yang dapat dilihat oleh ayahnya. Karena Dara Amutn dan anak-anaknya selalu mendesak, maka pada usaha terakhir ia mengambil tujuh butir padi dan disembunyikan sehingga tidak terlihat oleh ayahnya.Barunkng tutun ke bumi membawa benih padi dan memberikannya kepada Dara Amutn. Barunkng meminta supaya benih padi itu ditanam di dapur, agar waktu buahnya masak nanti tidak kalihatan olah ayahnya di atas sana. Setelah cukup waktunya selama 5 bulan 10 hari masaklah padi tadi. Katena sudah semakin banyak, maka pada musim tanam berikutnya benih padi tadi tidak dapat lagi ditanam di dapur. Untuk itu Baruakng menyarankan agar ditanam di "tanah tumuh" (gundukan tanah oleh semut) dan dibungkus (ditudungi) dengan daun "tepo" agar cahayanya tidak terlihat dari atas. Dcmikianlah hingga tiba musim panen yang kedua dan benih padi itu kian berlipat ganda. Pada musim tanam berikutnya benih itu tidak muat lagi ditanam di “tanah tumuh” dan harus ditanam di tanah empat persegi, sepanjang batang “Tepo”.Ketika musim panen tiba, sinar buah padi yang sudah menguning kelihatan oleh Ne' Ja'ek dari Kayangan. la sangat marah dan berkata: “Gajah..., dah ada nang padi naung ka'talino. Nian pasti pabuatan Baruakng. Kao pasti kuhukum. (E...eh sudah ada rupanya padi pada manusia. Ini pasti perbuatan. Baruakng. Kau pasti kuhukum.)"Mendengar Ja'ek marah, Ne' Pangingu menasehatkan: “Ame ba dihukum nak diri' seko' ngkoa ihan, laki agi'.” (Janganlah dihukum anak kita yang satu-satunya. Apalagi ia laki-laki). Ne' Ja'ek tidak mau dicegah: “Ina' ..... ia pasti kuhukum, kutahantni' pati ka' maraga tapiatn naung.”(Tidak bisa.... ia pasti kuhukum, akan kupasang jebakan di jalan menuju tepian mandi). Sementara itu Baruakng pun naik dari bumi. Sesampai di tepian mandi ia dicegat oleh "babi tintingannya" dan babi itu berkata: “Ayahmu sungguh akan menghukum dengan jebakan itu”. Mendengar itu Baruakng pun menangis. Lalu "babi tintingannya" menyambung: “Jangan menangis. Lebih baik saya berjalan dulu. Biar aku yang terkena ranjau.” Lalu babi tintingannya pun berjalan di depan dan terkena jebakan yang dipasang Ne'Ja'ek.Babi tersebut kemudian menjelma mcnjadi "Bintakng Ada'atn (Bintang Pedoman). Ada yang discbut Bintakng Tujuh, Bintakng Oakng (bewarna merah), Bintakng Pati, Bintakng Raiakng (Bintang Rahang), yang dipercayai Oleh masyarakat Dayak sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan pertanian agar mendapatkan hasil padi yang maksimal dan mencari ramuan perumahan agar tahan lama dan tidak termakan kapang.Dari Pengetahuan perbintangan ini (mirip dengan perhitungan hari dalam penanggalan Cina) mereka menamakan hari dalam satu bulan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan pertanian:"Sa'ari Bulatn, Sego, hari tikus.Dua Ari Bulatn,disebut Kerap, ari Pipit,Talu Ari Bulatn, disebut Ngalu, baik untuk mendatangkan rejeki,Ampat Ari Bulatn, apa dicinta mudah dapat,Ari Lima, Ari Anam, Ari Tujuh, Baik (harus lihat bintangnya),Ari Lapan disebut Tungu, jahat. Segala tanaman tinggal tunggul habis dimakan binatang.Ari Sambilan, Sapuluh, Sabalas, baik.Ari Dua Balas, Abis bulatn.Ari Talu Balas, disebut Kira, jahat.Ari Ampat balas, ari aya'Lima Balas, pariama, bulan purnama.Anam balas, Riripatn.Tujuh Balas, Ngantukng, baik untuk memancing di sungai,Lapan Balas, Ngaluakng (Semua binatang kepalanya mengarah ke bawah, masuk ke bumi).Sambilan Balas, tutup bulatn.Duapuluh, Dua puluh satu, disebut hari dua.Dua puluh dua, disebut kadakng, (Binatang banyak keluar dari perut bumi. Kalau mau mencari tengkuyung dan binatang malam, pada saat ini mudah didapat.Dua puluh talu, dua puluh ampat, dua puluh lima, dua puluh anam.Dua puluh tujuh, semuanya baik untuk kegiatan pertanian.Dua puluh lapan, Kira, jahat. Mudah mati muda.Dua puluh Sambilan, kalalah idup. Suka bimbang.Tiga puluh, Ari Tutup, kurang baik, Pada hari tiga puluh ini baik jika dipakai untuk mcmbuka tanah bekas kuburan tua, atau membuka tanah yang diduga dihuni olch mahluk-mahluk halus. Untuk menetapkan kepastian tentang perhitungan hari, mereka melihat Bintakng Adaatn pada dinihari (Bintang Venus dan Mars). Baruakng yang merasa tidak tenang karena akan dihukum oleh ayahnya, meminta pada ibunya untuk pergi ke bumi. Untuk itu ibunya memberi nasehat agar Baruakng berjalan meniti "jalan yang lurus". Baruakng pun pergi. Sesampai dipersimpangan jalan, Baruakng melihat bahwa jalan yang lurus itu banyak semak berduri, sedangkan jalan yang menyimpang ke sebelah kiri lapang dan mulus. Baruakng pun meniti jalan yang menyimpang ke kiri. Sesampai di sebuah kampung ia bertemu dengan seorang gadis yang mengaku bernama Jamani yang kemudian menjadi isterinya.Setelah tiba waktunya, isterinya pun melahirkan. Sesuai kebiasaan di kampung itu, maka isterinya melahirkan di atas 'para' loteng. Ketika isterinya akan pergi mandi, isterinya berpesan agar Baruakng tidak naik ke loteng. Baruakng merasa heran mengapa isterinya melarang melihat anak-anaknya. Baruakng nekat untuk melihat anak-anaknya. Setelah mencari ke sana kemari, Baruakng mengintip isi bakul dan melihat bahwa anak-anaknya itu berbentuk burung-burung, yang kemudian diketahui nama-namanya, yaitu: "Keto Laki, Keto Bini, Keto Maniamas, Keto Tungal, Keto Bakar, Buria', Cece, Kohor, Papo', Buragah, So'oh, Adatn, Kutuk, Bilang, Mago', Pangalatn, Putihgigi, Macet, Parere, Pararah, Kijakng, Owanyi', Ujatn Darakng, Binalu, Duya' Puanggana, Puanggani' dan sebagainya.Oleh sebab itu Baruakng dengan diam-diam pulang ke Kayangan menemui ibunya. Baruakng bercerita mengenai keadaan jalan yang dilaluinya serta keadaan isteri dan anak-anaknya. Dari ibunya baru ia mengetahui bahwa isterinya bukan manusia melainkan "Ne' Si Putih Panara Subayatn" di negeri orang mati. Untuk kedua kalinya Baruakng diperintahkan pergi meniti jalan lurus oleh ibunya'. Tetapi Baruakng tidak menghiraukan pesan ibunya sehíngga ia tetap meniti jalan yang menyimpang ke kiri. Baruakng menemukan sebuah kampung dan berjumpa dengan seorang gadis yang mengaku bernama Petor Batu Buntar Muha, seorang gadis hantu buta. Karena gadis ini cantik, maka Baruakng tidak lagi ingat dengan pesan ibunya untuk menikahi Jamani Tabikng Tingi. Sekali Iagi Baruakng sangat kecewa bercampur takut, karena anak-anak yang lahir dari perkawinannya dengan Petor Batu Buntar Muha tidak ada yang sempurna, semuanya cacat dan menakutkan. Karena cacat dan menakutkan, maka anak-anaknya yang lahir dibuangnya, seperti: Sarinteke, dimuang ka' tongkotn tanga', Rudu jaji setan jaji balis, Jampuna (Raja Pujut) ka' batu garah atau ka' kurebet, Jampekong (Raja Mawikng) nyamuang ka' kayu aya' (kayu besar), dan sebagainya. Selain itu ada juga yang dibuangnya ka' akar biruru, ka' putat, ka' talinse dan sebagainya.Itulah sebabnya dengan diamdiam lagi Baruakng pulang menemui ibunya. Dari keterangan ibunya Baruakng mengetahui bahwa yang menjadi isterinya sekarang ini adalah Hantu Buta. Hingga saat ini masyarakat Dayak Bukit Talaga percaya bahwa orang-orang akan mendapat sakit jika memperlakukan tumbuhan dan tempat-tempat tadi dengan tidak beradat. Untuk mengobatinya melalui Baliatn atau pedukunan pun harus mengetahui nama-nama dan asal mula roh halus yang mendiami tempat dan tetumbuhan tadi.Untuk yang ketiga kalinya Ne' Pangingu berpesan kepada anaknya agar Baruakng pergi ke bumi melalui jalan yang lurus. Baruakng pun pergi. Sesampai dipersimpangan jalan Baruakng melihat bahwa jalan lurus itu penuh lalang dan semak berduri, sedangkan jalan yang menyimpang ke kiri lapang dan mulus. la berhenti sejenak. la tidak mau dikecewakan ketiga kalinya. Walaupun jalan yang lurus itu penuh tantangan, ia memutuskan untuk meniti jalan itu. Tidak seberapa jauh, rupanya jalan yang penuh semak berduri tadi tidaklah begitu jauh. Di ujung sana semakin lama semakin lapang dan bagus. Akhirnya ia sampai ke sebuah kampung dan bertemu dengan seorang dara cantik bernama Jamani Tabikng Tingi sesuai dengan pesan ibunya. Gadis cantik ini kemudian menjadi isterinya. Dari perkawinannya dengan. Jamani, lahirlah anak-anak manusia yang bernama: Jamawar yang bergelar Patih Mawar Ampor Gayokng, Ne' Umu' Arakng dan Ne' Sone, Ketika memasuki masa kanak-kanak pada suatu hari Jamawar mandi sambil bermain dí tepian, Di hulu tepian sana terlihat buah sibo (rambutan hutan) yang sudah masak memerah. la segera pulang ke rumah mengambil parang. Ketika ia akan turun, ibunya mcnawarkan kerak nasi untuk dimakan. Tetapi Jamawar terus terjun tanpa menyentuh kerak nasi. Lalu pergi menuju hulu tepiannya dan memanjat batang sibo yang berubah. Sementara ia terjun dan belari tadi terdengarlah bunyi riuh suara burung bersahut-sahutan, Jamawar dan Jamani tidak tahu akan arti scmua tanda-tanda alam dan suara burung-burung itu.Ketika Jamawar memotong dahan sibo yang banyak buahnya, tiba-tiba dahan yang diinjaknya (sempak) terlepas dari batangnya dan Jamawar pun jatuh kejurang dalam dan menimpa batu wadas di aliran sungai. Badannya hancur luluh terhempas pada batu. Pada saat itu terdengar lagi riuh ributnya suara tadi. Orang-orang sekampung keheranan mendengar bunyi burung dan kayu yang patah. Mereka pun berhamburan ke luar menuju hulu tepian dan menyaksikan kejadian yang sangat mengerikan. Karena menyaksikan kejadian yang sangat menyedihkan itu, Ne' Jamani dan Baruakng serta orang sekampung kebingungan, tentang bagaimana cara mengambil tubuh jenasah Jamawar. Pada saat itu terdengar suara dari burung-burung itu yang berbicara seperti manusia: "Kami ada ngampusi'nya" (biarlah kami yang pergi mendapatkannya. Lalu berterbanganlah burung-burung itu ke dalam jurang sana untuk memungut sisa-sisa peralatan tubuh Jamawar yang masih tersangkut di batu, di akar dan sebagainya. Sisa-sisa peralatan tubuh Jamawar tadi di kumpulkan mereka dan ditampung ke dalam gayung tempurung kelapa. Setelah dikumpulkan mereka berikhtiar untuk menguburkan jasad Jamawar. Tetapi menurut orang pandai di kampung itu, jika perlengkapan anatomi tubuhnya masih lengkap, walaupun hanya sedikit-sedikit, pasti bisa dihidupkan kembali dengan cara "Baliatn". Lalu mulailah burung-burung tadi memilah-milah jenis peralatan tubuh yang masih dapat dikumpulkan. Setelah selesai, ternyata jenis peralatan hati tidak terkumpulkan. Sekali lagi mereka kebingungan. Pada saat itu "Burung Kutuk atau Pantek bersedia menyumbangkan hatinya. Maka hingga sekarang “Burung Kutuk badannya merah kena darah dan tidak punya hati", Setelah itu burung-burung pun pulang ke rumah mereka.Sesampai di rumah mereka bercerita pada ibu mereka, Ne' Siputih Panara Subayatn. Dari cerita anak-anaknya Ne' Siputih mengetahui bahwa Baruakng, suaminya kawin lagi dengan Jamani anak talino. Sementara itu Ne' Bantakng bahaupm mengumpulkan pasagi waris (mengadakan rapat mengumpulknn ahli waris) berikhtiar untuk mengobati Jamawar dengan cara "baliatti", Dari pengalaman orang sekampung, kebetulan terpilihlah Ne' Siputih Panara Subayatn sebagai Pamaliatnnya. Walaupun dengan berat hati Ne' Siputih tetap pergi baliatn, mengobati Jamawar. Pada saat baliatn Ne' Siputih sangat bersungguh-sungguh ia melupakan peristiwa masa lalu yang menyakitkan hatinya. Pokoknya ia harus mengobati Jamawar untuk "ngarapat ampor" (merekatkan yang hancur). Selesai Baliatn, ditinggalkannya sebutir beras untuk obatnya, dengan pesan agar mencari lagi Pamaliatn lain yang bertugas "ngalulu balah' (melekatkan yang masih renggang). Untuk itu dipanggillah Ne' Petor Batu Buntar Muha Pamaliatn Buta. Selesai baliatn Ne' Petor Batu Buntar Muha meninggalkan sebutir beras untuk obat. Demikian selanjutnya pengobatan berjalan terus dengan memanggil Pamaliatn Bawakng untuk nagalamputn sengat (menyambung napas), Pamaliatn Sinede madiri bangke (membangkitkan mayat), batama' ayu (memasukkan roh), batama' sumangat (memasukkan semangat atau jiwa) dan seterusnya hingga tujuh pamaliatn yang dipanggil. Selesai Baliatn semuanya meninggalkan masing-masing sebutir beras, dan Jamawar pun mulai hidup, tetapi masih tidak mampu berbuat apa-apa, masih sakit. Melihat keadaan anaknya demikian, Ne' Baruakng dan Ne' Jamani masih sedih. la hampir kehabisan akal. la selalu berusaha mencari informasi untuk mencari obat demi kesembuhan anaknya Jamawar. Dipanggillah Ne' Unte' Tanyukng Bunga. Mereka menceritakan bahwa sudah tujuh kali baliatn, tetapi Jamawar masih tampak sakit. Mereka meminta pendapat pada Ne' Unte'Tanyukng Bunga. Lalu Ne' Unte' bertanya: "Au' Ahe-ahe sampore' nang di pamaliatn ka' koa masari'?" (Ya... obat apa saja yang ditinggalkan oleh Pamaliatn itu.) Ne' Jamani menjawab:"Au' nian ihan, baras tujuh bege"' (Ya... hanya íni, beras tujuh butir.")Ne' Unte' menjelaskan, bahwa itulah obatnya yang dinamakan "Baras Banyu tujuh bege'". Diambilnya ketujuh butir beras tadi dan berdoa:Koa iatn baras banyu baras basok baras suci baras aning, jaji tantama sampore'. Isi' bangi dipaturi, tulakng ampor dipalamputn. Darah mangkalo dipacalah, urat malungkong dipasanikng, kulit ngarintoyokng dipaalus, nang luka dipaalit. Asa’ dua talu ampat lima anam tujuh, koa iatn aku mura’atnnya ka’ bulatn mata ari nang tabungke taburas, narabiiatn untukng tuah rajaki, murasatn tatama sampre koa ian baras banyu jaji sarakng, baguit, pulakng ringakng pulakng nyamn tubuhnya nu’da’ Jamawar, pama Jubata.”("inilah beras tujuh butir beras bersih beras suci, jadi obat. Daging busuk dihidupkan, tulang hancur disambungkan, Darah hitam beku dipermerah, otot melengkung diterikkan, kulit keriput diperhalus, yang luka disembuhkan seperti semula. Satu dua tiga empat lima enam tujuh, ini aku memberitahukannya pada bulan dan matahari yang keluar dan memancarkan cahaya, bagaikan memancarkan untung tuah dan rejeki, menghembuskan obat penyembuh. Inilah Baras Banyu yang menjadi pokok kehidupan dan tali napas, yang jadi penyegar penyembuh napas, bergetar dan bergeraklah bangun, mengembalikan kesehatan dan tubuh yang segar nyaman milik Jamawar, oh Roh Tuhan"Begitu doa Ne' Unte' Tanyukng Bunga selesai, Jamawarpun kembali sehat kuat seperti semula. Sejak saat itulah namanya berupah menjadi "Patih Mawar Ampor Gayokng.”Mendengar dengar Jamawar sudah sembuh dari penyakitnya, maka Ne' Siputih Panara Subayatn dan Ne'Petor Batu Buntar Muha pun menyuruh pengacara (pangaraga) untuk menuntut “parangkat” (kawin lari padahal sudah beristeri/ bersuami) pada Baruakng, karena ia kawin lari meninggalkan isteri-isterinya. Yang menjadi "Pangaraga" adalah "Bari-Bari' (Binatang merah kecil-kecil yang suka mengerumuni kulit buah). Kedua isteri lamanya masing masing: Ne' Siputih menuntut " buat" satajur, jalu satajur. (Hukuman barang sebuah bukit, babipun sebuah bukit). Sedangkan Ne' Petor Batu menuntut hukuman Adat parangkat sa arokng, jalu sa arokng. (Barang adat dan babi banyak seisi jurang).Karena Ne' Jamani orang sakti dan orang berada, semua tuntutan tadi dipenuhinya, sehingga pengaçara Bari-Bari kebingungan bagaimana membawa barang-barang yang begitu banyaknya. Mau tak mau Ne' Unte’ Tanyukng Bunga dipanggil lagi,Kata Ne' Unte'; "Au' ahe ba payahnya….. segala tapayatn da’ ahe koa dikikis pamuat puru, Koa jalu ka’ koa tatak eko’nya, dilepet. Salepet unto' Si Putih, salepet unto’ Petor Batu, Baras banyu kajah salepet uga'Saga dah atakng ka' naung disampangan, A... koa ian adat aturan, nang kurang dipacukup, kade’ ada nang salah dipabato. Asa' dua' talu" ampat lima anam tujuh payah, sambel ngamuratn baras banyo mang puru nian " (O…. tidak payah, segala tempayan dan petalatan lainnya itu dikikis seperti membuat serbuk/ bubuk. Segala babi itu ekornya dipotong sedikit, kemudian dibungkus kecil. Satu bungkus untuk Si Putih, Satu bungkus untuk Petor Batu. Beras Banyu masing-masing sebungkus. Kalau tiba di sana, bacakanlah doa ini: “A….inilah adat dan aturan, kalau kurang dicukupkan, kalau salah dibetulkan. Satu dua tiga empat lima enam tujuh, sambil menghamburkan baras banyu dan serbuk ini.)"Begitulah pesan Ne' Unte'. Demikianlah Bari-bari melakukan petunjuk yang diberikan oleh Ne' Unte', dan memang benar tejadi, ketika beras banyu dan puru tadi dihamburkan setelah berdoa, tiba-tiba bukit itu penuh dengan babi, tempayan dan segala perlengkapan adat lainnya. Demikian juga pembayaran adat untuk Petor Batu Buntar Muha, penuh jurang oleh tempayan, babi dan peralatan adat lainnya. Tetapi setelah dihitung oleh Ne' Angokng dari Tanah Rantimakng, ternyata masih ada yang kurang, namanya 'Buat Tangah", buat sabuah pamadapm darah (Adat pencegah darah). Karena takut terkena akibat dari kurangnya adat, maka Bari-Bari kembali Iagi menagih Ne' Jamani. Adat Buat Tangah pun dipenuhi.Tengah mereka menyediakan adat ini tiba-tiba datanglah Ne' Siputih dan Ne' Petor Batu, masing-masing bersama dengan semua anak-anaknya. Setelah siap semuanya, Ne' Jamani pun berkata: "Ini adat sudah kami sediakan, silahkan dibawa."Lalu Ne' Siputih dan Ne' Petor Batu menjelaskan: "A nian boh Baruaknga, buat nian tatap bahoatn ka' kaikng. Ina' kami incaknga' Kut kade' kami incakng, jaji putuslah patalian waris diri'. Biar ampahepun kamunda' diri' nian nta adi' baradi' me boh. Kade' tah ahe antah dah nae ari, kade' kita' talino mao' minta' tulukng minta' banto', au’ pane kami manto', Saruja'kami." ("Oh Baruakng, Adat ini tetap tinggal mengasuh di sini, tidak kami bawa. Sebab kalau kami bawa, putuslah pertalian ahli waris kita. Biarpun bagaimana anak-anak kita ini sungguh-sungguh adik beradik. Kalau dikemudian hari terjadi sesuatu pada manusia, jika minta tolong minta bantu, kami bisa membantu. Panggil saja kami").Hingga saat ini masyarakat Dayak Bukit Talaga bahwa antara roh-roh halus dan binatang-binatanng tertentu tetap menghotmati sebagai saudara mereka, sehingg mereka harus saling menolong dan saling mcmbantu. Parang Miaju' Padokoatn Malanggar Jawakarena takut kualat menyebut nama-nama orang tua dan kakek nenek sakti, maka sebelum menuturkan cerita membacakan doa "Moreatn Baras Banyu":“Koa iatn Pama Kita Rumah Tanga'a, Pama Urakng Tuha. Koa iatn aku bai' di jukat diede', bai' di etokng dikarunia, dituntut dida'awa. Taga iatn aku nyaritaatnna' katurunan maka, make adat pusaka katurunan mpat di da' Ne'ku sampe ka da' Pa'ku, jaji turutn ka' kami. Nian kamunda' kami nangara' curita tantang Miaju' Padokoatn Malanggar Jawa.”(Inilah oh Roh yang tinggal di Rumah, Roh Nenek moyang. Saya ini tidak mau ditegur, tidak mau disebut-sebut, tidak mau dituntut dan didakwa. Pasalnya aku akan bercerita tentang keturunan, makanya aku memakai adat pusaka keturunan yang berasal dari nenek moyang hingga turun kepada ayah dan ibuku lalu turun ke kami. Disini anak-anak keturunan kami mau mendengar cerita tentang Perang Miaju' Padokoatn Malanggar Jawa. ")Setelah membacakan doa "Nyangahatn"-nya barulah ia bercerita. Dalam cerita ini dikisahkan tentang asal mula Penduduk Kalimantan. Tersebut kisah bahwa Patih Gajah Mada (Majapahit Jawa) bersaudara dengan Patih Belepm (Kapuas), Patih Gumantar (Mempawah), Patih Jamani (Belum diketahui). Patih Jaraya’, ini yang diketahui tinggal di daerah Bukit Talaga Pahauman Kabupaten Pontianak hingga sekarang. Ribuan pohon durian tanaman Ne' Jaraya' masih menjadi saksi hidup, yang masih tumbuh dengan pohonnya yang besar•besar, seisi Gunung Talaga.Ne'Jaraya' mempunyai dua orang panglima yang bernama Ne' Binalu dan Ne' Binawa' yang pandai terbang. Mereka tinggal berpindah-pindah menghindari serangan dari Miaju 'Padokoatn' . Rute daerah yang pernah menjadi tempat tinggal mereka adalah Padang Tikar, Sikudana, Sikulantikng, Bawang Laut dan Puntianak. Kemudian mudik ke lbul Samih Pulo Burukng dan akhirnya ke Gunung Talaga. Jumlah rombongan Ne’Jaraya' pada waktu itu ada 100 kepala Keluarga. Mereka berperang melawan Miaju’PadokoatnKetika sampai di Gunung Talaga, mereka tinggal menumpang di perkampungan kamang. Panglima Perang Talaga yang terkenal waktu itu bernama Ne’ Lagi yang tinggal di Lajik, Sckarang Lajik menjadi " Panyugu" salah satu tempat keramat yang ada di gunakan mengadakan suguhan/sesaji di Gunug Talaga.Ne' Jataya mempunya empat orang anak masing-masingNe' Sugutn yang juga bergelar Patih, Ne' Nginatn. NeJarijarita’ Ne Baubaulah anaknya yang ketiga dan keempat akhirnya pergi masing-masing Nanang Pulo Lawe dan Nanang Piulo Kabukng. Ketika mereka tinggal di perkampungan Kamang, mereka harus berpantang: Tidak boleh ngamalo (melekatkan hulu parang dengan getah tumbuhan) Tidak boleh nunu tungkung (membakar bunga tepus). Tidak boleh nyaranang (memerahi anyaman dengan getah jaranang), Tidak boleh nyuman ansepakng (memasak daun sejenis cangkok manis) Tidak boleh nyeok (bersiul), Kalau pantang ini dilanggar, maka penghuni kamang akan kesakitan dan bisa mati. Tidak boleh makan paku' lamidikng (pakis lemiding). Warga pengikut Ne' Jaraya' bersedia untuk berpantang. Setelah lama tinggal di Talaga, mereka telah terbiasa berladang. Kebetulan tengah mereka menebang kayu, lepaslah parang Ne' Sugutn dari hulunya. Mungkin lupa, Ne' Sugutn langsung membakar getah amalo untuk melekatkan parang pada hulunya. Seketika itu juga matilah anak Ne' Lagi. Ne' Lagi datang dan membunuh anak Ne' Sugutn. Selanjutnya Ne' Sugutn mengamuk hingga ia menghabisi anak cucu keturunan Ne' Lagi si Raja Kamang (sejenis Orang Kesucian, Orang Kebenaran). Menyadari bahaya yang kian mengancam, maka mata manusia ini dibungkus dengan duri Kaimayong (sejenis salak). Itulah sebabnya hingga sekarang manusia kebanyakan tidak dapat melihat hantu dan orang kebenaran (roh halus).Dalam silsilah keturunan Talaga yang dikisahkan oleh Sa'i Pak Arum disebutkan, bahwa manusia yang bernama Ne' Ngaroakng memperistri Ne' Namu. Dari perkawinannya lahirlah anak-anak yang bernama Ne' Naya dan Ne' Kancat. Ne' Naya adalah seekor Ular Tadukng dan Ne' Kancat adalah seorang tokoh Sakti yang bisa memikul batu sebesar rumah untuk tungku. Hingga sekarang Tongko' Ne' Kancat ada di Gunung Talaga. Sedangkan Ne' Kancat akhirnya pergi ke wilayah Banjar Kalimantan Selatan, karena tersesat berkelahi dengan hantu. Setelah ular Tedung ini besar ia dapat berburu babi, rusa dan binatang besar Iainnya, Tetapi karena badannya sudah semakin ia merninta agar ia di antar ke dalam gua. Sebelum it dilepaskan ia berpesan agar anak cucunya tidak boleh saling menyakiti. Sekarang diyakini bahwa Ne' Maya Yang sudah berupa ular tcdung yang kcratnat tctap tinggal di gunung Talaga. Dan orang-orang kampung di sekitar gunung itu tahu benar bahwa di gunung Talaga tidak boleh membunuh ular. Kalau ada Yang membunuh ular, maka ia akan dikejar-kcjar Olch ular dalam ukuran kecil hingga yang sangat besat dan memagutnya.Hingga saat ini juga manusia Dayak Talaga yang berjalan di tengah hutan dan bahkan diperkampungan, mereka tidak akan sembarangan berbuat sesuatu yang melanggar pantangan. Karena perbuatan itu akan membuat mereka sakit 'Jukat' (ditegur Olch roh) dan dapat mematikan kalau tidak segera minta ampun dengan membacakan doa nyangahatn dan peralatan adat yang tepat.Cerita tambahanKISAH PENCIPTAAN Masyarakat Dayak Bukit Talaga menyebut Sang Pencipta itu dengan nama: Ne' Nange Ne' Patampa', nang nampa' nonokng talino mpat tanah. (Yang mencipta yang menempa dan membentuk manusia dari tanah). Manusia pertama adalah Adam dan Siti Awa. Karena manusia Dayak Talaga meyakini bahwa dirinya berasal dari tanah, maka ketika mereka mengerjakan tanah seperti berladang, mencangkul, memarit; mereka memahami mengapa badan mereka terasa sakit, karena tubuh mereka berasal dari tanah. Mencangkul tanah berarti mencangkul tubuh mereka yang diciptakan oleh Ne' Nange - Ne' Patampa' bukan hanya Talino Manusia, melainkan juga api, air, kayu, binatang, besi, padi dan sebagainya. Bahkan mereka meyakini bahwa ciptaan-ciptaan tadi adalah bersaudara. Setelah ada, ciptaan ini diserahkan kepada para nabi sebagai penjaga dan penguasanya. Nabi Elias yang menguasai kayu, Nabi Suleman yang menguasai binatang, Nabi Isa menguasai manusia, Nor Sari menguasai padi, Nor Cahaya menguasai api, Nor Mani menguasai air, dan sebagainya yang dalam kegiatan pengobatan tradisional dipandang sebagai asal mula terjadinya penyakit dan obat penyembuhnya. Menyadari bahwa tanah ini adalah asal mula manusia Dayak pada umumnya, maka tidaklah mengherankan jika dalam melaksanakan upacara adat kampung dengan 'nyangahatn' mereka memberi makan pada tanah dengan kata – kata:"Koa nu' kita' tanaha, kade' ada nabo gumbalang pua' ubakng tungu balu batakng malintakng nang bisa nang sahakng. Diatn tampat kadia. man kadudukatn (dango, rumah, uma, bancah) kami. Ame kita' babadi bamangka' ka' tubuh ka' badan, ka' rumah ka' tanga' talino manunsia. Kami minta' kita' bapangkalango' bapangkalamak.„” ("lnilah bagianmu wahai tanah, mungkin ada ular besar dan binatang lainnya yang keramat, yang tinggal dalam lobang dan seakan – akan telah menjadi batang dan tunggul kayu yang berbisa dan berbahaya. Di sini tempat kedudukan (pondok, rumah, ladang, sawah) kami. Jangan kalian menyakiti tubuh dan kehidupan kami manusia. Kami mohon kalian membuat kami hidup enak….) Ketika membuka lahan perladangan, mercka bcrtanya pada tanda – tanda alam seperti "baburukng Atau mato" (mendengar suara burung) dan “batanung” (melihat perubahan tanda – tanda pada tumbuh - tumbuhan) tertentu, untuk menetapkan apakah di tanah ini sudah cocok diakukan suatu kegiatan berladang atau hal lain. Tempat dan luas area perladangan mereka tetapkan dengan upacara "ngawah" (memeriksa). Dalam upacara ini mereka meminta izin kepada penguasa tanah, tumbuh-tumbuhan dan roh-roh lain yang mungkin masih menghuni area yang akan mereka jadikan ladang. Meskipun mereka sudah minta izin pada penguasa alam, mereka hanya menebas dulu tumbuhan-tumbuhan kecil, sementara pohon-pohon yang besar belum boleh ditebang. Untuk menebang pohon-pohon mereka harus mengadakan upacara "nabakng" dengan mempersembahkan panggang ayam dan sebagainya. Pada upacara ini mereka meminta agar roh-roh halus yang masih mendiami pepohonan segera pindah sehingga mereka terhindar dari bahaya yang menimbulkan sakit dan bencana lainnya. Ketika tetumbuhan di area ladang sudah mengering, tibalah saatnya untuk membakar ladang. Agar kobaran api tidak menjalar ke tempat lain yang menimbulkan bencana, mereka membawa perlengkapan doa yaitu "baras banyu mang ai" (beras yang dicampur dengan minyak, dan sejumlah air dalam labu atau bambu). Baras banyu bertujuan agar orang - orang yang terlibat dalam pembakaran ladang tetap selamat. Sedangkan ai' sebagai perlambang agar api segera padam dan tidak menjalar membakari area lainnya.KesimpulanDari contoh cerita tadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat Dayak umumnya dan Dayak Bukit Talaga khususnya sangat mempercayai bahwa diri mereka dan alam sekitar mereka mempunyai hubungan yang bukan hanya sekedar menjaga lingkungan hidup mereka, melainkan mereka memandang bahwa ada hubungan tali persaudaraan yang mengikat mereka.Untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu dalam ritual kehidupan adat, pertanian dan sebagainya. Mereka mempunyai aturan dan tata cara yang harus ditaati Oleh semua mahluk. Mereka minta izin dulu kepada penguasa tanah, pepohonan dan binatang yang mereka yakini mempunyai hubungan kehidupan dengan mereka. Jika tidak ditaati, maka nyawa dan kehidupan mereka akan terganggu. Untuk itu mereka sangatlah beradat dan beradap memperlakukan segala tanah dan mahkluk hidup yang ada di sekitar mereka.Yang menjadi masalah dan menimbulkan pertentangan adalah: masyarakat Dayak sering dituding sebagai perusak hutan dan perusak lingkungan, Oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan tidak mau tahu dengan keberadaan kehidupan masyarakat, Mereka dilarang menjadi peladang tetapi tidak ditunjukkan bagaimana pertanian menetap yang sebaiknya. Yang paling lucu adalah masalah di area daerah nusantara yang beraneka ragam ini megusahakan pengobatan terhadap penderita sakit perut didaerah X diberi obat Yang sama untuk penderita sakit lumpuh akibat tekanan darah tinggi di daerah. Ini bisa terlihat dengan penerapan cara, peraturan dan sebagainya Yang terkadang menganggap keadaan tanah dan adat istiadat daerah yang satu sama persis dcngan daerah Yang lain. Jelasnya sering terjadi bahwa peraturan di Jawa sana dianggap sudah paling cocok diterapkan di semua daerah di Nusantara tercinta ini, tanpa lagi memandang situasi dan kondisi yang ada di daerah itu, sehingga yang terjadi bukannya tujuan kesejahteraan melainkan kesengsaraan yang didapatkan.Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah, seperti seorang anak kecil yang selama pendidikannya selalu dikatakan bodoh, kotor, biadab sebagai perusak dan sebagainya oleh orang tuanya, maka ia dapat terbentuk oleh sikap orangtuanya yang tidak mengenal belas kasihan. Siapa yang salah?HarapanDari penggalian makna dan arti sastra lisan ini diharapkan dapat memberikan bahan masukkan bagi para penentu kebijakan, agar pembangunan yang bertujuan mensejahterakan masyarakat yang adil dan makmur ini dapat terwujud. Stepanus Djuweng dari Institute of Dayakology Research and Development, dalam seminar tradisi lisan Jakarta mengatakan: “Tradisi Lisan sesungguhnya merupakan Pintu pertama untuk membuka rahasia kehidupan orang Dayak. Oleh karenanya, pemahaman yang mendalam terhadap tradisi lisan berarti akan menuntun pihak-pihak yang berkompeten untuk mengambil keputusan yang tepat dan kontekstual. Pemahaman yang proporsional juga akan menghindari pelecehan dan bahkan pemusnahan terhadap nilai-nilai kehidupan suatu suku bangsa.”Karena nilai-nilai tradisi lisan berisikan pendidikan moral, filsaŕat, sejarah dan etika, sehingga manusia Dayak mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, maka diharapkan pemusnahan ciri-ciri dan keberadaan suatu Suku di lingkungannya dapat diminimalkan. Untuk itu sastra tisan perlu digali dan dipelihara.
Baca
Asal Mula Nama Gunung Tiong Kandang
Pada zaman purbakala dahulu, pulau Kalimantan ini adalah lautan luas, daratan yang terlihat hanyalah beberapa gunung tinggi dan puncak anak-anaknya yang salah satunya adalah Gunung Niut. Adapun Gunung Niut puncaknya menjulang tinggi hingga ke awan dan memiliki beberapa anak gunung yang diantaranya adalah Gunung Tiong Kandang dan Gunung Lancak. Diatas Gunung Lancak terdapat sebuah kampung yang besar bernama Kampung Lancak. Di kampung itu terdapat seorang kaya raya bernama Linggi yang tinggal bersama ibunya. Harta kekayaan Linggi didapatkannya dari warisan ayahnya. Linggi memiliki perilaku yang buruk. Pekerjaan yang disenangi Linggi setiap harinya hanyalah bermain judi dan menyabung ayam sehingga harta peninggalan ayahnya itu habis akibat kegemarannya tersebut. Pada suatu hari ibunya berkata kepadanya, "Linggi..."kata ibunya, "berhentilah engkau berbuat pekerjaan yang tidak baik itu, karena berjudi dan menyabung ayam adalah pekerjaan yang buruk dan hanya menyia-nyiakan harta dan waktumu saja. Apalagi harta warisan ayahmu itü tinggal sedikit karena pekerjaan burukmu itu”, kata ibunya lagi menasehati Linggi.Mendapatkan nasehat dari ibunya tersebut membuat Linggi menjadi gusar, ia tidak terima di nasehati demikian. Linggi pun menjawab perkataan baik ibunya tersebut dengan kasar sehingga membuat ibunya marah dan berkata, "baiklah jika engkau tidak mau mendengarkan nasehat ibu. Lebih baik engkau pergi saja dari kampung ini daripada engkau terus menerus berbuat hal-hal yang tidak baik dalam kampung ini", kata ibunya dengan kesal.Mendengar perkataan ibunya yang telah kesal itu membuat Linggi semakin tidak senang dan ia pun pergi meninggalkan ibunya begitu saja tanpa lagi menghiraukan perkataan ibunya yang telah kesal melihat perilaku buruknya itu. Hingga suatu hari, Linggi hendak bermain judi dan menyabung ayam, namun tidak ada lagi harta dari warisan ayahnya yang bisa la pertaruhkan. la membongkar segala benda di rumahnya yang dapat ia jadikan bahan taruhan, namun tidak ada lagi barang berharga yang tersisa. Ia hanya menemukan segenggam asam kandis saja yang merupakan bahan masakan milik lbunya. Karena kuatnya kegemaran berjudi dan menyabung ayam, segenggam asam kandis itu pun dibawanya juga untuk bahan taruhan. Sedangkan asam kandis tersebut adalah benda milik ibunya yang sering dipergunakan sebagai bahan untuk memasak makanan.Setelah Linggi pergi membawa segenggam asam kandis tersebut untuk bahan taruhan berjudi dan menyabung ayam, maka ibunya Linggi pulang ke rumah. lbunya tersebut akan memasak makanan, namun ia tidak menemukan segenggam asam kandis yang selalu disimpannya. Maka terbesitlah perasaan bahwa barangkali segenggam asam kandis tersebut telah diambil oleh Linggi sebagai bahan taruhan berjudi dan menyabung ayam. Akibat perasaan tersebut, ibunya Linggi semakln kecewa dan marah, ia pun tidak jadi untuk memasak makanan. Menjelang petang, Linggi pun pulang ke rumah setelah puas berjudi dan menyabung ayam. Tanpa rasa bersalah Linggi langsung saja membuka tudung saji untuk mencari makanan karena perutnya telah lapar, namun didalam tudung saji tersebut tidak ada sedikitpun makanan karena ibunya tidak bisa memasak makanan hari itu. Linggi pun menjadi marah dan membuang tudung saji Itu.Mendengar suara ribut di dapur, maka ibunya Linggi yang sedang berada di dalam biliknya segera keluar dan pergi ke dapur. Maka terlihatlah Oleh ibunya bahwa tudung saji telah tergeletak di lantai, sehingga marah lah ibunya itu kepada Linggi, "apa yang engkau cari Linggi? tidak adi makanan hari ini, karena asam kandis punya ibu untuk bahan memasak makanan telah engkau ambil!”, kata ibunya sambll mengambil tudung saji yang tergelatak di lantai.Mendapatkan jawaban ibunya seperti itu, membuat Linggi semakin marah. la pun mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat ibunya hilang kesabaran dan melemparkan tudung saji itu sehingga tersungkuplah kepala Linggi sambi berkata, "dasar anak Tiongl semoga Tuhan melipat lidahmu hingga keluh". Pada masa dahulu, orang tua yang sangat marah akan mengeluarkan kalimat "dasar anak Tiong!”, yang berarti bahwa orang tua itu sudah hilang kesabarannya karena si anak tidak mau mendengar kata-kata orang tuanya. Anak yang selalu membantah perkataan orang tuanya akan disamakan dengan burung Tiong yang bersuara ribut dan nyaring serta tidak bisa diam. Dan burung Tiong akan diam atau dapat diatur agar tidak selalu bersuara nyaring dan ribut jika sudah keluh atau kaku lidahnya. Makanya orang tua yang telah marah kepada anak-anak mereka yang selalu membantah akan berkata “semoga Tuhan melipat lidahmu hingga keluh”. Linggi yang telah tersungkup tudung saji dan di sumpah ibunya agar seperti burung Tiong yang keluh atau kaku lidahnya tidak terima dengan sumpah ibunya tersebut. la kemudian pergi dari rumahnya dan mencari sebuah sampan kecil untuk pergi meninggalkan kampungnya tersebut. Ketika mencari sebuah sampan kecil, Linggi sempat membawa barang-barang perbekalan dan makanan untuk bekalnya dalam perjalanan. Maka pada saat itu juga ia mengayuh sampannya dengan fikiran yang kusut dan hati yang berat pergi meninggalkan kampung halaman tempat tumpah darahnya dan tempat ia dilahirkan. Setelah beberapa hari lamanya Linggi terapung-rapung ditengah lautan dengan tidak tentu tujuan dan haluannya, maka pada suatu hari ia terdampar ditepi sebuah pulau yang tidak dikenalinya. Maka terfikirlah Linggi tentang nasibnya tersebut, bahwa daripada ia terkatung-katung ditengah lautan yang tidak tentu arah tujuan, akan lebih baik jika ia mengadu nasib di daratan pulau tersebut jika ia dapat bertemu dengan perkampungan manusia ataupun perkampungan Dewa. Linggi berkata pada dirinya sendiri bahwa ia hanya menyiksa dirinya saja jika terus terkatung-katung ditengah lautan.Linggi terus berkata dalam hatinya, jika nasibnya baik tentu ia akan mendapatkan kehidupan yang baik, tapi jika nasibnya tidak baik, maka bisa saja ia mati di tengah lautan, Demikianlah Linggi berkata dalam hatinya yang sedang kebingungan itu, Maka dengan tekad yang kuat hendak mengadu nasib ke daratan, Linggi pun segera mengemas barang-barangnya dan turun ke daratan. Linggi berjalan melewati gunung dan lembah tanpa arah yang pasti. Setelah beberapa hari ia berjalan melintasi daratan, atas takdir Tuhan Yang Maha Kuasa maka bertemulah ia dengan sebuah kampung. Sesampainya di kampung itu, Linggi mencoba bertamu pada sebuah rumah yang dihuni oleh tiga orang yaitu seorang bapak dan ibu serta seorang anak gadisnya. Linggi selanjutnya dengan sopan menyapa yang punya rumah, dan si bapak pemilik rumah dengan ramah mempersilahkan Linggi masuk ke rumahnya.Melihat Linggi bukan berasal dari kampungnya, maka bertanyalah si bapak kepada Linggi, "Tuan juragan datang dari mana? Siapakah nama tuan juragan ini dan berasal dari mana?", si bapak pemilik rumah bertanya dengan ramah.”Saya bernama Linggi dan datang dari tanah seberang. Negeri saya bernama Lancak", jawab Linggi dengan sopan. "Bapak siapa namanya? Kampung apakah ini?", tanya Linggi kepada si bapak pemlllk rumah."Nama saya Wasesa, istri saya bernama Serinah dan anak perempuan saya ini bernama Galuh", jawab si bapak. “Adapun kampung ini bernama kampung Karang Wangi dan negerinya bernama Pasundan", sambung si bapak itu lagi. Selanjutnya berbincang-bincang Iah mereka tentang hal ikhwal masing-masing.Sekian lama berbincang-bincang, terbitlah keinginan Linggi untuk tinggal di rumah tersebut. Selain itu, rupanya selama berbincang-bincang dengan si bapak pemilik rumah, Linggi selalu melirik anak gadis bapak itu. Linggi pun merasa jatuh hati dan mencoba mengutarakan perasaannya kepada si bapak pemilik rumah. Linggi menyampaikan keinginannya untuk tinggal di rumah tersebut dan melamar Galuh, anak gadis bapak tersebut. Keinginan Linggi itu dikabulkan oleh bapak tersebut. Maka sejak itu, tinggallah Linggi di rumah tersebut, dan beberapa hari kemudian Linggi dinikahkan dengan Galuh. Setelah menikah dan tinggal bersama Wasesa, Linggi diajarkan berladang dan membuat sawah. Tekad Linggi yang kuat untuk merubah nasib hidupnya, dan rasa cintanya yang mendalam kepada Galuh, membuat Linggi belajar dengan tekun cara berladang dan membuat sawah. Linggi bekerja keras mengurus ladang dan sawahnya. Berkat ketekunannya itu, ladang dan sawahnya mendapat hasil yang berlimpah. la kemudian menjadi orang terkaya di kampung tersebut. Pada suatu hari Linggi dan istrinya sedang duduk di beranda rumahnya. Maka berkatalah Linggi kepada istrinya bahwa ia terpikir untuk pulang ke kampung halamannya. Linggi merasakan kerinduan pada ibunya di Kampung Lancak Yang telah lama ia tinggalkan. Dan ia berniat untuk pulang melihat ibunya tersebut. la pun mengutarakan untuk membawa serta istrinya ke Kampung Lancak untuk bertemu dengan ibunya. Istrinya menyetujui keinginan Linggi itu. Dan beberapa hari berikutnya, berangkatlah Linggi dan istrinya ke Kampung Lancak menggunakan sebuah Ajong atau kapal layar besar. Linggi yang telah menjadi orang kaya raya itu membawa banyak anak buah untuk mengemudikan Ajong besarnya tersebut.Dalam Ajong besarnya, Linggi memuat berbagai barang dagangan yang akan dijualnya jika bertemu perkampungan penduduk dalam perjalanan. Linggi juga memuat berbagai barang berharga yang mahal harganya untuk nanti dijual di kampungnya. Pada bagian hulu Ajong, disangkutkannya sebuah sangkar yang berisi dua ekor burung, yaitu seekor burung Tiong atau burung Beo dan seekor burung Kandang atau burung Murai. Sangkar kedua ekor burung itu disangkutkannya di hulu Ajong untuk memberitahukan sesuatu yaitu burung Tiong akan berbunyi jika Ajong melewati teluk dan tanjung, sehingga tahulah Linggi bahwa Ajongnya itu sedang berada di sebuah teluk atau tanjung. Sedangkan burung Kandang akan berbunyi nyaring pada waktu pagi hari sehingga anak buah Linggi yang mengemudikan Ajong segera bangun dari tidurnya dan kembali mengemudikan Ajongnya Itu.Setelah beberapa hari dalam perjalanan, Ajong Linggi tiba dl Kampung Lancak. Orang-orang kampung Lancak berkeluaran dari rumah untuk melihat Ajong Linggi yang megah tersebut. Selain itu banyak juga yang berkerumunan ingin membeli barang-barang yang dijual Linggi.Diantara kerumunan penduduk itu, terdapat seorang perempuan tua yang berusaha ingin melihat-lihat Ajong dan barang-barang yang dijual Linggi. Perempuan tua tersebut sangat renta dan berpenampilan buruk rupa, yang tidak lain adalah ibunya Linggi. Dia tertekagum melihat kemegahan Ajong dan banyaknya barang-barang berharga yang dibawa Linggi. Hingga ketika ia mengamati rupa dan penampilan juragan Ajong, maka kenalah iabahwa juragan Ajong itu adalah anaknya sendiri yaitu Linggi yang telah bertahun lamanya pergi dari kampungnya. la pun berteriak keras memanggil-manggil nama Linggi, "anakku Linggi...! anakku Linggi...!".Linggl yang sedang bersama istrinya itu mendengar teriakan tersebut. Namun ia terkejut ketika melihat rupa dan penampilan ibunya tersebut telah sangat buruk dan tidak terurus. Sedangkan dahulunya ibunya tersebut sangat cantik. Linggi pun merasa malu terhadap istrinya karena melihat ibunya yang renta dan buruk itu. Untuk menutupi rasa malunya, maka diusirlah ibunya Itu dari Ajongnya. Namun ibunya tetap berkeras berada dl atas Ajong terus menerus berteriak memanggil nama Llnggi. Karena ibunya tidak juga mau turun dari Ajongnya, maka ditendang dan dipukulnya ibunya tersebut hingga tersungkur, Llnggi bahkan menyuruh anak buahnya untuk memukul dan menyeret ibunya turun dari Ajong hingga berdarahlah wajah dan tubuhnya.Dengan bercucuran darah dan air mata, maka berjalan pulanglah ibunya itu ke rumah yang sekarang telah menjadi gubuk reot. Sesampainya di rumah, ibunya itu menangis sekeras-kerasnya sambil berkata, 'tjika juragan Ajong itu memang benar Linggi anak kandungnya, maka tidak aku relakan ia mengisap air susuku. Dan mudah-mudahan karam Ajongnya karena telah durhaka kepadaku".Dengan takdir Yang Maha Kuasa, maka bergemuruhlah kilat dan halilintar yang kemudian menyambar Ajong Linggi hingga karam. Ketika Ajong tersebut karam, sangkar yang berisi burung Tiong dan Kandang terbawa gelombang air dan tersangkut di dahan kayu sebuah gunung. Selanjutnya gunung itu disebut Gunung Tiong Kandang, Sangkar itu hingga kini masih terdapat di puncak Gunung Tiong Kandang dan telah menjadi batu bersama serpihan pecahan Ajong Linggi yang telah menjadi empat buah batu yaitu Batu Pengasih, Batu Peninjau, Batu Belawang dan Batu Pedagi
Baca